Selasa, 27 Maret 2012
TENTANG SHALAT FAJAR
DAN SHALAT ASHAR
٦٦ - اِذَا اَدْرَكَ اَحَدُكُمْ [اَوَّلَ] سَجْدَةٍ مِنْ صَّلاَةِ العَسْرِ قَبْلَ اَنْتَغْرُبَ الشَّمْسُ فَلْيُتِمَّ صَلاَتَه ، وَاِذَا اَذْرَكَ [اَوَّلَ] سَجْدَةٍ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ قَبْلَ اَنْ تَطْلَعَ الشَّمْسُ فَلْيُتِمَّ صَلاَتَهُ .
“Jika salah seorang diantara kamu mendapatkan (satu) sujud dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka hendaknya ia menyempurnakan shalatnya. Dan jika ia mendapatkan (satu) sujud dari shalat Subuh, maka hendaknya ia juga menyempurnakan shalatnya.”
Hadits ini ditakhrij oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya (1/148), ia mengungkapkan: “Abu Na’im menyampaikan kepada kami, ia berkata: “Syaiban meriwayatkan kepada kami dari Yahya dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu’ tanpa tambahan (yang ada di dalam kurung). Sedang tambahan itu milik An-Nasa’i. Selanjutnya An-Nasa’I memberitahukan: “Amer bin Manshur memberi khabar kepada kami: “Al Fadl bin Dakin meriwayatkan hadits itu kepada kami.”
Sanad ini shahih, sebab Amer di dalam At-Taqrib dinilai tsiqah tsabat (kukuh ke-tsiqah-annya) sedangkan perawi lainnya sudah dikenal. Al-Fadhl bin Dakin adalah Abu Na’im, guru Imam Bukhari di dalam hadits itu. Hadits yang diriwayatkan itu bisa dijadikan penguat, dan orang-orang yang meriwayatkan hadits tersebut darinya, juga selalu menggunakan dua tambahan di atas.
Sedangkan Amer, menurut Al-Baihaqi dikuatkan oleh Muhammad bin Al-Husain bin Abu Hunain (1/368). Selanjutnya Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahih Bukhari. Anda bisa mengeceknya.”
Adapun Abu Na’im dikuatkan oleh Husain bin Muhammad Abu Ahmad Al-Marwarudzi, yang berkata: “Syaiban meriwayatkan hadits itu kepada kami.”
Perawi dengan nama Husain ini adalah puterra Baram At-Tamimi. Ia seorang perawi tsiqah dan dipakai oleh Bukhari-Muslim.
Hadits ini, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah memiliki enam sanad. Saya telah mentakhrij semuanya di dalam kitab Irwa’ul Ghalil fi Takhriji Ahadtisi Manaris Sabil, yang sedang saya susun. Semoga Allah memberikan kemudahan untuk menyelesaikan dan mencetaknya (lihat hadits no. 250).
Saya memilih hadtis yang mengandung tambahan ini karena dapat memperjelas arti bahwa dengan adanya kata ar-raka’ah pada sanad-sanad lain, yang dimaksud adalah mendapatkan ruku’ dan sujud pertama pada raka’at pertama. Sebab orang yang tidak mendapatkan sujud, maka tidak akan mendapatkan satu raka’at. Dan orang yang belum mendapatkan satu raka’at, maka tidak dianggap mendapatkan sholatnya secara penuh (jadi shalatnya dianggap qadha’ bukan ada).
Kandungan Hadits
Dari penjelasan di atas, dapat kita tarik beberapa hukum yang ada di dalam hadits tersebut, yaitu:
Pertama: Membatalkan pendapat orang-orang yang menyatakan bahwa jika matahari terbit, padahal seseorang baru mendapatkan raka’at kedua, maka shalatnya batal. Mereka juga mengatakan bahwa jika matahari terbenam dan ia masih berada di raka’at terakhir shalat Asharnya, maka shalatnya tidak sah. Pendapat itu jelas tidak benar, sebab bertentangan dengan hadits Nabi r di atas seperti dijelaskan oleh Imam Nawawi dan Imam yang lain. Hadits ini tidak boleh ditentang dengan hadits yang melarang melakukan shalat pada saat matahari terbit atau terbenam. Sebab hadits itu bersifat umum (‘am) sedangkan hadits ini bersifat khusus (khash). Padahal menurut kaidah ilmu Ushul, hadits ‘am tidak boleh dipakai jika ada hadits yang khash.
Anehnya di antara mereka yang berpendapat seperti itu, memakai hadits ini untuk kepentingan madzhabnya di dalam satu masalah. Sedangkan di dalam masalah ini (yang kita bahas disini) mereka menentangnya, bahkan sebagian ada yang mengaburkan arti hadits ini. Maka kepada Allah-lah kita kembalikan sifat fanatik madzhab yang sampai memutarbalikkan hadits ini. Az-Zaila’I di dalam kitabnya Nasbhur Rayah (1/229) setelah menyebutkan hadits ini dari Abu Hurairah dan hadits lain yang senada berkomentar:
“Hadits-hadits ini juga menimbulkan polemik di antara kami yang semadzhab, terutama mengenai batalnya shalat Subuh ketika matahari terbit. Penyusun sendiri dengan hadits itu berpendapat bahwa akhir waktu shalat Ashar adalah selama matahari belum terbenam.”
