WAROENG BELAJAR

Selasa, 27 Maret 2012

MENEBARKAN SALAM


١٨٣ -  إِذَا انْتَهٰى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُوْمَ فَيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ اْلأُوْلٰى بِأَحَقَّ مِنَ اْلآخِرَةِ .

          “Manakala salah seorang kamu telah sampai ke majelis, maka hendaklah dia memberi salam. Dan manakala ia hendak berdiri, maka hendaklah ia memberi salam. Tentu saja yang awal tidak lebih berhak daripada yang akhir.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (1007 dan 1008), Abu Dawud (5208), At-Tirmidzi (2/118), Ath-Thahawi dalam Al-Musykil (2/139), Ahmad (2/230, 287, 439), Al-Hamidi (1162), Abu Ya’la dalam Musnad-nya (Q. 306/1) dan Al-Fakihi dalam Hadits-nya dari Abi Yahya bin Abi Maisarah (1/5/2) dari Ibnu ‘Ajlan dari Sa’id Al-Maqbari dari Abu Hurairah secara marfu’. At-Tirmidzi berkomentar: “Hadits ini hasan.”

          Saya berpendapat: Sanadnya adalah jayyid. Semua perawinya tsiqah. Dan mengenai Ibnu ‘Ajlan, yang namanya adalah Muhammad, ada sedikit pembicaraan yang tidak membahayakan bagi ke-hujjah-an haditsnya. Apalagi ia juga diikuti oleh Yaqub Ibnu Zaid At-Tamiyyi dari Al-Maqbari. Sedangkan At-Tamiyyi adalah tsiqah, maka hadits ini jelas shahih. Wal hamdulillah, dia juga mempunyai beberapa syahid (hadits pendukung) sebagaimana akan disebutkan.

          Hadits ini juga telah didukung oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami’ ush-Shaghir dan Al-Kabir (1/45/1), Ibnu Hibban di samping Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Kemudian As-Suyuthi itu juga mendukungnya di tempat lain selain dalam Al-Kabir (1/21/1) kepunyaannya Ibnu Sunni, yaitu tepatnya dalam ‘Amalun Yaum Wal Lailah. Demikian pula dengan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Saya tidak melihatnya dalam Al-Mustadrak setelah saya menelitinya dalam Al-Birri dan As-Sillah serta Al-Adab. Wallahu a’lam.

          Termasuk hadits pendukung itu adalah hadits yang ditakhrij oleh Ahmad (3/438) dari jalur Ibnu Luhai’ah yang memberitakan: “Telah bercerita kepadaku Zuban, dari Sahel bin Mu’adz, dari ayahnya, dari Rasulullah r yang bersabda:

          “Adalah keharusan bagi orang yang berdiri mendatangi majelis untuk memberi salam kepada mereka. Dan adalah keharusan bagi orang yang beridiri hendak meninggalkan majelis untuk memberi salam pula.” Kemudian seseorang berdiri ketika Rasulullah r tengah berbicara dan orang yang berdiri itu tidak memberikan salam hingga Rasulullah r  bersabda: “Alangkah cepatnya melupakan sesuatu.”

          Saya berpendapat: Hadits ini sanadnya dha’if. Tetapi tidak mengapa la ba’sa bih) sebagai hadits pendukung. Hadits ini juga dikuatkan oleh Al-Bukhari yang mentakhrijnya dalam Al-Adab Al-Mufrad (1009) dari jalur lain yang berasal dari Bustham. Bustham menuturkan: “Aku mendengar Mu’awiyah bin Qurrah berkata: “Telah berkata kepadaku ayahku:

          “Wahai anakku, jika engkau dalam suatu majelis dimana engkau mengharapkan kebaikannya, kemudian engkau terdesak oleh suatu keperluan, maka katakanlah: “Salam sejahtera atas kamu,” maka sesungguhnya engkau akan menyertai mereka pada apa yang mereka dapatkan dalam majelis itu. Tidak ada suatu kaum yang duduk di suatu majelis kemudian mereka meninggalkannya dan mereka tidak mengingat Allah, kecuali seolah-olah mereka bubar dari bangkai himar.”

          Hadits ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah. Meskipun mauquf namun dihukumi marfu’ karena tidak dikatakan berdasarkan pendapat. Apalagi kebanyakan orang menilainya shahih secara marfu’ hadits pertama dari Abi Hurairah ini. Dan yang lain juga dari haditsnya pula, sebagaimana dapat kita lihat dalam nomor (77) dan sebaiknya teliti pula hadits-hadits sebelum dan sesudahnya.

          Salam ketika meninggalkan majelis adalah suatu adab kesopanan yang mulai banyak ditinggalkan di sebagian negeri. Bahkan terkadang oleh orang yang berilmu, dan para peminatnya. Sepatutnya manakala hendak memasuki ruang belajar, mereka memberikan salam terlebih dahulu. Demikian pula bila hendak keluar. Yang pertama tidak lebih utama dari yang akhir. Oleh karena itu menyebutkan salam adalah diperintahkan seperti juga di dalam hadits berikut ini:

١٨٤ – إِنَّ السَّلاَمَ اِسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ تَعَالٰى وَضَعَهُ فِي اْلأَرْضِ فَأَفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ .
          “Sesungguhnya salam adalah nama dari nama-nama Allah I Ia meletakkannya di bumi. Maka sebarkanlah salam di antara kamu.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (989): “Telah bercerita kepadaku Syihab, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Hammad bin Salmah, dari Hamid dari Anas, yang menuturkan: Telah bersabda Rasulullah r: (kemudian perawi menyebutkan hadits tersebut).”

          Saya berpendapat: Hadits ini sanadnya shahih. Semua perawinya tsiqah, yakni perawi-perawi Asy-Syaikhain kecuali Hammad bin Salmah, dia hanya perawi Muslim, bukan Asy-Syaikhain.

          Hadits ini juga mempunyai syahid dari hadits Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan secara marfu’.

          Hadits itu dikeluarkan oleh Abusy-Syaikh dalam Ath-Thabaqat (47/295) dari jalur Abdullah bin Umar, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Yahya bin Sa’id dari Al-A’masy dari Zaid bin Wahab dari Abdullah. Selanjutnya Abusy-Syaikh berkata: “Abdullah bin Umar menyendiri dalam meriwayatkannya.”

          Saya menemukan: Dia adalah Abdullah bin Umar bin Yazid Az-Zuhri.

          Abusy-Syaikh menjelaskan: “Ia diberi Kunyah Abu Muhammad dan menjadi Wali Qadhi di Kurkh, menetap di sana dan meninggal pada tahun 252 H. Riwayatnya tersebut merupakan riwayat dari Yahya, Abdurrahman, Ruh, Hammad bin Sa’adah, Muhammad bin Bakar, Abu Qutaibah dan lain-lainnya. Dia memiliki banyak karya tulis, disamping juga mengetengahkan hadits-hadits yang tidak menyendiri periwayatannya.”

          Kemudian Abusy-Syaikh mendukungnya dengan beberapa hadits. Yang pertama adalah dicantumkan oleh Ibnu Abi Hatim (2/2/111) dan di sini dia tidak menyebutkan adanya cacat.

          Saya berpendapat: Seseorang minimal akan mendukungnya jika tidak menjadikannya sebagai hujjah. Dan dalam kasus Abdullah bin Umar ini, hadits-hadits yang telah disebutkan oleh Abusy-Syaikh tidak ada yang diigkari. Wallahu a’lam.

          Hadits ini juga telah dicantumkan oleh Al-Mundziri dalam At-Targhib (3/267-268) dengan tambahan:

          “Sesungguhnya seorang muslim manakala lewat suatu kaum hendaklah memberikan salam kepada mereka, kemudian mereka menjawabnya, maka bagi dia atas mereka mendapat keunggulan derajat karena ia memperingatkan mereka dengan salam. Jika mereka tidak menjawabnya, maka orang lain yang lebih baik dari mereka telah menjawabnya.”

          Selanjutnya Al-Mundziri mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani. Sedangkan salah satu sanad Al-Bazzar adalah jayyid (bagus) dan kuat.”

          Dalam bab ini ada juga hadits dari Abu Hurairah yang senada dengan hadits Anas.

          Hadits ini ditakhrij oleh Al-Aqili seperti dalam Al-Jami’ul Kabir (1/159/1).

