١٧٨ - اَرْقِيْهِ وَعَلِّمِيْهَا حَفْصَةَ كَمَا عَلَّمْتِيْهَا الْكِتَابَ وَفِي رِوَايَةٍ الْكِتَابَةَ
“Berilah penangkal ia dan ajarkanlah pada Hafshah sebagaimana kamu telah mengajarinya menulis. Dalam suatu riwayat: tulis menulis.”
Hadits ini telah ditakhrij oleh Al-Hakim (4/56-57) dari jalur Ibrahim bin Sa’ad dari Salih bin Kibsan: “Telah bercerita kepadaku Ismail bin Muhammad bin Sa’ad bahwa Abubakar bin Sulaiman bin Abi Hatsamah Al-Qursy telah menceritakan kepadanya bahwa seorang lelaki dari kalangan Anshar, di lambungnya telah keluar bintik-bintik hitam. Kemudian dia menunjukkan bahwa Syifa’ binti Abdullah bisa memberikan penangkal (jimat) terhadap penyakit bintik hitam seperti itu. Maka lelaki itu datang kepadanya agar bersedia memberikan penangkal. Namun ia bilang, “Demi Allah aku tidak pernah memberikan penangkal sejak aku memeluk Islam.” Kemudian orang Anshar tersebut menghadap kepada Rasulullah e dan menceritakan kepada beliau tentang apa yang dikatakan oleh Syifa’ tersebut. Rasulullah lalu memanggil Syifa’ seraya bersabda: “Coba kamu jelaskan kepadaku!” Syifa’ lalu menjelaskan, (kemudian perawi menuturkan hadits itu).
Al-Hakim selanjutnya menilai: “Hadits ini adalah shahih menurut syarat Asy-Syaikhain.” Demikian pula oleh Adz-Dzahabi juga disepakati.
Saya menemukan: Hadits ini telah diikuti pula oleh Ibrahim bin Sa’ad dan Abdulaziz bin Umar Abdulaziz, akan tetapi sanad dan matannya berbeda.
Dalah hal sanad dia menyebutkan: “Dari Shalih bin Kisan dari Abubakar bin Abdurrahman bin Sulaiman bin Abu Hatsanah dari Asy-Syifa’ binti Abdullah.”
Dalam sanad tersebut dia menggugurkan Ismain bin Muhmaad bin Sa’ad.
Adapun soal matannya, maka dia meri
wayatkannya denga lafazh:
“Telah datang kepadaku Nabi e sedangkan aku di sebelah Hafshah. Kemudian Nabi e berkata kepadaku: “Tidakkah kamu mengajarkannya menangkal bintik-bintik hitam ini sebagaimana kamu mengajarkannya tulis-menulis?”
Dalam hadits ini tidak disebutkan bahwa Asy-Syifa’ dipanggil menghadap Nabi e dan perintah Nabi e agar mengajarkan cara membuat penangkal (jimat).
Nanti akan kita ketahui mengenai hal ini setelah memahami hadits tersebut menurut cara yang benar. Insya Allah.
Hadits ini ditakhrij oleh Imam Ahmad (6/388), Abu Dawud (2/154), Ath-Thahawi dalam Syarah Ma’ani Al-Atsar (2/388) dan An-Nasa’i dalam Al-Fatawi Al-Haditsiyah karya As-Sakhawi (81/2) dan Nailul-Autrhar karangan Asy-Syaukani (8/176).
Namun riwayat yang pertama adalah lebih shahih dilihat dari dua sisi:
Pertama: Bahwa Ibrahim bin Sa’ad adalah lebih bagus hafalannya draipada lawannya Abdulaziz bin Umar. Keduanya meskipun dibuat hujjah oleh As-Syaikhain, namun Al-Hafizh dalam At-Taqrib mengomentari yang pertama sebagai perawi yang tsiqah dan tidak ada celaan terhadapnya. Sedangkan yang lain, dia mengatakan: “dipercaya namun kadang salah.” Oleh karena itu Adz-Dzahabi menulisnya dalam Al-Mizan dan Adh-Dhu’afa dan tidak menyinggung yang pertama.