Kedua: Penolakan terhadap orang yang berpendapat, bahwa untuk mendapatkan shalat, cukup dengan melaksanakan sebagian rukunnya, sekalipun hanya takhbiratul ihram. Pendapat ini jelas bertentangan dengan teks hadits itu. Pendapat ini disebutkan di dalam Manarus-Sabil sebagai pendapat Imam Syafi’i. Sebenarnya hal ini hanya sebagian pendapat yang berkembang di kalangan madzhabnya, seperti yang dijelaskan oleh Imam Nawawi di dalam Al-Majmu’ (3/63) dan sebenarnya adalah madzhab Hambali, sedang mereka hanya mengutipnya dari Imam Ahmad yang berkata: “Shalat tidak bisa ditemukan kecuali mendapatkan satu raka’at.” Dengan demikian Imam Ahmad lebih sesuai dengan hadits itu. Wallahu a’lam
Imam Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Masa’il-nya (hal. 46) menceritakan:
“Saya mengajukan pertanyaan kepada ayah saya tentang orang yang melakukan shalat di pagi hari. Ketika ia mendapatkan satu raka’at dan berdiri untuk raka’at kedua, matahari terbit, bagaimana hukumnya?” Beliau menjawab: “Hendaknya ia menyempurnakan shalatnya, dan shalatnya tetap sah.” Saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan orang yang menyangka bahwa shalat itu tidak sah?” Beliau menjawab: “Rasulullah r bersabda: “Orang yang telah mendapatkan satu raka’at shalat Subuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkaqn shalatnya (artinya tetap dianggap ada’).”
Kemudian saya melihat suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar di dalam kitab haditsnya (nomor: 11/1) dengan sanad shahih dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata: “Jika seseorang mengangkat kepalanya (bangun) dari sujud terakhirnya, maka shalatnya sempurna.” Dan kemungkinan besar yang dimaksudnya adalah sujud terakhir (kedua) dari raka’at pertama. Dengan demikian pendapat ini merupakan pendapat baru mengenai masalah ini. Wallahu a’lam.
Ketiga: Perlu diketahui bahwa yang dimaksudkan oleh hadits ini adalah orang yang sengaja mengakhirkan shalatnya sampai waktiu yang sempit. Meskipun shalatnya sah, ia tetap berdosa, sesuai dengan sabda Nabi r :
تِلْكَ صَلاَةُ مُنَفِقِ يَجْلِسُ يُرَقِبُ الشَّمْسَ حَتَّى اِذَابَيْنَ قَرْ نَى اُلشَّيْطَانِ قَامَ تَنْفِرُهَا اَرْبَعً لاِيَذْكُرُ اﷲَبِهَا اِلاَّ قَلِيْلَ .
“Begitulah shalat orang munafiq. Ia duduk mengintip matahari, sehingga tatkala matahari berada di antara dua tanduk syaithan, maka ia berdiri mematuknya empat kali. Ia tidak menyebut nama Allah, kecuali sedikit sekali.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (2/110), dan Imam lainnya, dari hadits Anas ra. Adapun orang yang tidak sengaja (hanya orang yang lupa dan orang yang tidur) mempunyai ketentuan yang berbeda. Ia harus melakukan shalat yang ditinggalkannya tatkala ia ingat atau bangun, meskipun matahari sedang terbit atau terbenam. Hal ini berdasar pada hadits Nabi r :
مَنْ نَسِيَ صَلاَةَ (اَوْمَانَ اَنْهَا) فَلْيُصَلِّهَا اِذَا ذَكَرَهَا لاَكَفَّارَةَ لَهَا اِلاَّ ذٰلَكَ ( فَاِنَّ اﷲَ تَعَالىٰ يَقُالُ : اَقِمِ الصّلاَةَ لِذِكْرِىْ ) .
“Orang yang lupa melakukan shalat (atau tertidur) maka shalatlah ketika ia ingat. Tidak ada kaffarat baginya kecuali hal itu, sebab (Allah I berfirman: ‘Tegakkanlah shalat karena mengingat-Ku).”
Hadits ini juga ditakhrij oleh Imam Muslim (2/142) dari Anas t. Demikian pula Imam Bukhari di dalam kitab shahihnya.
Dengan demikian ada dua hal dalam masalah ini, yaitu menentukan shalat dan dosa. Hal pertama itulah yang dimaksudkan dalam hadits di atas, namun jangan dikira seseorang terlepas dari hal yang kedua, yakni tidak mendapatkan dosa karena mengakhirkan shalat sampai lepas waktunya. Bukan seperti itu, bagaimanapun ia tetap berdosa, baik menemukan shalatnya maupun tidak. Jika ia dinilai menemukan shalatnya, maka shalatnya sah, namun masih mendapatkan dosa. Tetapi jika tidak dianggap menemukan shalat, maka selain shalatnya tidak sah juga tetap mendapatkan dosa.
Keempat: Arti sabda Nabi r, “Hendaklah ia menyempurnakan shalatnya”, adalah bahwa ia menemukan shalat pada waktunya, shalatnya sah dan tidak berkewajiban meng-qadha’-nya. Namun jika ia tidak mendapatkan satu raka’at maka tidak perlu menyempurnakan shalatnya, karena shalatnya tidak sah sebab telah keluar dari waktu yang telah ditentukan. Namun ia masih mempunyai tanggungan. Semua itu semata-mata dimaksudkan agar selanjutnya ia berhati-hati dalam menjaga waktu shalat. Oleh karena itu orang yang sengaja mengakhirkan shalatnya, seperti dijelaskan hadits kedua itu, “Tidak ada kaffarat selain itu.”