          Jadi, hadits itu adalah shahih tidak diragukan lagi. Banyak hadits shahih yang juga memerintahkan menyebarkan salam. Sebagian ada dalah kitab Ash-Shahih. Dan saya telah memilih hadits ini di antaranya, karena hadits ini memang tidak ada dalam Ash-Shahih, sekalipun sanadnya shahih. Lebih-lebih telah didukung oleh beberapa hadits syahid sebagaimana tersebut. Sehingga saya tertarik untuk menjelaskannya.

          Perlu diketahui bahwa beberapa perintah menyebarkan salam amat luas lingkupnya, namun hanya sebagian kecil orang yang menyempitkannya, karena mereka tidak mengetahui bahwa itu sunnah atau memang karena malas mengamalkannya.

          Termasuk di antaranya adalah memberi salam kepada orang yang sedang shalat. Banyak orang mengira bahwa hal itu tidak dianjurkan. Bahkan Imam Nawawi dalam Al-Adzkar menyebutnya makruh. Padahal dalam Syarah Muslim dijelaskan bahwasanya menjawab salam dengan isyarat adalah sunnah. Bahkan banyak hadits yang menjelaskan salam para sahabat terhadap Nabi r ketika beliau sendang shalat, sedangkan beliau membiarkan mereka demikian. Di sini saya akan sebutkan salah satu hadits itu. Yakni hadits Ibnu Umar yang menuturkan:

١٨٥ -  خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلٰى قُبَاءَ يُصَلِّيْ فِيْهِ فَجَاءَتْهُ اْلأَنْصَارِ فَسَلَّمُوْا عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي قَالَ : فَقُلْتُ لبِلاَلٍ كَيْفَ رَأَيْتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِيْنَ كَانُوْا يُسَلِّمُوْنَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي؟  قَالَ : يَقُوْلُ هٰكَذَا . وَبَسَطَ كَفَّهُ وَبَسَطَ جَعْفَرُ بِنْ عَوْنٍ كَغَّهُ وَجَعَلَ بَطْنَهُ أَسْفَلَ وَجَعَلَ ظَهْرَهُ إِلٰى فَوْقَ .
          “Rasulullah r  keluar ke Quba’ bershalat di situ. Kemudian orang-orang Anshar datang padanya. Mereka memberikan salam kepadanya. Perawi mengatakan: “Kemudian aku berkata kepada Bilal: “Bagaimana kamu melihat Rasulullah r menjawab salam mereka ketika mereka memberikan salam kepadanya sedangkan beliau sendang shalat?” Perawi melanjutkan: “Bilal berkata: “Demikian,” sambil dia membuka telapak tangannya. Dia menjadikan bagian dalamnya di bawah dan bagian atas telapak tangannya di atas.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Abu Dawud (927), dengan sanad jayyid dan ditakhrij oleh seluruh penulis As-Sunan. At-Tirmidzi berkomentar (2/204): “Hadits ini hasan shahih.”

          Hadits ini juga mempunyai sanad lain yang berasal dari Ibnu Umar, yang disebutkan dalam Al-Musnad (2/30) dan di dalam kitab dari Ibnu Umar.

          Sedang sanadnya adalah shahih menurut syarat Asy-Syaikhain.

          Ada dua orang Imam yang juga memiliki hadits ini. Mereka adalah Imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawih. Al-Mundziri dalam Al-Masail (hal. 22) menuliskan:

          “Saya berkata (yakni kepada Ahmad): “Apakah perlu memberikan salam kepada suatu kaum saat mereka sedang shalat?” Ahmad berkata: “Ya.” Kemudian dia menyebutkan kisah Bilal ketika ditanya oleh Ibnu Umar, “Bagaimana beliau menajwab?  Bilal menjawab: “Dengan memberi isyarat.” Ishaq berkata: Sebagaimana Bilal menjelaskan (dalam hadits di atas).

          “Memberi isyarat dalam shalat untuk menjawab salam adalah karena ada perintah yang turun sewaktu shalat. Terkadang memang ada suatu keperluan terhadap seseorang yang sedang shalat. Mengenai isyarat untuk menjawab salam, telah terdapa atsar yang shahih sebagaimana perbuatan Nabi r di Quba dan lain-lainnya. Bahkan ketika saya di majelis Ath-Thurthusyi dimana kami sedang bermudzakarah mengenai suatu masalah, kami menyinggung dan berpegang pada hadits itu. Seseorang di akhir pertemuan itu berdiri dan berkata: “Mungkin saja beliau menjawab mereka adalah untuk melarang agar mereka tidak mengganggunya.” Sungguh saya terkejut terhadap pemahaman itu. Kemudian setelah itu saya melihat bahwa maksud hadits itu menurut perawi adalah menjawab salam dalam bab ini adalah wajib, seperti yang telah kita jelaskan dalam Ushul Fiqih.”

          Yang mengherankan adalah bahwa An-Nawawi disamping ia menjelaskan dalam Al-Adzkar bahwa memberi salam terhadap orang yang shalat adalah makruh, ternyata di tempat lain juga mengatakan sebagai berikut: “Disunnahkan menjawab salam dalam shalat dengan isyarat dan tidak mengucapkan sesuatu.”

          Saya berpendapat: Yang mengherankan adalah bahwa hukum sunnat menjawab di sini juga berlaku dalam memberikan salam. Karena dalil dari dua perkara ini adalah sama. Baik dari hadits ini atau yang semakna dengannya. Jika ada dalil yang menunjukkan sunnat menjawab tentu hal itu dengan sendirinya juga menunjukkan sunnat memberi salam. Jika hal itu makruh, tentu telah dijelaskan oleh Rasulullah r walaupun dengan tidak memberikan isyarat menjawab. Padahal telah ada kaidah bahwa mengakhirkan keterangan sewaktu diperlukan adalah tidak diperbolehkan. Dan ini merupakan suatu keterangan yang cukup jelas.

          Disamping itu memberi salam kepada muadzin dan orang yang sedang membaca Al-Qur’an juga diperintahkan. Alasannya seperti di muka. Jika salam kepada orang yang sedang shalat saja diperintahkan, tentu akan lebih dianjurkan pula salam kepada orang yang adzan dan membaca Al-Qur’an. Saya ingat, saya pernah membaca suatu hadits dalam Al-Musnad bahwa Nabi r memberi salam terhadap jama’ah yang sedang membaca Al-Qur’an. Sebenarnya saya tertarik untuk mengetengahkan dan membicarakan sanadnya, akan tetapi agak kurang tepat kalau sekarang.

          Lalu apakah keduanya memjawab salam dengan lafazh atau isyarat? Yang jelas dengan lafazh. Sebagaimana An-Nawawi telah berkata:”Adapun muadzin tidak makruh menjawab salam sebagaimana biasa. Karena hal itu sedikit dan mudah. Tidak sampai membatalkan adzan atau merusaknya.”

          Termasuk lagi adalah berungkali salam setelah berpisah walaupun sejenak. Karena Nabi r telah bersabda:

١٨٦ -  إِذَا لَقِيَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ فَإِنْ حَالَتْ بَيْنَهُمَا شَجَرَةٌ أَوْ جِدَارٌ أَوْ حَجَرٌ ثُمَّ لقيه فَلْيُسَلِّمُ عَلَيْهِ أَيْضًا

          “Jika salah seorang kamu berjumpa saudaranya hendaklah ia memberi salam kepadanya. Jika di antara keduanya terhalang oleh pohon, dinding atau batu kemudian ia berjumpa lagi dengannya, hendaklah ia memberi salam lagi kepadanya.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (5200) dari jalur Ibnu Wahab yang memberitahukan: “Telah mengabarkan kepadaku Mu’awiyah Ibnu Shalih yang diperolehnya dari Abu Musa, dari Abi Maryam, dari Abu Hurairah yang menuturkan: “Jika berjumpa…” Mu’awiyah berkata: “Dan telah bercerita pula kepadaku Abdul Wahab bin Bakher dari Abiz Zinal dari Al-A’raj dari Abu Hurairah, dari Rasulullah r mengenai hadits serupa itu.

          Saya berpendapat: Sanad marfu’ itu adalah shahih. Semua pewatinya juga tsiqah. Adapun sanad mauquf, di situ terdapat Abu Musa, dimana dia adalah majhul (tidak dikenal). Bahkan sebagian mereka menggugurkannya dari sanad. Kemudian Abdullah bin Shalih juga meriwayatkannya, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Mu’awiyah dari Abu Maryam dari Abu Hurairah dengan riwayat yang mauquf.”