Kedua: Bahwa Ibrahim memberikan tambahan dalam sanad dan matan. Dan tambahan seorang tsiqah adalah dapat diterima, sebagaimana telah dimaklumin.
Sungguh hadits itu juga telah diikuti oleh Muhammad bin Al-Munkadir, dari Abubakar bin Sulaiman secara ringkas. Namun dalam sanadnya Muhammad berbeda. Dia menyebutkan:
“Dari Hafshah, bahwa sesungguhnya Nabi e datang kepadanya dan di sisinya ada seorang wanita yang dikenal dengan nama Syifa’, si tukang penangkal penyakit bintik-bintik hitam. Kemudian Nabi e bersabda:
“Ajarkanlah pada Hafshah.”
Jadi, hadits itu dari Musnad Hafshah bukan Asy-Syifa’.
Hadits itu telah ditakhrij oleh Imam Ahmad (6/286), Ath-Thahawi, Al-Hakim (4/414) dan Abu Na’im dalam Ath-Thib (2/28/2) dari Sufyan dari Ibnul Munkadir. Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih sanadnya.”
Penilaian tersebut telah disepakati oleh Adz-Dzahabi.
Saya berpendapat: Hadits itu memang seperti apa yang telah keduanya katakan. Adanya perbedaan tersebut tidak berbahaya. Karena mungkin saja Hafshah menceritakan apa yang juga diceritakan oleh Asy-Syifa’. Karena kisah itu memang melibatkan keduanya. Kemudian hadits itu diriwayatkan oleh Abubakar bin Sulaiman, kadang dari Hafshah dan terkadang dari Syifa’. Akan tetapi As-Sakhawi menyebut bahwa Abubakar bin Sulaiman berbeda dengan Syifa’ dalam soal washal dan irsal-nya.
Saya berpendapat: Ini juga tidak berbahaya. Karena telah diriwayatkan secara maushul, sebagaimana yang telah diberlakukan oleh jamaah dari kalangan orang-orang tsiqah menurut Hakim dan juga oleh selain mereka menutur selain Hakim. Jadi perbedaan mereka tidak ada masalah. Apalagi hadits itu juga diikuti oleh Karib bin Sulaiman Al-Kindi yang mengisahkan:
“Ali bin Al-Husain bin Ali radiallahu anhu memegang tanganku. Dia mengajakku kepada seorang lelaki dari Quraisy yaitu salah seorang Bani Zahrah yang dikenal dengan Ibnu Abi Hatsmah. Ali shalat dekat dengannya hingga Ibnu Abi Hatsmah selesai dari shalatnya. Kemudian dia menghadapkan mukanya kepadaku, lalu Ali bin Al-Husain berkata kepadanya: “Bagaimana cerita yang baru saja kamu sebutkan dari ibumu mengenai ajimat itu?” Dia menjawab: “Benar, ibuku telah bercerita kepadaku bahwa dia menangkal dengan suatu penangkal pada zaman jahiliyah. Kemudian manakala Islam telah datang, dia berkata: “Aku tidak membuat penangkal lagi sampai Rasulullah e menyuruh. Maka Nabi e bersabda: “Buatlah penangkal selagi tidak menyekutukan Allah Azza Wa Jalla.”
Hadits ini ditakhrij oleh Ibnu Hibban (1414) dan Al-Hakim (14/57) dari jalur Al-Jarrah bin Adh-Dhahak Al-Kindi dari Karib. Dan Ibnu Mandah menggantungkan haditsnya dari segi ini.
Mengenai Karib, ia dipakai pula oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh Wat-TA’dil (3/2/169). Akan tetapi Ibnu Abi Hatim di sini menyebut bapaknya dengan nama Salim, dan tidak menyebutkan adanya jarh (cacat).