Dari sini jelaslah bagi mereka yang memiliki ketajaman pemahaman tentang hukum Islam, adanya kekeliruan orang yang berpendapat: “Jika orang yang lupa atau orang yang tertidur saja diperintahkan untuk meng-qadha’ shalatnya, maka orang yang sengaja mengakhirkannya lebih diwajibkan. Qiyas semacam ini salah. Karena termasuk mengqiyaskan dua hal yang kontradiksi. Mungkinkah mengqyiaskan orang yang berhalangan dengan orang yang tidak berhalangan, orang yang sengaja dan orang yang tidak sengaja, dan antara orang yang diwajibkan membayar kaffarat oleh Allah dengan orang yang tidak diwajibkan membayarnya? Pada dasarnya hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap hadits ini. Dengan pertolongan Allah saya telah menjelaskannya.”
Al-Allamah Ibnul Qayyim telah membahas hal ini secara terperinci dan tuntas, dan saya kira sampai saat ini belum ada penjelasan yang menyamainya. Pada kesempatan ini saya akan mengutipkan dua bahasan saja, yaitu tentang pembatalan qiyas dan tentang sanggahan terhadap orang yang menggunakan hadits di atas untuk menentang apa yang telah saya jelaskan. Setelah menyebutkan masalah-masalah itu, beliau menanggapinya dari berbagai segi:
Pertama: Diperbolehkannya (disahkannya) melakukan shalat qadha’ bagi orang yang berhalangan – yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tidak meremehkan perintah-perintah itu – tidak berarti diperbolehkannya melakukan hal itu (shalat qadha’) bagi orang yang mengerjakannya di luar waktu yang ditentukan. Menganalogkan dua hal ini jelas meruapkan analog yang paling kacau.
Kedua: Orang yang berhalangan karena lupa atau tertidur sebenarnya tidak melakukan shalat di luar waktunya, akan tetapi tetap melakukakan pada waktunya. Sebab waktu shalat bagi orang seperti itu adalah ketika ingat atau telah bangun, sebagaimana sabda Nabi r: “Orang yang lupa tidak melakukan shalat, maka waktunya adalah ketika dia ingat.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni. (Hadits dengan redaksi ini nilainya dha’if, namun demikian ada hadits lain yang semakna, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra).
Dengan demikian waktu shalat ada dua macam: waktu ikhtiar dan waktu udzur. Yang pertama adalah waktu biasa, sedangkan yang kedua adalah waktu yang diberikan kepada orang yang berhalangan (tertidur atau lupa). Jadi waktu shalat kepada orang yang berhalangan adalah ketika ia ingat atau bangun. Dengan demikian orang seprti ini masih dikatakan melakukan shalat pada waktunya. Maka bagaimana mungkin hal ini bisa dianlogikan dengan orang yang sengaja mengerjakan shalat di luar waktunya!
Ketiga: Syari’at memberikan konsekuensi yang berbeda antara orang yang sengaja dan orang yang lupa, antara orang-orang yang berhalangan dan orang-orang yang tidak berhalangan. Hal ini sudah jelas sekali. Dengan demikian, menyamakan keduanya merupakan kesalahan, bahkan sangat ditentang.
Keempat: Kami tidak menggugurkan kewajiban shalat itu bagi orang-orang yang sengaja melakukan shalat diluar waktunya dan mewajibkannya bagi orang yang berhalangan. Karena itu apa yang kalian sampaikan menjadi cambuk bagi kami. Kami hanya mewajibkan kepada mereka yang sengaja mengerjakan shalat di luar waktunya, dan tidak dapat menemukan raka’at sama sekali. Itu kami maksdukan untuk memperberat mereka, sebagai pelajaran agar di lain waktu, mereka benar-benar memperhatkan waktu shalat dengan baik. Sedangkan bagi orang yang berhalangan dan tidak berlebih-lebihan, kami memperbolehkannya melakukan hal itu.
(Masalah :) Adapun argumentasi kalian dengan sabda Nabi r: “Orang yang menemukan satu raka’at shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah menemukannya,” maka saya katakan bahwa tidak ada hadits lain yang menguatkannya. Di samping itu, nampaknya hadits itu tidak tepat jika kalian jadikan sebagai argument. Sebab kalian mengatakan: “I a telah mendapatkan shalat Ashar, meskipun belum mendapatkan raka’at sedikitpun pada waktunya. Maksudnya shalatnya dianggap sah dan terlepas dari kewajibannya menggantinya di waktu lain.” Seandainya shalat yang dilaksanakan di luar waktunya diterima, maka tentu tidak ada kaitan sama sekali dengan menemukan satu raka’at. Padahal kita ketahui bahwa hadits itu bermaksud menjelaskan bahwa orang yang menemukan satu raka’at shalat Ashar (sebelum matahari terbenam) maka shalatnya tanpa terkena dosa. Akan tetapi sebenarnya ia tetap dosa karena sengaja mengerjakannya di luar waktu yang ditentukan, sedang ia diperintahkan untuk mengerjakan shalat secara sempurna pada waktunya. Dengan demikian, menemukan shalat tidak berarti terlepas dari dosa. Seandainya shalatnya sah dilakukan di luar waktunya (setelah matahari terbenam), maka tentu tidak ada perbedaan antara menemukan satu raka’at pada waktunya dan tidak menemukannya sama sekali.
Jika kalian berkata: “Kalau demikian, jika ia mengakhirkan shalatnya sampai matahari benar-benar terbenam, maka dosanya tentu lebih besar.”