          Hadits ini telah ditakhrij oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (1010) dan Abdullah bin Shalih di sini dha’if, tidak dapat dipegangi. Terutama jika ada perselisihan mengenai dia. Tetapi hadits ini juga telah ditakhrij oleh Abu Ya’la (1/287) dari Ibnu Shalih dengan sanad sebagai berikut: Dari Ibnu Shalih, dari Mu’awiyah Ibnu Shalih dari Abdul Wahab bin Bakher seperti riwayat Ibnu Wahab Al-Marfu’ah. Inilah yang lebih shahih. Sesungguhnya para sahabat telah melakukan seperti yang terdapat dalam hadist shahih ini. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad telah meriwayatkan (1011) dari Adh-Dhahak bin Nibrus Abil Hasan dari Tsabit dari Anas bin Malik:

          “Sesungguhnya para sahabat Nabi r berjoging. Kemudian mereka dihadapkan pada pohon, maka sebagian mereka berjalan melewati sebelah kanan dan sebagian lagi berjalan melewati sebelah kiri. Manakala mereka bertemu, sebagian memberi salam kepada sebagian yang lain.”

          Saya melihat: Adh-Dhahak di sini layyin (lentur) haditsnya. Tetapi oleh Al-Mundziri (3/268) dan Al-Haitsami (8/34), disandarkan kepada Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, keduanya mengatakan: “Sanadnya adalah hasan.”

          Saya tidak tahu apakah sanad itu dari jalur lain atau memang dari jalur ini. Kemudian sanad tersebut muncul dengan lafazh sebagai berikut:

          “Kami sedang berjalan dengan Rasulullah, kemudian di antara kami terhalang oleh pohon. Manakala kami berjumpa, maka sebagian kami memberi salam kepada sebagian yang lain.”

          Kemudian saya juga melihatnya dalam “Amalun Yaum Wal Lailah” karya Ibnus Sunni (241) dari jalur-jalur yang berasal dari Hammad bin Salamah: “Telah bercerita kepadaku Tsabit dan Hamid dari Anas tersebut. Dan ini sanadnya juga shahih.

          Hadits ini juga didukung oleh hadits yang masyhur dari Abu Hurairah:

          “Sesungguhnya Rasulullah r masuk masjid, Kemudian masuk pula seseorang lalu shalat. Kemudian orang itu menghampiri lalu memberikan salam kepada Rasulullah r Rasulullah r menjawab, beliau bersabda: “Kembalilah dan shalatlah sesungguhnya kamu belum shalat.” Lelaki itu pun kembali lalu shalat sebagaimana beliau bershalat. Kemudian dia datang kepada Nabi r dan memberikan salam kepadanya. (ia malakukan demikian ini sampai tiga kali).”

          Hadits ini telah ditakhrij oleh Asy-Syaikhain maupun lainnya. Hadits ini dipegangi pula oleh Shiddiq Hasan Khan dalam Nuzulul Abrar (350-251) bahwasanya:

          “Manakala seseorang telah memberi salam kepada saudaranya lalu berpisah sebentar kemudian berjumpa, maka disunnahkan pula untuk memberi salam lagi yang kedua atau ketiga.”

          Di sini menunjukkan dianjurkannya salam kepada orang di dalam masjid. Seperti cerita salam orang Anshar kepada Nabi r di masjid Quba. Namun bersama ini kita melihat pula orang yang meremehkan sunnah. Mereka masuk masjid dan tidak mau memberikan salam kepada orang yang di dalamnya. Mereka mengira hal itu adalah makruh. Semoga tulisan ini menjadi peringatan bagi saya dan bagi mereka pula. Sesungguhnya peringatan itu memberikan manfaat bagi kaum mukminin.
READ MORE - MENEBARKAN SALAM

ADAB BERKUNJUNG KEPADA SAUDARA


١٨٢ -  إِذَا زَارَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَجَلَسَ عِنْدَهُ فَلاَ يَقُوْمَنَّ حَتّٰى يَسْتَأْذِنَهُ

          “Jika salah seorang kamu mengunjungi saudaranya lalu duduk di sebelahnya, maka sungguh janganlah ia berdiri sehingga meminta izin kepadanya.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Asy-Syaikh dalam Tarikh Ashbilun (113): “Telah bercerita kepadaku Ishaq bin Muhammad bin Hakim, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Yahya bin Waqid, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Ibnu Abi Ghuniyah, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku ayahku, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Jibillah bin Suhaim dari Ibnu Imran yang memberitahukan: “Telah bersabda Nabi r , lalu dia menyebutkan hadits ini.”

          Saya menilai: Hadits ini sanadnya shahih. Semua perawinya tsiqah dan terkenal.

          Adapun Jibillah bin Suhaim, ia adalah tsiqah dimana Al-Bukhari telah meriwayatkan haditsnya dalam Al-Adab Al-Mufrad.

          Sedangkan Ibnu Abi Ghuniyah, dia adalah Yahya bin Abdul Muluk bin Hamid bin Abi Ghuniyah. Demikian pula ayahnya Abudl Muluk.

          Adapun mengenai Yahya bin Waqid, Abu Asy-Syaikh menjelaskan: “Dia seorang tokoh di bidang Nahwu dan bahasa Arab. Dia memiliki banyak hadits. Bahkan Ibrahim bin Arumah mengatakan bahwa Yahya termasuk taiqah. Dia juga menyebutkan bahwa Yahya itu lahir tahun enam puluh lima, masa kekhalifahan Al-Mahdi, dan haditsnya bisa dinilai bagus.”

          Saya mengetahui, kemudian Abu Asy-Syaikh menyebutkan tiga haditsnya. Sedang hadits yang di atas tersebut adalah yang pertama.

          Adapun Ishaq bin Muhammad bin Hakim, dia adalah Ishaq bin Muhammad bin Ibrahim bin Hakim. Abu Asy-Syaikh (halaman 267) mengomentarinya: “Dia adalah seorang syaikh yang jujur, beradab dan tahu tentang hadits. Dia mempunya buku-buku Abu Ubaidah dan Abdurrazaq, juga banyak menilai hadits.  Dia meninggal pada tahun 312 H.”

          Saya berpendapat: Aneh, hadits ini tidak ada dalam Al-Jamiul Kabir . Abu Asy-Syaikh tidak menyebutkannya di situ. Namun dia menuliskannya dalam Al-Jami’ ush-Shaghir dari riwayat Ad-Dailami dari Ibnu Umar. Seolah dia menyusulkannya di situ. Akan tetapi ia kehilangan sumber yang berharga, yaitu Tarikh Ashbihan sebagaimana kehilangan orang yang menjelaskan (hadits itu) yaitu Al-Manawi. Ad-Dailani mengatakan: “Di sini ada orang yang tidak diketahui.”

          Saya berpendapat: Mungkin saja sanad Ad-Dailani lain dnegan sanad Abu Asy-Syaikh. Jika tidak, maka boleh jadi Ad-Dailami tidak melihat sebagian perawinya. Karena mereka memang tidak dipaparkan selain dalam At-Tarikh ini saja. Dan itulah yang lebih benar. Wallahu a’lam/

          Jadi hadits ini mempunyai faedah yang tidak terlihat dalam kitab sanad. Maka segala puji bagi Allah dan Dia lah yang melimpahkan taufiq.

          Hadits ini memperingatkan adab kesponan amat tinggi. Yakni bahwa seseorang yang berkunjung tidak sepatutnya berdiri kecuali setelah meminta izin kepada orang yang dikunjungi. Adapun kesopanan yang diajarkan oleh Nabi ini kini telah banyak ditinggalkan di sebagian negeri Arab sendiri. Kita melihat mereka keluar dari majelis tanpa meminta izin. Bukan itu saja, bahkan tanpa salam. Ini tidak mencerminkan adab yang Islami, seperti yang disebutkan dalam hadits tersebut.
READ MORE - ADAB BERKUNJUNG KEPADA SAUDARA

TIDAK ADA KETAATAN DALAM MAKSIAT TERHADAP ALLAH



١٧۹ -  لاَ طَاعَةَ لأََِحَدٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالٰى

          Tidak ada ketaatan terhadap seseorang dalam mendurhakai Allah Yang Suci dan Maha Luhur.”