Kemudian hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Mandah dalam Al-Ma’rifah (2/332/1) dari jalur Utsman bin Umar bin Utsman bin Sulaiman bin Abi Hatsmah Al-Qursy Al-Aduwwi: “Telah bercerita kepadaku bapaknya dari kakekku, Utsman bin Sulaiman, dari ayahnya dari ibunya, Asy-Syifa’ binti Abdullah. Bahwa Asy-Syifa’ adalah tukang menangkal dengan penangkal jahiliyah. Dan dia manakala telah berhijrah kepada Nabi e, didatangkan kepada beliau, lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah e, sesungguhnya saya adalah tukang menangkal dengan penangkal pada zaman jahiliyah, apakah engkau ingin saya memperlihatkannya kepadamu?” Nabi bersabda: “Perlihatkanlah!” Kemudian saya memperlihatkannya kepada beliau. Antara lain adalah penangkal penyakit bintik-bintik hitam itu. Lalu beliau bersabda: “Tangkallah dengannya dan ajarkanlah pada Hafshah.”
“Dengan nama Allah, keras manakala ia keluar dari mulutnya dan tidak membahayakan seseorang. Ya Allah, hilangkanlah penyakit itu wahai Tuhan manusia!” Perawi berkata: “Ia menangkalnya dengan kayu kurkum (sejenis kayu za’faran) tujuh kali dan meletakkannya di tempat yang bersih kemjudian menggosokkannya pada batu dan kemudian menempelkannya pada penyakit bintik-bintik hitam itu.”
Al-Hakim dalam hal ini diam saja. Sedangkan Adz-Dzahabi berkata: “Ibnu Ma’in ditanya mengenai Utsman, namun dia tidak mengenalnya.”
Yang dimaksud Utsman bin Umar. Sedangkan Ibnu ‘Adi berkata: “Ia (Utsman bin Umar) adalah majhul.”
Saya berpendapat: Jalur ini memang lemah, demikian pula jalur yang sebelumnya. Namun sebagai hadits mutabi’at tidaklah mengapa.
Kata-kata sulit:
( نملة ) yaitu bintik-bintik hitam yang keluar pada bagian lambung.
( رقيقة النملة ) Asy-Syaukhani berkata dalam tafsirnya:
“Itu adalah suatu ungkapan dimana wanita Arab telah biasa memakainya. Setiap orang yang mendengarnya tahu bahwa itu adalah ungkapan yang tidak berbahaya dan tidak pula berguna. Sedangkan kata “ruqayatan namlah” yang dikenal di kalangan mereka adalah bermakna merayakan, menyemir, menyelak dan setiap perbuatan yang dilakukan oleh pengantin, kecuali perbuatan yang mendurhakai suaminya.”
Demikian Asy-Syaukhani mengatakan. Namun saya tidak tahu darimana dia merujuk sumber. Lebih-lebih dalam hal dia mendasarkan ucapannya itu pada sabda Nabi e: “Tidaklah kamu mengetahui ini…”
Yang dimaksudkan oleh Nabi dengan sabda itu adalah menegur dengan tujuan untuk mendidik Hafshah dengan cara mengkritik. Sebab beliau mengucapkannya secara tidak jelas. Namun kemudian hal itu menjadi jelas dan terang setelah turunnya ayat sebagai berikut:
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا
“Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa.” (QS At-Tahrim : 3)
Saya berpendapat: Hadits ini tidak ada kaitannya dengan larangan menyebarkan rahasia yang terbeberkan seperti yang dikatakan oleh Nabi “Sebagaimana kamu telah mengajarinya tulis-menulis.” Jika mengajarkan penangkal tidak ada gunanaya, tentu tidak disamakan dengan mengajarkan tulis-menulis. Lagipula hadits itu menjelaskan bahwa Nabi e memerintahkan (dalam rangka pengetahuan) memberikan penangkal kepada seorang lelaki kalangan Anshar dari serangan penyakit bintik-bintik hitam dan memerintahkan pula agar mengajarkannya pada Hafshah. Apakah masuk akal jika Nabi saw memerintahkan membuat penangkal itu, kemudian Asy-Syaukhani menyebutnya sebagai tidak bersanad?. Tidak diragukan lagi bahwa itu bukanlah suatu ungkapan yang berbahaya dan tidak berguna. Nabi saw lebih mengetahui artinya manakal dia memerintahkan membuat penangkal itu. Jikalau lafazh Abu Dawud adalah untuk menakwilkan dugaan hadits itu, maka sesungguhnya lafazh Al-hakim sebagaimana yang telah kami kemukakan, sama sekali tidak menunjukkan hal demikian itu. Bahkan ia jelas menunjukkan kekeliruan penakwilan. Oleh karenanya, Ibnu Atsir menyebutkan penafsiran Asy-Syaukhani tersebut dalam An-Nihayah, mengenai “Penangkal penyakit bintik-bintik hitam” itu dengan kata-kata ‘qila’ (dikatakan). Hal ini menunjukkan betapa lemahnya penafsiran tersebut dalam menakwilkan sabda beliau “Tidaklah kamu mengetahui!”