Kami akan berakata: Nabi r di dalam haditsnya tidak menjelaskan perbedaan dosa (besar kecilnya) antara orang yang menemukan satu raka’at dan orang yang tidak menemukannya sama sekali. Beliau hanya membedakan yang dapat menemukannya dan yang tidak. Namun tidak diragukan lagi, bahwa orang yang tidak menemukan seluruh raka’at shalat pada waktunya lebih besar dosanya dibanding dengan orang yang tidak menemukan sebagian raka’atnya. Dan orang yang tidak menemukan sebagian besar raka’atnya lebih besar dosanya dibanding dengan orang yang hanya tidak menemukan satu raka’at.
Sekarang kami akan bertanya kepada kalian: “Apa sebenarnya yang dimaksud dengan menemukan raka’at disini?” Apakah hal itu berarti menemukan shalat tanpa terkena dosa? Kalau demikian yang kalian maksudkan, maka tak seorang pun Imam mengatakan hal itu. Ataukah menemukan shalat yang menjadikan sahnya shalat? Kalau demikian, maka tidak ada perbedaan antara orang yang menemukan seluruh raka’at dan orang yang tidak menemukan sebagiannya.KEUTAMAAN MEMBACA TASBIH
٦٤ - مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اﷲِالْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِه ، غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِى الْجَنَّةِ
“Orang yang membaca Subhanallahil Adhim Wabihamdihi berarti ia telah menanam sebuah pohon kurma di surga.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf (12/125/2), At-Tirmidzi (2/258/259), Ibnu Hibban dan Al-Hakim (1/501-502) melalui Abu Zubair dari Jabir secara marfu’.
At-Tirmidzi menilai: “Hadits ini hasan shahih.” Sedangkan Al-Hakim mengatakan: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim.”
Sementara itu Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian ini tetapi di dalam kitab Al-Takhis-nya ia mengatakan: “Shahih sesuai dengan syarat Bukhari.” Sebenarnya itu kurang tepat, sebab Abu Zubair hanya dipakai oleh Imam Muslim, cuma ia seorang mudallis (orang yang meriwayatkan hadits dengan mengaburkan sanadnya) dan sering meriwayatkan hadits dengan cara ‘an’anah (menggunakan kata ‘an) kecuali bila hadits itu diriwayatkannya dari Jabir, maka nilainya tetap shahih.
Di tempat lain saya melihat penguat hadits itu, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaiban (12/127/1) dari Amer bin Syu’aib dari Abdullah bin Umar yang menuturkan:
“Barangsiapa berkata: Subhanallahil Adhim Wa bihamdih, maka berarti ia telah menanam pohon korma di surga.”
Perawi-perawi hadits itu tsiqah, hanya saja terdapat pemutusan sanad antara Amer dan kakeknya Ibnu Umar. Meskipun hadits ini secara teknis termasuk mauquf (beritanya berhenti hanya kepada sahabat) tetapi nilainya marfu’, sebab tidak diucapkan berdasarkan pendapat semata.
Hadits ini memiliki syahid hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Mu’az bin Sahl dengan matan:
“Barangsiapa membaca Subhanallahil Adhim maka ia akan menjadi sebuah pohon di surga.”
KEUTAMAAN MEMBACA TASBIH
٦٤ - مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اﷲِالْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِه ، غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِى الْجَنَّةِ
“Orang yang membaca Subhanallahil Adhim Wabihamdihi berarti ia telah menanam sebuah pohon kurma di surga.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf (12/125/2), At-Tirmidzi (2/258/259), Ibnu Hibban dan Al-Hakim (1/501-502) melalui Abu Zubair dari Jabir secara marfu’.
At-Tirmidzi menilai: “Hadits ini hasan shahih.” Sedangkan Al-Hakim mengatakan: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim.”
Sementara itu Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian ini tetapi di dalam kitab Al-Takhis-nya ia mengatakan: “Shahih sesuai dengan syarat Bukhari.” Sebenarnya itu kurang tepat, sebab Abu Zubair hanya dipakai oleh Imam Muslim, cuma ia seorang mudallis (orang yang meriwayatkan hadits dengan mengaburkan sanadnya) dan sering meriwayatkan hadits dengan cara ‘an’anah (menggunakan kata ‘an) kecuali bila hadits itu diriwayatkannya dari Jabir, maka nilainya tetap shahih.
Di tempat lain saya melihat penguat hadits itu, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaiban (12/127/1) dari Amer bin Syu’aib dari Abdullah bin Umar yang menuturkan:
“Barangsiapa berkata: Subhanallahil Adhim Wa bihamdih, maka berarti ia telah menanam pohon korma di surga.”
Perawi-perawi hadits itu tsiqah, hanya saja terdapat pemutusan sanad antara Amer dan kakeknya Ibnu Umar. Meskipun hadits ini secara teknis termasuk mauquf (beritanya berhenti hanya kepada sahabat) tetapi nilainya marfu’, sebab tidak diucapkan berdasarkan pendapat semata.
Hadits ini memiliki syahid hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Mu’az bin Sahl dengan matan:
“Barangsiapa membaca Subhanallahil Adhim maka ia akan menjadi sebuah pohon di surga.”
MEMBERI MAKAN
KEPADA YANG MEMBUTUHKAN
٤٤ - خِيَارُكُمْ مَنْ اَطْعَمَ الطَّعَامَ .