          Hadits ini diriwatakan oleh Imam Ahmad (5/66) dari Abdullah bin Shamit yang menceritakan: “Ziyad hendak mengutus Imran bin Hushain di Khurasan. Imran menolak untuk menghadapi mereka. Maka kawan-kawannya bertanya kepadanya.” Kemudian perawi melanjutkan: “Imran berkata: “Sesungguhnya demi Allah aku tidak suka bershalat dengan panasnya sedangkan kamu bershalat dengan sejuknya. Dan aku takut berada di depan musuh, padahal menurut surat dari Ziyad aku harus. Jika aku laksanakan maka aku akan rusak, dan jika aku pulang tentulah aku akan dipancung leherku.” Perawi melanjutkan kisahnya: “Kemudian Ziyad menghendari Al-Kaham bin Amer Al-Ghifari di Khurasan.” Kata perawi, lalu dia meluluskan perintahnya.” Kata perawi lagi, “Kemudian Imran berkata: “Tidak adakah seseorang yang mendoakan kebaikan untukku?” “Kemudian utusan itu berangkat” Kata perawi: “Lalu Al-Hakam menghadap kepadanya.” Kata perawi lagi: “Lalu ia masuk padanya.” Perawi masih menambahkan, “Kemudian Imran bertanya kepada Al-Hakam “Apakah kamu dengar Rasulullah e bersabda: (lalu menyebutkan hadits itu)?” Al-Hakam menjawab, “Benar.” Imran lalu mengucapkan: “Alhamdulillah atau Allahu Akbar.”

          Saya berpendapat: Hadits ini sanadnya shahih menurut syarat Imam Muslim. Ia dikuatkan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath (13/109). Sedang Ath-Thabrani juga telah meriwatakannya dalam Al-Kabir (1/154/2) secara marfu’ dari Abdullah bin Shamit saja dengan lafazh tersebut.

          Hadits ini juga mempunyai jalur lain menurut Ath-Thayalisi (856), Imam Ahmad (4/432, 5/66) dan Ath-Thabrani (1/155) dari beberapa jalur yang berasal dari Muhammad yang mengisahkan:

          “Seorang laki-laki datang kepada Imran bin Hushain sedangkan kami ada di sebelahnya. Laki-laki itu berkata: “Tugaskanlah Al-Hakam bin Amer Al-Ghifari di Khurasan.” Kemudian Imran benar-benar menghendakinya hingga seorang laki-laki dari suatu kaum berkata kepadanya: “Apakah kami tidak menyertakanmu?” Imran menjawab: “TIdak.” Kemudian Imran berdiri menjumpai Al-Hakam di tengah keramian, lalu berkata: “Sesungguhnya engkau telah memegang suatu perkara besar dari urusan kaum muslimin.” Kemudian dia memberikan perintah, larangan dan sekaligus nasihat, serta berkata: “Apakah kamu ingat suatu hari Rasulullah e bersabda: “Tidak wajib taat kepada makhluk dalam mendurhakai Allah e?” Al-Hakam menjawab: “Ya.” Imran lalu mengucapkan: “Allahu Akbar (Allah Maha Besar).”

          Dalam suatu riwayat kepunyaan Imam Ahmad dari Muhammad:

          “Diceritakan kepadaku bahwa Imran bin Hushain berkata kepada Al-Hakam Al-Ghifari, keduanya adalah sahabat Rasulullah e. ; “Apakah kamu mengetahui pada suatu hari Rasulullah e bersabda: “Tidak ada ketaatan dalam mendurhakai Allah e?”Al-Hakam menjawab: “Ya.” Lalu Imran mengucapkan: “Allahu Akbar (Allah Maha Besar).”

          Perawi-perawinya adalah tsiqah, yaitu perawi-perawi Asy-Syaikhain. Akan tetapi terputus antara Muhammad (Ibnu Sirin) dengan Imran, sepertinya Imam Ahmad bermaksud menjelaskan riwayat kedua.

          Kemudian hadits itu juga ditakhrij oleh Imam Ahmad, Ath-Thabrani dan Al-Hakim (3/443) dari dua jalur yang berasal dari Al-Hasan:

          “Sesungguhnya Ziyad telah menugaskan kepada Al-Hakam Al-Ghifari untuk membawa suatu pasukan. Lalu Imran bin Hushain mendatangi dan menjumpainya di tengah keramaian orang. Dia berkata: “Apakah kamu tahu mengapa aku mendatangimu?” Al-Hakam balik bertanya, “Mengapa?” Imran mejawab, “Apakah kamu ingat kata-kata Rasulullah e kepada seseorang yang amirnya memerintahkan “Menceburlah ke dalam api!” (Kemudian lelaki itu berdiri untuk mencebur ke dalam situ). Lalu sang amir menangkap dan menahannya. Hal itu kemudian diceritakan kepada Nabi e م. Maka beliau bersabda: “Seandainya dia mencebur ke situ tentu masuk neraka sekalian. Tidak ada ketaatan dalam durhaka kepada Allah.” Perawi melanjutkan: “Imran berkata, “Sesungguhnya aku hanya ingin mengingatkanmu mengenai hadits ini.”

          Al-Hakim terhadap hadits ini berkomentar: “Hadits ini shahih sanadnya.” Sementara Adz-Dzahabi menyepakatinya.

          Saya berpendapat, memang hadits itu sebagaimana yang keduanya katakan. Jika Al-Hasan itu adalah Al-Bashri, maka dia mendengarnya dari Imran, dan jika demikian halnya maka hadits itu adalah mudallas. Al-Haitsami dalam Al-Majma’ (5/226), setelah menyampaikan dari jalur Abdullah bin Shamit dan jalur Al-Hasan ini mengatakan:

          “Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan beberapa lafazh dan diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan ringkas. Pada sebagian jalur-jalur terdapat kalimat “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam mendurhakai Khaliq (Sang Pencipta).” Sedang perawi-perawi Imam Ahmad adalah para perawi yang shahih.”

          Yang diriwayatkan secara marfu dari Nabi Muhammad e ada pula jalur lain yang disebutkan secara ringkas dengan lafazh:

١٨٠ -  لاَ طَاعَةَ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالٰى

          “Tiada (kewajiban) untuk taat dalam hal durhaka kepada Allah Tabaraka Wata’ala.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Imam Ahmad (4/426,427 dan 436) dan Ath-Thayalisi (850) dari Qatadah yang berkata: “Saya mendengar Abu Marayah All-Ujali berkata: “Saya mendengar Imran bin Hushain meriwayatkan hadits dari Nabi e , beliau bersabda: (kemudian dia menyebutkan sabda Nabi e di atas).

          Saya berpendapat: Perawi-perawi hadits ini tsiqat dan dipakai oleh Bukhari Muslim, kecuali Abu Marayah. Namun ia dimasukkan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya At-Tsiqat.

          Al-Haitsami juga menampilkan hadits itu dengan matan yang sama (5/226), dari hadits Imran dan Al-Hakam bin Amer. Selanjutnya Al-Haitsami menjelaskan:

          “Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir dan Al-Ausath. Perawi-perawi yang dipakai oleh Al-Bazzar adalah perawi-perawi shahih.”

          Imam Suyuthi menyebutkan hadits tersebut di dalam Al-Jami’ Al-Kabir (3/13/1) dengan matan milik Ath-Thabrani sendiri di dalam Al-Kabir serta Ibnu Qani’ dari Imran bin Hushain bersama Al-Hakam bin Amer Al-Ghifari, kemudian Abu Na’im di dalam kitabnya Al-Mu’jam dan Al-Khatib dari Anas, Asy-Syirazi di dalam Al-Alqab dari Jabir, juga Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir yang dari An- Nawwas bin Sam’an.