( كركم ) berarti za’faran. Dikatakan juga berarti burung pipit, ada lagi yang mengartikannya sejenis pepohonnan. Kata itu berasal dari bahasa Persi yang kemudian di-arab-kan ( فرسيّ معرب ). Demikianlah, namun saya tidak mengetahui artinya. Barangkali saja, jika tidak salah, adalah kata-kata ibarat. Wallahu a’lam.
Kandungan Hadtis
Ada dua hal penting terkandung dalam dua hadits tersebut:
Pertama: Dianjurkan seseorang memberi penangkal kepada orang lain, selama tidak mengandung syirik. Berbeda halnya dengan meminta penangkal (jimat) dari orang lain, maka hal ini adalah makruh. Karena ada hadits:
“Ukasyah telah mendahului dengannya.”
Hadits ini sudah begitu terkenal sekali.
Kedua: Wanita dianjurkan belajar tulis-menulis. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (no. 118), menulis “Babul Kitabah Ilan-Nisa’i Wa Jawabihinna”. Kemudian dia meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih berasal dari Musa bin Abdullah yang mengisahkan:
“Telah bercerita kepadaku Aisyah binti Thalhah, dia berkata: “Aku berbicara kepada Aisyah sedangkan aku berada di kamarnya dan orang-orang datang kepadanya dari berbagai kota. Orang-orang tua menganggapku sebagai anak karena kedudukanku darinya dan anak-anak muda menganggapku sebagai saudara, lalu mereka memberikan hadiah kepadaku. Mereka dari berbagai kota menulis surat kepadaku. Aku berkata kepada Aisyah, “Wahai Bibi, ini tulisan Fulan dan hadiahnya.” Lalu Aisyah berkata kepadaku, “Bani apa ini? Jawablah dia dan beri upah dia! Jika kamu tidak mempunyai upah, aku akan memberimu.” Aisyah binti Thalhah melanjutkan. “Kemudian Aisyah memberiku.”
Saya berpendapat: Musa yang dimaksudkan adalah Ibnu Abdillah bin Ishaq, yakni Thalhah bin Al-Qurasyiyyi. Dia meriwayatkan dari segolongan tabi’in, disamping itu dua orang tsiqah telah meriwayatkan darinya. Ibnu Abi Hatim menyebutnya dalam Al-Jarh Wat-Ta’dil (4/1/150). Sementara orang sebelumnya yang juga meriwayatkan adalah, adalah Al-Bukhari dalam At-Tarikhul Kabir (4/287) dan keduanya, baik Ibnu Abi Hatim maupun Al-Bukhari tidak menyebutkan adanya cacat atau sesuatu yang perlu diluruskan. Bahkan Ibnu Hibban memasukkannya dalam At-Tsiqat. Sedangkan Al-Hafizh dalam At-Taqrib mengatakan, ia adalah maqbul (diterima haditsnya) dalam kedudukannya sebagai hadits pendukung (matabi’). Jika tidak maka sebagai hadits yang layyin (lentur).
Ibnu Taimiyah dalam Mutaqad Akhbar, di penghujung hadits itu mengatakan: “Hadits itu merupakan dasar diperbolehkannya wanita belajar tulis menulis.”