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mampu memberi makan (kepada orang yang membutuhkannya).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Luwain di dalam kitab haditsnya (2/25), ia berkata: “Ubaidillah bin Umar telah meriwayatkan kepada saya dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Hamzah bin Shuaib dari ayahnya yang memberitahukan:
“Umar berkata kepada Shuaib: “Laki-laki macam apa sebenarnya engaku, dengan adanya tiga hal seperti itu.” Suhaib bertanya: “Apa saja ketiga hal itu?” Umar menjawab: “Engkau memakai nama kunyah1) sedang engaku tidak memiliki anak, engkau memakai nama kebangsaan Arab padahal engaku orang Romawi dan engkau mempunya kelebihan makanan.” Suhaib memproters: “Mengenai perkataan Anda: “Engaku memakai nama kunyah sedangkan engkau tidak memiliki anak”, maka hal ini karena Rasulullah memberi nama kinayah pada saya dengan sebutan Abu Yahya. Adapun perkataan anda: “Engkau memakai nama kebangsaan Arab, padahal engkau orang Romawi”, maka sebenarnya saya adalah keturunan Namir bin Qasith dan anda tahu sendiri sejak masa kanak-kanak saya. Sedangkan perkataan Anda: “Engkau memiliki kelebihan makanan”, maka saya mendengar Rasulullah e bersabda: (Kemudian menyebutkan sabda Nabi e di atas).”
Demikianlah hadits itu ditakhrij oleh Ibnu Asakir 9*/194-195), Adh-Dhiya Al-Maqdisi di dalam Al-Hadits Al-Mukhtarah (1/16) dan Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Al-‘Aliyat (hadits no. 25) yang mengatakan:
“Hadits ini hasan dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Abu Ya’la dan Ath-Thabrani.”
Saya berpendapat hadits ini memiliki beberapa syahid yang diriwayatkan oleh Jabir dan lain-lain, dan menurut Ibnu Asakir hadits ini bisa naik derajatnya menjadi hasan shahih.
Ibnu Majah (hal 3737) hanya meriwayatkan kisah nama kun-yah. Sedang Al-Bushairi di dalam Al-Zawa’id berkata: “Hadits ini hasan sanadnya.”
Imam Ahmad meriwayatkannya secara penuh di dalam kitabnya (6/16) dengan menambahkan “ وَرَوَالسَّلاَم (dan menjawab salam)”. Isnad hadits ini hasan meskipun di dalamnya terdapat Zubair, yakni Ibnu Muhammad At-Tamimi Al-Khurasani. Riwayatnya itu tidak berasal dari orang-orang Syam, karena itu tetap bisa diterima.
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya (6/333) dari jalur Zaid bin Aslam, bahwa Umar bin Khattab berkata kepada Shuhaib: (Kemudian ia menuturkan hadits di atas). Perawi-perawi hadits tsiqat, tetapi terputus antara Zaid dan Umar.
Hadits ini mempunyai syahid (hadits yang diriwayatkan perawi lain dengan makna yang sama) yang diriwayatkan dari Luwain dari Abu Hurairah. Semua perawinya tsiqah kecuali Abu Ubaid, seorang budak yang telah dimerdekakan oleh Abdurrahman, yang riwayatnya diperoleh dari Abu Hurairah. Abu Ubaid ini belum saya temukan biografinya.
Kandungan Hukum Hadits
Hadits tersebut di atas mengandung beberapa hikmah:
1. Disyari’atkannya memakai nama kun-yah bagi orang yang tidak memiliki anak. Bahkan ada hadits shahih di dalam Shahih Bukhari dan kitab lainnya bahwa Nabi e pernah memberi nama kun-yah untuk seorang bocah, tatkala Beliau memakaikan baju indah kepadanya. Beliau bersabda: “Ini baju bagus, wahai Ummu Khalid.” Kaum muslimin, lebih-lebih non Arab telah meninggalkan tradisi Nabi ini. Sedikit sekali mereka memakai nama kun-yah meskipun mempunyai banyak anak, apalagi yang tidak mempunyai anak. Mereka justru memakai nama julukan yang dibuat-buat, seperti Efendi, Biek, Pasya, Sayyid, Ustadz dan lain-lain yang sedikit banyak mengandung unsure berbangga diri dan jelas dilarang oleh syari’at melalui berbagai hadits Nabi e. Hal ini perlu kita camkan benar-benar.
2. Keutamaan memberi makan (menyuguhkan makan kepada orang lain). Hal ini merupakan tradisi khas yang membedakan bangsa Arab dengan bangsa lain. Tatkala Islam datang, kebiasan itu dipupuk dan dibina melalui sabda-sabda Nabi e. Saat itu orang-orang Eropa belum mengenal dan memetik manfaat tradisi tersebut kecuali orang-orang yang beragama Islam di sana. Yang perlu disayangkan adalah bahwa orang-orang kita justru memiliki tradisi Eropa, baik sesuai atau tidak dengan ajaran Islam. Mereka tidak perduli lagi dengan tradisi jamuan makan, kecuali pada acara-acara formal. Yang dimaksudkan oleh Islam bukan hanya terbatas pada moment seperti itu, bahkan siapapun sahabat muslim kita yang datang, rumah kita harus kita buka selebar-lebarnya untuknya dan kita jamu semampu kita. Sebab itu menjadi haknya dan menjadi kewajiban kita selama tiga hari, seperti dijelaskan di berbagai hadits Nabi e. Yang paling mengherankan adalah justru tradisi baik yang diajarkan Islam tersebut jarang ditemukan di Arab (khususnya), padahal semua itu merupakan pilar tegaknya suatu umat, seperti derma, gairah tinggi dalam beragama, ketegaran jiwa, dan sebagainya. Sungguh indah apa yang dilantunkan oleh seorang penyair:
“Tegaknya suatu bangsa hanya dengan budi mulia, tanpa itu binasalah mereka.”