          Saya berpendapat: Dalam takhrij hadits ini terdapat kecerobohan yang tidak diragukan lagi. Sebab seperti yang anda lihat sendiri, bahwa matan itu bukan milik Imam Ahmad dan Imam Hakim. Matan itu hanya milik Imam Ath-Thabrani, seperti dijelaskan oleh Al-Haitsami. Saya tidak mengetahui apakah matan itu juga dimiliki oleh orang-orang yang dijadikan sandaran oleh As-Suyuthi berkenaan dengan hadits itu, atau hadits yang sama dengan itu. Yang lebih ceroboh lagi adalah apa yang disebutkan di dalam Al-Jami ash-Shaghir, dimana (As-Suyuthi) mengatakan bahwa redaksi itu milik Imam Ahmad dan Al-Hakim. Ini jelas tidak benar. Dan kecerobohan tersebut tampak jelas dalam hadits yang disebutkan dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir, ia menyebutkan bahwa redaksi itu milik Imam Ahmad an Al-Hakim. Inilah letak kesalahannya. Yang tiada salah hanyalah Allah I
          Hadits di atas mempunyai syahid dari hadits Ali radiallahu anhu yang menjelaskan kisah Al-Amir yang memerintahkan bala tentaranya untuk masuk ke dalam api. Hadits yang dimaksud adalah:

١٨١ -  لاَ طَاعَةَ ( لَبَشَرٍ ) فَيٍ مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ

          “Tiada kewajiban untuk taat (kepada seseorang) yang memerintahkan untuk durhaka kepada Allah I. Kewajiban taat hanya pada hal yang ma’ruf.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Imam Bukhari (13/203 Fath), Imam Muslim (6/15), Imam Abu Dawud (2625), Imam Nasa’i (12/187), Ath-Thayalisi (109) dan Imam Ahmad (1/93) dari Ali radiallahu anhu:

          “Bahwa Rasulullah e mengirim bala tentara dan menunjuk seseorang untuk memimpin mereka. Lalu orang itu menyulut api dan berkata: “Masuklah kalian ke dalamnya.” Ada di antara mereka yang ingin masuk, tetapi yang lain berkata, “Kami akan benar-benar lari darinya.” Hal itu kemudian dilaporkan kepada Baginda Rasul e, lalu beliau bersabda kepada mereka yang akan masuk ke dalam api: “Jika kalian masuk ke dalamnya, maka kalian akan seperti itu selamanya hingga datang hari kiamat.” Sedangkan kepada yang lain beliau bersabda: “(Kemudian rawi menyebutkan sabda Nabi di atas).” Tambahan itu milik Ath-Thayalisi, sedangkan susunan kalimat selebihnya yaitu milik Imam Muslim.”

          Riwayat lain yang juga berasal dari Ali radiallahu anhu:

          “Rasulullah e mengirim satu peleton pasukan dan menunjuk seseorang untuk memimpin. Pemimpin itu berasal dari kaum Anshar. Beliau memerintahkan agar menaati apa yang diperintahkan oleh pemimpin itu. Kemudian ada sesuatu yang membuat pemimpin itu jengkel, yakni sikap pasukan itu. Lalu pemimpin itu memerintahkan: “Kumpulkan kayu bakar untukku.” Mereka segera mengumpulkannya. Pemimpin itu memerintahkan, “Nyalakan api.” Mereka juga segera melakukannya. Lalu dikatakan: “Bukankah Rasul telah memerintahkan kepada kalian agar menaati semua perintahku?” Mereka menjawab, “Benar.” Ia berkata: “Karena itu, masuklah kalian ke dalam api itu.” Perawi berkata: “Kemudian mereka saling memandang lalu berkata: “(riwayat lain menyebutkan, ada seorang pemuda yang berkata kepada mereka): Kita harus lari kepada Rasulullah menjauhi api (karena itu janganlah kalian tergesa-gesa sebelum mendapatkan nasihat dari Rasul. Jika beliau memerintahkannya, maka masuklah kalian). Seperti itulah sikap yang emreka ambil. Kemarahannya pun mulai reda dan api pun segera padam. Tatkala mereka telah kembali, mereka melaporkan hal itu kepada Nabi e Belia bersabda: “Kalau mereka masuk ke dalamnya, maka tidak akan keluar selamanya. (Kewajiban) taat hanya dalam hal ma’ruf.”

          Hadits itu ditakhrij oleh Imam Bukhari (8/46, 13/109), Imam Muslim (6/16) dan Imam Ahmad (1/82, 134)

          Hadits ini mengandung banyak pelajaran, di antaranya tidak diperbolehkannya mentaati orang yang memerintahkan durhaka kepada Allah I, baik hal itu dilakukan oleh umara’, ulama ataupun masyaikh. Dari sini kita dapat mengetahui kesesatan beberapa golongan:

          Pertama: Beberapa ahli tasawuf yang menaati gurunya meskipun diperintah untuk melaksanakan kemaksiatan dengan dalih bahwa hal itu sebenarnya bukan maksiat. Keyakinan mereka bahwa gurunya mengetahui apa yang tidak diketahui oleh muridnya. Saya pernah mendengar suatu kisah bahwa ada seorang guru yang memerintahkan murid-muridnya untuk membunuh ayahnya di saat sedang tidur dengan isterinya. Tatkala mereka berhasil membunuh orang tuanya, mereka datang kepada gurunya dengan hati lega karena telah berhasil melaksanakan perintahnya! Sang gurunya pun  berkata: “Apakah engaku mengira bahwa hakikatnya engaku membunuh orang tuamu? Yang kamu bunuh sebenarnya adalah sahabat Ibmunu. Ayahmu sebenarnya tidak ada.” Dari kisah ini mereka membuat suatu kesimpulan hukum, bahwa seroang guru (syaikh) memerintahkan muridnya untuk melakukan sesuatu yang menyimpang dari ajaran agama (syar’i), maka sang murid harus menaatinya. Mereka berkata: “Meskipun yang kalian lihat adalah bahwa seorang guru memerintahkan membunuh orang tuanya yang jelas haram, namun hakekatnya guru memerintahkan membunuh orang yang berbuat zina dengan ibunya. Ia memang harus dibunuh menurut syari’at. Kesimpulan ini jelas salah dari segi apapun.
1.     Melaksanakan hukuman bukan menjadi hak sang guru itu, bagaimana pun keadaan orang yang hendak dibunuh. Hak bunuh ada di tangan penguasa (al-amir).
2.     Kalau memang hal itu benar perbuatan zina, maka mengapa hukumannya harus dijatuhkan kepada sang laki-laki tidak kepada wanitanya (si ibu) juga, padahal keduanya sama.
3.     Hukuman pelaku zina mushan adalah hukum bunuh dengan rajam, bukan dengan cara lain.

Dari sini jelaslah bahwa syaikh itu telah melakukan kesalahan hukum yang dibuat oleh Mursyid di atas, yang mewajibkan mentaati syaikh meskipun memerintahkan sesuatu yang menyimpang dari syara’. Bahkan Mursyid pun berkata kepada para murid: “Jika kalian melihat syaikh berkalung salib, maka kalian tidak boleh menilainya mungkar.” Dengan jelasnya bukti-bukti kesesatan yang dilakukan ini, kita masih melihat ada orang yang membelanya, padahal orang itu termasuk pemuda yang berpendidikan. Saya pernah mengadakan dialog dengan salah seorang di antara mereka mengenai kisah tersebut. Ia telah mendengar kisah dan kesimpulan hukum itu langsung dari gurunya. Tetapi dialog yang saya lakukan tetap tidak menghasilkan sesuatu. Sebab mereka tetap meyakini kebenaran kisah tersebut. Karena menurutnya, hal ini merupakan karamah. Ia mengatakan: “Kalian bisa berpendapat seperti itu, karena kalian tidak percaya adanya karamah.”

Menanggapi itu, saya katakan kepadanya: “Seandainya syaikhmu memerintahkan kepadamu untuk membunuh orang tuamu, apakah engkau akan menaatinya?” Ia pun menjawab: “Sesungguhnya saya belum sampai ke derajat seperti itu.” Celaka benar petunjuk yang mengesampingkan akal dan hanya menyerah kepada orang-orang yang menyesatkan. Salahkah jika kita melarang mereka dan mengklaim bahwa hal itu menjadi candu bagi bangsa!