Dalam hal ini dia diikuti oleh Syaikh Abdurrahman bin Mahmud Al-Ba’labaki Al-Hambali dalam Al-Mathla (Q 108/1), kemudian oleh Asy-Syaukhani dalam Syarah-nya (8/117) yang berkomentar: “Adapun hadits: “Janganlah kamu mengajarkan kepada mereka tulis menulis, janganlah kamu tempatkan mereka di kamar dan ajarkanlah kepada mereka surat An-Nur.” Larangan belajar tulis-menulis dalam hadits ini adalah terhadap orang yang dikhawatirkan akan menjadi rusak setelah belajar.”
Saya berpendapat: Pendapat ini tidak benar ditinjjau dari dua segi:
Pertama: JIka diperhatikan, hadits yang memerintahkan itu adalah shahih sedangkan hadits yang melarang itu maudhu’ (dibuat dengan dusta) sebagaimana dijelaskan oleh Adz-Dzahabi. Semua jalurnya terlalu lemah. Dan mengenai hal ini telah saya jelaskan pula dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah (no. 2018). Jika demikian halnya, maka kedua hadits itu tidak perlu dipertemukan. Dalam hal ini As-Sakhawi mempunyai pendapat sebagaimana Asy-Syaukani. Dia mengatakan: “Sesungguhnya hadits yang memerintahkan itu lebih shahih daripada hadits yang melarang.” Ini memberikan kesan seolah-olah hadits yang melarang tersebut adalah shahih.
Kedua: Jika larangan belajar itu berlaku untuk orang yang dikhawatirkan akan menjadi rusak, tentunya yang dilarang itu bukan khusus kaum wanita.
Berapa banyak kaum laki-laki yang setelah pandai justru menjadi rusak agama dan moralnya. Tidak perlukah laki-laki juga dicegah belajar tulis-menulis? Bahkan jika demikian halnya soal kekhawatiran itu mestinya juga mencakup belajar membaca, bukan hanya dalam belajar tulis-menulis saja.
Yang benar, bahwa tulis baca adalah suatu nikmat dari Allah I.yang diberikan kepada manusia. Ini sebagaimana yang telah disinggung oleh Allah سبحانه وتعالى.dalam Al-Qur’an:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.”(QS Al-Alaq : 1-4)
Adalah merupakan nikmat yang lain yang Allah I.berikan kepada mereka. Tentu saja Allah I. menghendaki supaya mereka menggunakan kenikmatan itu untuk taat kepada-Nya. Jika kemudian ada orang yang menggunakannya untuk bermaksiat, itu tidak merubah keberadaannya sebagai nikmat. Seperti nikmat memandang, mendengar, berbicara, dan lain-lain. Maka demikian pula nikmat baca dan tulis. Sehingga tidak sepatutnya para bapak melarang anak perempuan mereka mempelajari baca tulis untuk menunjang pendidikan mereka mencapai akhlak yang Islami. Dan tidak ada bedanya antara lelaki dan kaum wanita.
Pada dasarnya apa yang diwajibkan atas kaum lelaki juga diwajibkan atas kaum wanita. Apa yang diperbolehkan bagi kaum lelaki juga diperbolehkan bagi kaum wanita. Tidak ada bedanya. Seperti telah disyaratkan oleh Nabi e dalam sabdanya:
“Sesungguhnya wanita adalah bagian dari kaum laki-laki.” (HR Ad-Darimi dan lainnya).
Jadi tidak boleh mendiskriminasikan kecuali memang ada nash yang menunjukkannya. Sedang dalam kasus ini tidak ada nash yang melarang kaum wanita belajar tulis menulis. Memang ada seseorang yang bersyair:
“Wanita itu tidak boleh menulis, bekerja dan berpidato. Semua itu adalah bagian kami. Sedangkan bagian mereka adalah bermalam dalam keadaan junub.”
Semoga dalam hal ini Allah I.memberikan kepaahaman kepada kita.1)