Dan yang lebih indah adalah apa yang disabdakan oleh junjungan kita, Muhammad e:
٤٥ - اِنَّمَا بُعِثْتُ لاُِتَمِّمَ مَكَارِمَ – وَفَىْ رِوَيَةٍ : صَالِحِ – اْلاَخْلَقِ .
”Aku diutus hanya untuk menyempurnakan budi pekerti mulia (riwayat lain budi pekerti yang baik).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Al-Adab Al-Mufarrad (nomor: 273), Ibnu Sa’ad di dalam Ath-Thabaqat (1/192), Imam Ahmad (2/318), Imam Hakim (2/613) dan Ibnu Asakir di dalam Tarikh Dinasqi (6/267) melalui Ibnu Ijlan dari Al-Qa’qa bin Hakim dari Abu Shaleh dari Abu Hurairah secara marfu’.
Sanad ini hasan. Imam Hakim menuturkan: “Sanad ini shahih sesuai dengan syarat Muslim.” Sementara Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian ini. Demikian pula Ibnu Ijlan. Adapun Imam Muslim mentakhrijnya dengan hadits-hadits yang lain.
Hadits ini juga memiliki syahid yang ditakhrij oleh Ibnu Wahab di dalam Al-Jami’ (hal. 75), ia berkata: “Hisyam bin Sa’ad telah memberi kabar kepada saya dari Zaid bin Aslam secara marfu’.”
Hadits ini mursal (perawinya gugur di sanad terakhir) dan sanadnya hasan, dengan demikian bisa bernilai shahih. Imam Malik juga meriwayatkannya di dalam Al-Muwatha’ (2/904). Dalam hal ini Ibnu Abdil Bar berkomentar:
MEMBERI MAKAN
KEPADA YANG MEMBUTUHKAN
٤٤ - خِيَارُكُمْ مَنْ اَطْعَمَ الطَّعَامَ .
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mampu memberi makan (kepada orang yang membutuhkannya).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Luwain di dalam kitab haditsnya (2/25), ia berkata: “Ubaidillah bin Umar telah meriwayatkan kepada saya dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Hamzah bin Shuaib dari ayahnya yang memberitahukan:
“Umar berkata kepada Shuaib: “Laki-laki macam apa sebenarnya engaku, dengan adanya tiga hal seperti itu.” Suhaib bertanya: “Apa saja ketiga hal itu?” Umar menjawab: “Engkau memakai nama kunyah1) sedang engaku tidak memiliki anak, engkau memakai nama kebangsaan Arab padahal engaku orang Romawi dan engkau mempunya kelebihan makanan.” Suhaib memproters: “Mengenai perkataan Anda: “Engaku memakai nama kunyah sedangkan engkau tidak memiliki anak”, maka hal ini karena Rasulullah memberi nama kinayah pada saya dengan sebutan Abu Yahya. Adapun perkataan anda: “Engkau memakai nama kebangsaan Arab, padahal engkau orang Romawi”, maka sebenarnya saya adalah keturunan Namir bin Qasith dan anda tahu sendiri sejak masa kanak-kanak saya. Sedangkan perkataan Anda: “Engkau memiliki kelebihan makanan”, maka saya mendengar Rasulullah e bersabda: (Kemudian menyebutkan sabda Nabi e di atas).”
Demikianlah hadits itu ditakhrij oleh Ibnu Asakir 9*/194-195), Adh-Dhiya Al-Maqdisi di dalam Al-Hadits Al-Mukhtarah (1/16) dan Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Al-‘Aliyat (hadits no. 25) yang mengatakan:
“Hadits ini hasan dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Abu Ya’la dan Ath-Thabrani.”
Saya berpendapat hadits ini memiliki beberapa syahid yang diriwayatkan oleh Jabir dan lain-lain, dan menurut Ibnu Asakir hadits ini bisa naik derajatnya menjadi hasan shahih.
Ibnu Majah (hal 3737) hanya meriwayatkan kisah nama kun-yah. Sedang Al-Bushairi di dalam Al-Zawa’id berkata: “Hadits ini hasan sanadnya.”
Imam Ahmad meriwayatkannya secara penuh di dalam kitabnya (6/16) dengan menambahkan “ وَرَوَالسَّلاَم (dan menjawab salam)”. Isnad hadits ini hasan meskipun di dalamnya terdapat Zubair, yakni Ibnu Muhammad At-Tamimi Al-Khurasani. Riwayatnya itu tidak berasal dari orang-orang Syam, karena itu tetap bisa diterima.
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya (6/333) dari jalur Zaid bin Aslam, bahwa Umar bin Khattab berkata kepada Shuhaib: (Kemudian ia menuturkan hadits di atas). Perawi-perawi hadits tsiqat, tetapi terputus antara Zaid dan Umar.
Hadits ini mempunyai syahid (hadits yang diriwayatkan perawi lain dengan makna yang sama) yang diriwayatkan dari Luwain dari Abu Hurairah. Semua perawinya tsiqah kecuali Abu Ubaid, seorang budak yang telah dimerdekakan oleh Abdurrahman, yang riwayatnya diperoleh dari Abu Hurairah. Abu Ubaid ini belum saya temukan biografinya.