Kedua: Mereka bertaklid buta dan memilih pendapat madzhab dengan mengesampingkan tuntunan Nabi e yang sudah diketahuinya. Jika dikatakan kepada mereka, misalnya: “Janganlah engaku melakukan shalat sunnat fajar jika shalat subuh telah dilakukan, sebab Nabi  melarang hal itu.” Mereka akan menjawab: “Ada madzhab yang memperbolehkannya.” Kemudian jika di katakan kepada mereka: “Sesungguhnya nikah tahlil (nikah yang dilakukan agar suami sebelumnya bisa kembali lagi kepada wanita yang sekarang menjadi isterinya) dilarang, sebab Nabi e sangat melaknat perbuatan itu.” Mereka akan menjawab: “Tidak menurut madzhab ini, hal itu diperbolehkan.” Dan masih banyak masalah fiqhiyah yang mereka sikapi seperti itu. Menurut para Ulama Muhaqqiqin, mereka ini termasuk golongan yang dalam Al-Qur’an difrimankan oleh Allah I.bagi orang-orang Nasrani, yaitu:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ

          Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam.” (QS At-Taubah : 31
          Masalah ini dijelaskan pula oleh Al-Fakhrur-Razi di dalam tafsirnya.
          Ketiga: Mereka menaati para penguasa yang membuat peraturan atau undang-undang yang menyimpang dari syara’, seperti negara yang menganut system sosialis atau system lain yang sejenis. Yang paling parah adalah mereka yang mengatakan bahwa system seperti itu memiliki kesamaan dengan Islam. Inilah musibah yang menimpa kita, yang banyak dilakukan oleh para cendekiawan dengan dalih menyumbangkan pemikiran demi kemajuan suatu bangsa. Akibatnya banyak kaum awam yang terkecoh dengan pemikiran mereka itu. Jadi mereka dan para pengikutnya dapat dikategorikan ke dalam kelompok yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya di atas. Hanya Allah lah yang dapat memeberikan pertolongannya kepada kita.
READ MORE - TIDAK ADA KETAATAN DALAM MAKSIAT TERHADAP ALLAH

MENGAJAR TULIS MENULIS KEPADA WANITA


١٧٨ -  اَرْقِيْهِ وَعَلِّمِيْهَا حَفْصَةَ كَمَا عَلَّمْتِيْهَا الْكِتَابَ وَفِي رِوَايَةٍ الْكِتَابَةَ

          “Berilah penangkal ia dan ajarkanlah pada Hafshah sebagaimana kamu telah mengajarinya menulis. Dalam suatu riwayat: tulis menulis.”

          Hadits ini telah ditakhrij oleh Al-Hakim (4/56-57) dari jalur Ibrahim bin Sa’ad dari Salih bin Kibsan: “Telah bercerita kepadaku Ismail bin Muhammad bin Sa’ad bahwa Abubakar bin Sulaiman bin Abi Hatsamah Al-Qursy telah menceritakan kepadanya bahwa seorang lelaki dari kalangan Anshar, di lambungnya telah keluar bintik-bintik hitam. Kemudian dia menunjukkan bahwa Syifa’ binti Abdullah bisa memberikan penangkal (jimat) terhadap penyakit bintik hitam seperti itu. Maka lelaki itu datang kepadanya agar bersedia memberikan penangkal. Namun ia bilang, “Demi Allah aku tidak pernah memberikan penangkal sejak aku memeluk Islam.” Kemudian orang Anshar tersebut menghadap kepada Rasulullah e dan menceritakan kepada beliau tentang apa yang dikatakan oleh Syifa’ tersebut. Rasulullah lalu memanggil Syifa’ seraya bersabda: “Coba kamu jelaskan kepadaku!” Syifa’ lalu menjelaskan, (kemudian perawi menuturkan hadits itu).

          Al-Hakim selanjutnya menilai: “Hadits ini adalah shahih menurut syarat Asy-Syaikhain.” Demikian pula oleh Adz-Dzahabi juga disepakati.

          Saya menemukan: Hadits ini telah diikuti pula oleh Ibrahim bin Sa’ad dan Abdulaziz bin Umar Abdulaziz, akan tetapi sanad dan matannya berbeda.

          Dalah hal sanad dia menyebutkan: “Dari Shalih bin Kisan dari Abubakar bin Abdurrahman bin Sulaiman bin Abu Hatsanah dari Asy-Syifa’ binti Abdullah.”

          Dalam sanad tersebut dia menggugurkan Ismain bin Muhmaad bin Sa’ad.

          Adapun soal matannya, maka dia meri

wayatkannya denga lafazh:

          “Telah datang kepadaku Nabi e sedangkan aku di sebelah Hafshah. Kemudian Nabi e berkata kepadaku: “Tidakkah kamu mengajarkannya menangkal bintik-bintik hitam ini sebagaimana kamu mengajarkannya tulis-menulis?”

          Dalam hadits ini tidak disebutkan bahwa Asy-Syifa’ dipanggil menghadap Nabi e dan perintah Nabi e agar mengajarkan cara membuat penangkal (jimat).

          Nanti akan kita ketahui mengenai hal ini setelah memahami hadits tersebut menurut cara yang benar. Insya Allah.

          Hadits ini ditakhrij oleh Imam Ahmad (6/388), Abu Dawud (2/154), Ath-Thahawi dalam Syarah Ma’ani Al-Atsar (2/388) dan An-Nasa’i dalam Al-Fatawi Al-Haditsiyah karya As-Sakhawi (81/2) dan Nailul-Autrhar karangan Asy-Syaukani (8/176).

          Namun riwayat yang pertama adalah lebih shahih dilihat dari dua sisi:

          Pertama: Bahwa Ibrahim bin Sa’ad adalah lebih bagus hafalannya draipada lawannya Abdulaziz bin Umar. Keduanya meskipun dibuat hujjah oleh As-Syaikhain, namun Al-Hafizh dalam At-Taqrib mengomentari yang pertama sebagai perawi yang tsiqah dan tidak ada celaan terhadapnya. Sedangkan yang lain, dia mengatakan: “dipercaya namun kadang salah.” Oleh karena itu Adz-Dzahabi menulisnya dalam Al-Mizan dan Adh-Dhu’afa dan tidak menyinggung yang pertama.
         
          Kedua: Bahwa Ibrahim memberikan tambahan dalam sanad dan matan. Dan tambahan seorang tsiqah adalah dapat diterima, sebagaimana telah dimaklumin.

          Sungguh hadits itu juga telah diikuti oleh Muhammad bin Al-Munkadir, dari Abubakar bin Sulaiman secara ringkas. Namun dalam sanadnya Muhammad berbeda. Dia menyebutkan:

          “Dari Hafshah, bahwa sesungguhnya Nabi e datang kepadanya dan di sisinya ada seorang wanita yang dikenal dengan nama Syifa’, si tukang penangkal penyakit bintik-bintik hitam. Kemudian Nabi e bersabda:

          “Ajarkanlah pada Hafshah.”

          Jadi, hadits itu dari Musnad Hafshah bukan Asy-Syifa’.

          Hadits itu telah ditakhrij oleh Imam Ahmad (6/286), Ath-Thahawi, Al-Hakim (4/414) dan Abu Na’im dalam Ath-Thib (2/28/2) dari Sufyan dari Ibnul Munkadir. Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih sanadnya.”

          Penilaian tersebut telah disepakati oleh Adz-Dzahabi.

          Saya berpendapat: Hadits itu memang seperti apa yang telah keduanya katakan. Adanya perbedaan tersebut tidak berbahaya. Karena mungkin saja Hafshah menceritakan apa yang juga diceritakan oleh Asy-Syifa’. Karena kisah itu memang melibatkan keduanya. Kemudian hadits itu diriwayatkan oleh Abubakar bin Sulaiman, kadang dari Hafshah dan terkadang dari Syifa’. Akan tetapi As-Sakhawi menyebut bahwa Abubakar bin Sulaiman berbeda dengan Syifa’ dalam soal washal dan irsal-nya.

          Saya berpendapat: Ini juga tidak berbahaya. Karena telah diriwayatkan secara maushul, sebagaimana yang telah diberlakukan oleh jamaah dari kalangan orang-orang tsiqah menurut Hakim dan juga oleh selain mereka menutur selain Hakim. Jadi perbedaan mereka tidak ada masalah. Apalagi hadits itu juga diikuti oleh Karib bin Sulaiman Al-Kindi yang mengisahkan:

          “Ali bin Al-Husain bin Ali radiallahu anhu memegang tanganku. Dia mengajakku kepada seorang lelaki dari Quraisy yaitu salah seorang Bani Zahrah yang dikenal dengan Ibnu Abi Hatsmah. Ali shalat dekat dengannya hingga Ibnu Abi Hatsmah selesai dari shalatnya. Kemudian dia menghadapkan mukanya kepadaku, lalu Ali bin Al-Husain berkata kepadanya: “Bagaimana cerita yang baru saja kamu sebutkan dari ibumu mengenai ajimat itu?” Dia menjawab: “Benar, ibuku telah bercerita kepadaku bahwa dia menangkal dengan suatu penangkal pada zaman jahiliyah. Kemudian manakala Islam telah datang, dia berkata: “Aku tidak membuat penangkal lagi sampai Rasulullah e menyuruh. Maka Nabi e bersabda: “Buatlah penangkal selagi tidak menyekutukan Allah Azza Wa Jalla.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Ibnu Hibban (1414) dan Al-Hakim (14/57) dari jalur Al-Jarrah bin Adh-Dhahak Al-Kindi dari Karib. Dan Ibnu Mandah menggantungkan haditsnya dari segi ini.