Kandungan Hukum Hadits
Hadits tersebut di atas mengandung beberapa hikmah:
1. Disyari’atkannya memakai nama kun-yah bagi orang yang tidak memiliki anak. Bahkan ada hadits shahih di dalam Shahih Bukhari dan kitab lainnya bahwa Nabi e pernah memberi nama kun-yah untuk seorang bocah, tatkala Beliau memakaikan baju indah kepadanya. Beliau bersabda: “Ini baju bagus, wahai Ummu Khalid.” Kaum muslimin, lebih-lebih non Arab telah meninggalkan tradisi Nabi ini. Sedikit sekali mereka memakai nama kun-yah meskipun mempunyai banyak anak, apalagi yang tidak mempunyai anak. Mereka justru memakai nama julukan yang dibuat-buat, seperti Efendi, Biek, Pasya, Sayyid, Ustadz dan lain-lain yang sedikit banyak mengandung unsure berbangga diri dan jelas dilarang oleh syari’at melalui berbagai hadits Nabi e. Hal ini perlu kita camkan benar-benar.
2. Keutamaan memberi makan (menyuguhkan makan kepada orang lain). Hal ini merupakan tradisi khas yang membedakan bangsa Arab dengan bangsa lain. Tatkala Islam datang, kebiasan itu dipupuk dan dibina melalui sabda-sabda Nabi e. Saat itu orang-orang Eropa belum mengenal dan memetik manfaat tradisi tersebut kecuali orang-orang yang beragama Islam di sana. Yang perlu disayangkan adalah bahwa orang-orang kita justru memiliki tradisi Eropa, baik sesuai atau tidak dengan ajaran Islam. Mereka tidak perduli lagi dengan tradisi jamuan makan, kecuali pada acara-acara formal. Yang dimaksudkan oleh Islam bukan hanya terbatas pada moment seperti itu, bahkan siapapun sahabat muslim kita yang datang, rumah kita harus kita buka selebar-lebarnya untuknya dan kita jamu semampu kita. Sebab itu menjadi haknya dan menjadi kewajiban kita selama tiga hari, seperti dijelaskan di berbagai hadits Nabi e. Yang paling mengherankan adalah justru tradisi baik yang diajarkan Islam tersebut jarang ditemukan di Arab (khususnya), padahal semua itu merupakan pilar tegaknya suatu umat, seperti derma, gairah tinggi dalam beragama, ketegaran jiwa, dan sebagainya. Sungguh indah apa yang dilantunkan oleh seorang penyair:
“Tegaknya suatu bangsa hanya dengan budi mulia, tanpa itu binasalah mereka.”
Dan yang lebih indah adalah apa yang disabdakan oleh junjungan kita, Muhammad e:
٤٥ - اِنَّمَا بُعِثْتُ لاُِتَمِّمَ مَكَارِمَ – وَفَىْ رِوَيَةٍ : صَالِحِ – اْلاَخْلَقِ .
”Aku diutus hanya untuk menyempurnakan budi pekerti mulia (riwayat lain budi pekerti yang baik).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Al-Adab Al-Mufarrad (nomor: 273), Ibnu Sa’ad di dalam Ath-Thabaqat (1/192), Imam Ahmad (2/318), Imam Hakim (2/613) dan Ibnu Asakir di dalam Tarikh Dinasqi (6/267) melalui Ibnu Ijlan dari Al-Qa’qa bin Hakim dari Abu Shaleh dari Abu Hurairah secara marfu’.
Sanad ini hasan. Imam Hakim menuturkan: “Sanad ini shahih sesuai dengan syarat Muslim.” Sementara Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian ini. Demikian pula Ibnu Ijlan. Adapun Imam Muslim mentakhrijnya dengan hadits-hadits yang lain.
Hadits ini juga memiliki syahid yang ditakhrij oleh Ibnu Wahab di dalam Al-Jami’ (hal. 75), ia berkata: “Hisyam bin Sa’ad telah memberi kabar kepada saya dari Zaid bin Aslam secara marfu’.”
Hadits ini mursal (perawinya gugur di sanad terakhir) dan sanadnya hasan, dengan demikian bisa bernilai shahih. Imam Malik juga meriwayatkannya di dalam Al-Muwatha’ (2/904). Dalam hal ini Ibnu Abdil Bar berkomentar:
KEUTAMAAN ADZAN
٤١ - يعْجُبُ رَبُّكُمْ مِنْ رَاعِىْ غَنَمٍ فِى رَأْسِ شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ ، يُؤَذَِنُ بِالصَّلاَةِ ، وَيُصَلِّىْ ، فَيَقُالُ اﷲُعَزَّ وَجَلَّ : ,, أَنْظُرُوْاعِلىٰ عَبْدِ ىْ يُؤَذْنُ وَيُقِيْمُ الصَّلاَةَ يَخَفُ مِنِّى ، فَقَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِيْ وَاَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ . ،،
“Tuhan kalian mengagumi seorang penggembala kambing yang ada di atas bukit. (Karena) ia mengumandangkan panggilan untuk shalat. Kemudian Allah I berfirman: Lihatlah hamba-Ku ini. Ia adzan dan iqamat serta mendirikan shalat. Ia takut kepadaku. Karena itu Aku mengampuninya dan memasukkannya ke dalam surga.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Shalatus-Safar , hadits nomor 1203, An-Nasa’I di dalam Al-Adzan (1/108) dan Ibnu Hibban (260) melalui jalur Ibnu Wahab, dari Amer bin Al-Hartis, bahwa Abu Usyayanah meriwayatkannya dari ‘Uqbah bin ‘Amir yang menuturkan: “Saya mendengar Rasulullah r bersabda: (kemudian ia menyebutkan sabda Nabi r di atas).”
Saya berpendapat: Sanad ini shahih dan perawi-perawinya tsiqah. Abu ‘Usyayanah nama aslinya adalah Hayyi bin Yu’min. Ia seorang yang tsiqah. Kata asy-syadziyyah berarti sebagian puncak gunung yang tampak menjulang.