          Mengenai Karib, ia dipakai pula oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh Wat-TA’dil (3/2/169). Akan tetapi Ibnu Abi Hatim di sini menyebut bapaknya dengan nama Salim, dan tidak menyebutkan adanya jarh (cacat).

          Kemudian hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Mandah dalam Al-Ma’rifah (2/332/1) dari jalur Utsman bin Umar bin Utsman bin Sulaiman bin Abi Hatsmah Al-Qursy Al-Aduwwi: “Telah bercerita kepadaku bapaknya dari kakekku, Utsman bin Sulaiman, dari ayahnya dari ibunya, Asy-Syifa’ binti Abdullah. Bahwa Asy-Syifa’ adalah tukang menangkal dengan penangkal jahiliyah. Dan dia manakala telah berhijrah kepada Nabi e, didatangkan kepada beliau, lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah e, sesungguhnya saya adalah tukang menangkal dengan penangkal pada zaman jahiliyah, apakah engkau ingin saya memperlihatkannya kepadamu?” Nabi bersabda: “Perlihatkanlah!” Kemudian saya memperlihatkannya kepada beliau. Antara lain adalah penangkal penyakit bintik-bintik hitam itu. Lalu beliau bersabda: “Tangkallah dengannya dan ajarkanlah pada Hafshah.”

          “Dengan nama Allah, keras manakala ia keluar dari mulutnya dan tidak membahayakan seseorang. Ya Allah, hilangkanlah penyakit itu wahai Tuhan manusia!” Perawi berkata: “Ia menangkalnya dengan kayu kurkum (sejenis kayu za’faran) tujuh kali dan meletakkannya di tempat yang bersih kemjudian menggosokkannya pada batu dan kemudian menempelkannya pada penyakit bintik-bintik hitam itu.”

          Al-Hakim dalam hal ini diam saja. Sedangkan Adz-Dzahabi berkata: “Ibnu Ma’in ditanya mengenai Utsman, namun dia tidak mengenalnya.”

          Yang dimaksud Utsman bin Umar. Sedangkan Ibnu ‘Adi berkata: “Ia (Utsman bin Umar) adalah majhul.”

          Saya berpendapat: Jalur ini memang lemah, demikian pula jalur yang sebelumnya. Namun sebagai hadits mutabi’at tidaklah mengapa.

          Kata-kata sulit:

          (  نملة ) yaitu bintik-bintik hitam yang keluar pada bagian lambung.

          (  رقيقة النملة )  Asy-Syaukhani berkata dalam tafsirnya:
          “Itu adalah suatu ungkapan dimana wanita Arab telah biasa memakainya. Setiap orang yang mendengarnya tahu bahwa itu adalah ungkapan yang tidak berbahaya dan tidak pula berguna. Sedangkan kata “ruqayatan namlah” yang dikenal di kalangan mereka adalah bermakna merayakan, menyemir, menyelak dan setiap perbuatan yang dilakukan oleh pengantin, kecuali perbuatan yang mendurhakai suaminya.”

          Demikian Asy-Syaukhani mengatakan. Namun saya tidak tahu darimana dia merujuk sumber. Lebih-lebih dalam hal dia mendasarkan ucapannya itu pada sabda Nabi e: “Tidaklah kamu mengetahui ini…”

          Yang dimaksudkan oleh Nabi dengan sabda itu adalah menegur dengan tujuan untuk mendidik Hafshah dengan cara mengkritik. Sebab beliau mengucapkannya secara tidak jelas. Namun kemudian hal itu menjadi jelas dan terang setelah turunnya ayat sebagai berikut:

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا

      Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa.” (QS At-Tahrim : 3)

            Saya berpendapat: Hadits ini tidak ada kaitannya dengan larangan menyebarkan rahasia yang terbeberkan seperti yang dikatakan oleh Nabi “Sebagaimana kamu telah mengajarinya tulis-menulis.” Jika mengajarkan penangkal tidak ada gunanaya, tentu tidak disamakan dengan mengajarkan tulis-menulis. Lagipula hadits itu menjelaskan bahwa Nabi e memerintahkan (dalam rangka pengetahuan) memberikan penangkal kepada seorang lelaki kalangan Anshar dari serangan penyakit bintik-bintik hitam dan memerintahkan pula agar mengajarkannya pada Hafshah. Apakah masuk akal jika Nabi saw memerintahkan membuat penangkal itu, kemudian Asy-Syaukhani menyebutnya sebagai tidak bersanad?. Tidak diragukan lagi bahwa itu bukanlah suatu ungkapan yang berbahaya dan tidak berguna. Nabi saw lebih mengetahui artinya manakal dia memerintahkan membuat penangkal itu. Jikalau lafazh Abu Dawud adalah untuk menakwilkan dugaan hadits itu, maka sesungguhnya lafazh Al-hakim sebagaimana yang telah kami kemukakan, sama sekali tidak menunjukkan hal demikian itu. Bahkan ia jelas menunjukkan kekeliruan penakwilan. Oleh karenanya, Ibnu Atsir menyebutkan penafsiran Asy-Syaukhani tersebut dalam An-Nihayah, mengenai “Penangkal penyakit bintik-bintik hitam” itu dengan kata-kata ‘qila’ (dikatakan). Hal ini menunjukkan betapa lemahnya penafsiran tersebut dalam menakwilkan sabda beliau “Tidaklah kamu mengetahui!”

          (  كركم ) berarti za’faran. Dikatakan juga berarti burung pipit, ada lagi yang mengartikannya sejenis pepohonnan. Kata itu berasal dari bahasa Persi yang kemudian di-arab-kan (  فرسيّ معرب ). Demikianlah, namun saya tidak mengetahui artinya. Barangkali saja, jika tidak salah, adalah kata-kata ibarat. Wallahu a’lam.

          Kandungan Hadtis

          Ada dua hal penting terkandung dalam dua hadits tersebut:

          Pertama: Dianjurkan seseorang memberi penangkal kepada orang lain, selama tidak mengandung syirik. Berbeda halnya dengan meminta penangkal (jimat) dari orang lain, maka hal ini adalah makruh. Karena ada hadits:

          “Ukasyah telah mendahului dengannya.”

          Hadits ini sudah begitu terkenal sekali.

          Kedua: Wanita dianjurkan belajar tulis-menulis. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (no. 118), menulis “Babul Kitabah Ilan-Nisa’i Wa Jawabihinna”. Kemudian dia meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih berasal dari Musa bin Abdullah yang mengisahkan:

          “Telah bercerita kepadaku Aisyah binti Thalhah, dia berkata: “Aku berbicara kepada Aisyah sedangkan aku berada di kamarnya dan orang-orang datang kepadanya dari berbagai kota. Orang-orang tua menganggapku sebagai anak karena kedudukanku darinya dan anak-anak muda menganggapku sebagai saudara, lalu mereka memberikan hadiah kepadaku. Mereka dari berbagai kota menulis surat kepadaku. Aku berkata kepada Aisyah, “Wahai Bibi, ini tulisan Fulan dan hadiahnya.” Lalu Aisyah berkata kepadaku, “Bani apa ini? Jawablah dia dan beri upah dia! Jika kamu tidak mempunyai upah, aku akan memberimu.” Aisyah binti Thalhah melanjutkan. “Kemudian Aisyah memberiku.”

          Saya berpendapat: Musa yang dimaksudkan adalah Ibnu Abdillah bin Ishaq, yakni Thalhah bin Al-Qurasyiyyi. Dia meriwayatkan dari segolongan tabi’in, disamping itu dua orang tsiqah telah meriwayatkan darinya. Ibnu Abi Hatim menyebutnya dalam Al-Jarh Wat-Ta’dil (4/1/150). Sementara orang sebelumnya yang juga meriwayatkan adalah, adalah Al-Bukhari dalam At-Tarikhul Kabir (4/287) dan keduanya, baik Ibnu Abi Hatim maupun Al-Bukhari tidak menyebutkan adanya cacat atau sesuatu yang perlu diluruskan. Bahkan Ibnu Hibban memasukkannya dalam At-Tsiqat. Sedangkan Al-Hafizh dalam At-Taqrib mengatakan, ia adalah maqbul (diterima haditsnya) dalam kedudukannya sebagai hadits pendukung (matabi’). Jika tidak maka sebagai hadits yang layyin (lentur).

          Ibnu Taimiyah dalam Mutaqad Akhbar, di penghujung hadits itu mengatakan: “Hadits itu merupakan dasar diperbolehkannya wanita belajar tulis menulis.”

          Dalam hal ini dia diikuti oleh Syaikh Abdurrahman bin Mahmud Al-Ba’labaki Al-Hambali dalam Al-Mathla (Q 108/1), kemudian oleh Asy-Syaukhani dalam Syarah-nya (8/117) yang berkomentar: “Adapun hadits: “Janganlah kamu mengajarkan kepada mereka tulis menulis, janganlah kamu tempatkan mereka di kamar dan ajarkanlah kepada mereka surat An-Nur.” Larangan belajar tulis-menulis dalam hadits ini adalah terhadap orang yang dikhawatirkan akan menjadi rusak setelah belajar.”

          Saya berpendapat: Pendapat ini tidak benar ditinjjau dari dua segi:

          Pertama: JIka diperhatikan, hadits yang memerintahkan itu adalah shahih sedangkan hadits yang melarang itu maudhu’ (dibuat dengan dusta) sebagaimana dijelaskan oleh Adz-Dzahabi. Semua jalurnya terlalu lemah. Dan mengenai hal ini telah saya jelaskan pula dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah (no. 2018). Jika demikian halnya, maka kedua hadits itu tidak perlu dipertemukan. Dalam hal ini As-Sakhawi mempunyai pendapat sebagaimana Asy-Syaukani. Dia mengatakan: “Sesungguhnya hadits yang memerintahkan itu lebih shahih daripada hadits yang melarang.” Ini memberikan kesan seolah-olah hadits yang melarang tersebut adalah shahih.

          Kedua: Jika larangan belajar itu berlaku untuk orang yang dikhawatirkan akan menjadi rusak, tentunya yang dilarang itu bukan khusus kaum wanita.

          Berapa banyak kaum laki-laki yang setelah pandai justru menjadi rusak agama dan moralnya. Tidak perlukah laki-laki juga dicegah belajar tulis-menulis? Bahkan jika demikian halnya soal kekhawatiran itu mestinya juga mencakup belajar membaca, bukan hanya dalam belajar tulis-menulis saja.

          Yang benar, bahwa tulis baca adalah suatu nikmat dari Allah I.yang diberikan kepada manusia. Ini sebagaimana yang telah disinggung oleh Allah سبحانه وتعالى.dalam Al-Qur’an:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ 

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.”(QS Al-Alaq : 1-4)

          Adalah merupakan nikmat yang lain yang Allah I.berikan kepada mereka. Tentu saja Allah I. menghendaki supaya mereka menggunakan kenikmatan itu untuk taat kepada-Nya. Jika kemudian ada orang yang menggunakannya untuk bermaksiat, itu tidak merubah keberadaannya sebagai nikmat. Seperti nikmat memandang, mendengar, berbicara, dan lain-lain. Maka demikian pula nikmat baca dan tulis. Sehingga tidak sepatutnya para bapak melarang anak perempuan mereka mempelajari baca tulis untuk menunjang pendidikan mereka mencapai akhlak yang Islami. Dan tidak ada bedanya antara lelaki dan kaum wanita.

          Pada dasarnya apa yang diwajibkan atas kaum lelaki juga diwajibkan atas kaum wanita. Apa yang diperbolehkan bagi kaum lelaki juga diperbolehkan bagi kaum wanita. Tidak ada bedanya. Seperti telah disyaratkan oleh Nabi e dalam sabdanya:

          “Sesungguhnya wanita adalah bagian dari kaum laki-laki.” (HR Ad-Darimi dan lainnya).

          Jadi tidak boleh mendiskriminasikan kecuali memang ada nash yang menunjukkannya. Sedang dalam kasus ini tidak ada nash yang melarang kaum wanita belajar tulis menulis. Memang ada seseorang yang bersyair:

          “Wanita itu tidak boleh menulis, bekerja dan berpidato. Semua itu adalah bagian kami. Sedangkan bagian mereka adalah bermalam dalam keadaan junub.”
          Semoga dalam hal ini Allah I.memberikan kepaahaman kepada kita.1)
READ MORE - MENGAJAR TULIS MENULIS KEPADA WANITA
Biografi dan Profil Tokoh TerkenalRumah Yatim, Anak Yatim, Panti Yatim, Panti Asuhan, Panti Sosial, Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, Baitul Maal, Sedekah, Zakat, Infaq, Wakaf, Hibah, Donatur, Badan, Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat, Dompet Peduli, Pondok Yatim, Pecinta YatimToko Online Aksesoris wanita no.1 di Indonesia-Aini's CollectionFree automatic backlinks exchangeAuto Backlink Gratis Indonesia : AUTO BACKLINK Teralis, Railing Tangga, Railing Balkon, Kanopi, Pintu Besi, Pintu Pagar, Pagar Besi, Pintu Garasi, Tangga BesiALAT BANTU SEX- OBAT KUATDaftar PTC Indonesia pilihan yang selalu membayar Ptc indonesia terbaru,ptc indonesia terpercaya,daftar ptc terpercaya,list ptc indonesia terpercaya,situs ptc indonesia yang bisa dipercaya Free Automatic Backlinks ExchangesFree Automatic Backlinks ExchangesFree Automatic Backlinks ExchangesAqillah Aziz indian classifieds, india classified ads, free classified ads, buy sell free classifieds from india, classified yellow pages, indian ads, post free ads, indian advertisements, free advertising, post sell ads, post buy ads, free job postings, free matrimonial ads, car classifieds, auto classifieds, used stuff, local ads, ads for sale, local classifieds india, click india, property for sale, sell used cars, education institutes, travel deals, mumbai real estate, new delhi restaurants, hotels in bangalore, online classifieds india, buy sell free classifieds, online ads, free ads, indian ads, where can i post free ads, post free business ads, post free employment ads, free online ads posting, how to post free ads, post free banner ads, post free ads internet, free business advertising, local classified ads, free internet classified ads, post free dog ads, placing free ads online, free online advertising sites, where to place free classified ads, used cars classified ads, submit free classified ads, sites to post ads for free, kijiji, free classifieds nyc, post free classified ads no registration, sell car free ads, free online advertising sites, autos, ads for, one india, free classifieds in keralagrahafenomenahati. ALBUM KELUARGA H.M SOEKARNO Rt.04/03 PATIKRAJADownload Mp3 Lagu Religi Mawar Biru Keris adalah budaya asli Indonesia BACKLINK OTOMATIS GRATIS Fenomena Hati . download-aplikasi-gratisbanyumas Pustaka Link Fenomena Hati download-aplikasi-gratisbanyumasdownload-aplikasi-gratisbanyumasSAHABAT UNGU Ciptaan Terbaik Tuhan
Ratu Galunggungarinmawarbirukita download-aplikasi-gratisbanyumas
Kumpulan Artikel Islamiperjalananjihad Daftar Lagu Islami Desa Patikraja. Solusi hosting gratis dari Google Code CHANNEL---TV---DESA PATIKRAJA 10 000 000 Backlinks. 10 000 000 Backlinks. Bunda Watie  Link Exchange/Tukar Link. Media-Aisah Bella  Arin Mawar Rindu (Puisi Biru)Link Exchange/Tukar Link. CHANNEL---TV---Ugiarti Pratiwi AISAH BELLA Exchange/Tukar Link. CHANNEL---TV---AISAH BELLA  Bunda Watie  Link Exchange/Tukar Link. Majalah Roro Mendot  cewek cantik Indonesia   Arin Mawar Rindu (Puisi Biru)Link Exchange/Tukar Link. Bunda Watie  Link Exchange/Tukar Link. NYAI Roro Mendot-AISAH BELLA  AISAH BELLA Exchange/Tukar Link.

submit your site