Kandungan hokum hadits ini adalah tentang dianjurkannya adzan bagi orang yang shalat sendirian. Dengan makna inilah An-Nasa’I menterjemahkan hadits tersebut. Anjuran ini juga terdapat di dalam hadits lain yang berisi pula tentang iqamat. Oleh karena itu tidak selayaknya kita mengecilkan arti keduanya.
٤٢ - مَنْ اَذَّنَ الثْنَتَى عَشَرَ سَنَةً وَجَبَتَ لَهُ الْجَنَّةُ وَكُتِبَ لَهُ بِتَأْذِيْنِهِ فِىكُلِّ مَرَّةً ، وَبِاِقَامَةِ ثَلاَثُوْنَ حَسَنَةً .
“Orang yang adzan (menjadi mu’adzin) selama dua belas tahun, maka ia wajib masuk surga. Setiap kali adzan ditulis untuknya enam puluh kebaikan. Dan setiap kali iqamat, ditulis untuknya tiga puluh kebaikan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (hadits no. 728), Al-Hakim (I/205). Kemudian dari Al-Hakim Al-Baihaqi meriwayatkan (I/344). Juga diriwayatkan oleh Ibnu Addi (I/220), Al-Baghawi di dalam Syarhus-Sunnah (1/58/1-2) dan Adh-Dhiya di dalam Al-Muntaqa min masmu’aatihi Binnarin (1/32). Semuanya dari Abdullah bin Shaleh, ia memberitahukan: “Telah memberitahukan kepada saya Yahya bin Ayyub dari Ibnu Juraij dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’.” Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari.” Penilaian ini sama dengan penilaian Adz-Dzahabi. Kemudian Al-Mundziri berkata dalam kiabnya (1/111):
“Yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Hakim. Sebab Abdullah bin Shaleh, penulis Al-Laits, meskipun dikritik, tetapi haditsnya diriwayatkan (diambil) oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahih.”
Pernyataan dari Al-Mundziri ini lebih baik daripada persetujuan Adz-Dzahabi yang menilainya shahih secara mutlak. Dan Al-Mundziri juga memasukkannya ke dalam kelompok hadits yang munkar di dalam biografi Abullah bin Shaleh.
Sedang Ibnu Addi mengomentari hadits itu:
“Saya tidak melihat orang yang meriwayatkannya dengan sanad ini dari Ibnu Wahab (mungkin yang dimaksudkannya adalah Ibnu Ayyub), kecuali Abu Shaleh, dan menurut saya hadits ini bisa diterima kecuali bila di dalam sanad dan matannya terdapat kesalahan, walaupun kesalahan itu tidak disengaja.”
Al-Baghawi juga mengomentari: “Abdullah bin Shaleh, penulis Al-Laits, sebenarnya seroang yang shuduq (bisa dipercaya), kalau saja di dalam haditsnya tidak mengandung penilaian munkar.”
Oleh karena itu Al-Bushairi di dalam Az-Zawa’id (nomor: 2/48) mengungkapkan: “Sanad hadits ini dha’if karena ke-dha’if-an Abdullah bin Shaleh.”
Hadits ini juga memiliki illat lain, yaitu keterlibatan Ibnu Juraij dalam periwayatannya (ia dikenal pembohong atau mudallis). Karena itu Al-Baihaqi segera berkomentar: “Hadits ini diriwayatkan oleh Yahya bin Al-Mutawakkil, dari Ibnu Juraij, dari orang yang meriwayatkannya kepadanya, dari Nafi’”. Imam Bukhari berkata: “Dan hadits ini hanya sebagai musyabih (yang menyamai).”
Saya berpendapat: Sanad ini jelas tidak bisa dijadikan hujjah, akan tetapi Imam Hakim menyebutkan syahidnya (hadits yang diriwayatkan oleh perawi lain tetapi maknanya sama dari jalur Ibnu Wahab yang berkata: “Telah meriwayatkan kepada saya, dari Abdillah bin Abu Ja’far dari Nafi’”.
Sanad ini shahih dan perawi-perawinya tsiqah. Ibnu Luahi’ah, meskipun ada yang mengkritiknya dari segi hafalannya, tetap shahih. Kritik itu hanya berlaku pada selain jalur ‘Abadillah (tiga Abdullah), maka tetap dianggap shahih. Yang dimaksud dengan ‘Abadillah adalah: Ibnul Mubarak, Ibnu Wahab dan Al-Muqri.
Karena itu, hadits ini bisa dinilai shahih, sebab Ibnu Wahab termasuk di dalam ‘Abadillah.
Hadits ini mengandung pemberitaan tentang keutamaan bagi seorang mu’adzin yang menetapi jangka waktu tersebut. Tetapi untuk memperoleh keutamaan itu tentu saja harus disertai dengan niat yang ikhlas, tidak mengharapkan imbalan, pujian maupun kesombongan, karena adanya beberapa hadits yang menerangkan bahwa Allah hanya akan menerima amal yang ikhals untuk-Nya. (Lihat kembali kitab Ar-Riya” di bagian pertama kitab At-Targhib wat-Tarhib, karya Al-Mundziri).
Ada riwayat yang menejelaskan bahwa seorang laki-laki datang menghadap kepada Ibnu Umar seraya berkata: “Saya amat mencitaimu karena Allah.” Kemudian Ibnu Umar menajawab: “Persaksikanlah bahwa aku membencimu karena Allah.” Ia bertanya, “Mengapa begitu?” Ibnu Umar menjawab: “Karena kamu membuat cacar adzanmu dengan mengambil imbalan!”
Langganan:
Postingan (Atom)