WAROENG BELAJAR

Selasa, 27 Maret 2012

MEMPELAJARI KITAB DAN BAHASA ORANG LAIN


۱٨٧ - تَعَلَّمْ كِتَابَ الْيَهُوْدِ فَإِنِّي لاَ آمَنُهُمْ عَلَى كِتَابِنَا

          Pelajarilah kitab Yahudi sesungguhnya aku tidak mempercayai sikap mereka terhadap kitab kita.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3645), At-Tirmidzi (2/119), dan Al-Hakim (1/75), dimana mereka menilainya shahih. Juga oleh Imam Ahmad (5/186) dan Al-Fakihi dalam Hadits-nya (1/14/2). Sedang lafazh tersebut adalah kepunyaannya. Sebuanya dari Abdurrahman bin Abiz Zinad yang diperoleh dari ayahnya dari Kharijah bin Zaid dari ayahnya yang menuturkan:

          “Telah memerintahkan kepadaku Rasulullah r agar aku mempelajari bahasa Suryani.”

          Saya menemukan, Imam Ahmad (182/5) dan Al-Hakim (3/422) terhadap hadits dari Jarir Al-A’masy tersebut telah disambungnya dengan lafazh:

          “Telah berkata kepadaku Rasulullah r : “Apakah kamu pandai bahasa Suryani?” Aku menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Pelajarilah, sesungguhnya kita banyak mendapatkan buku-buku (surat-surat).” Kemudian dia mempelajarinya dalam tujuh belas hari.” Al-Hakim menambahkan:

          “Al-A’masy berkata: “Telah datang kepada (Nabi) beberapa tulisan dimana beliau tidak ingin mempelajarinya, kecuali dari orang yang dapat dipercaya.” Al-A’masy menyatakan pula: “Hadits ini shahih jika Tsabit bin Ubaid mendengarnya dari Zaid bin Tsabit.”

          Saya katakan: Saya tidak tahu mengapa Al-Hakim menyangsikan apakah Tsabit benar-benar mendengar hadits ini dari Zaid. Padahal Tsabit adalah ayahnya yang seharusnya tidak perlu diragukan kebenarannya (tentang mendengarnya Tsabit dari Zaid). Ibnu Hibban dalam At-Tsiqat (1/6):

          Tsabit bin Ubaid Al-Anshary adalah orang Kuffah. Ia meriwayatkan dari Umar dan Zaid bin Tsabit. Ia juga meriwayatkan dari Ibnu Sirin dan Al-A’masy. Ia adalah tuan Zaid bin Tsabit.” Namun disinyalir bahwa pada Tsabit bin Ubain Al-Anshari yang dimaksudkan bukan Tsabit bin Ubaid tuan Zaid. Dalam kasus ini Abu Hatim membedakan keduanya dalam Al-Jarh Wat-Ta’dil (1/1/404). Kemudian Al-Hafizh dalam At-Tahdzib juga menyandarkan perbedaan ini kepada Ibnu Hibban pula dan itu hanya praduga. Bahkan apa yang telah saya nukil dari Ibnu Hibban baru saja menunjukkan tidak adanya perbedaan tersebut. Dan inilah yang dipegang oleh Al-Hafizh dalam At-taqrib. Namun baik yang ini maupun yang itu, keduanya adalah tsiqah. Jadi sanad hadits ini adalah shahih.

          Hadits ini oleh Al-Bukhari juga dicantumkan dalah Shahih-nya. Dia menjelaskan: “Telah berkata Al-Kharijiyah bin Zaid Ibnu Tsabit dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi r memerintahkannya agar mempelajari kitab orang Yahudi.”

          Al-Hafizh dalam Syarah-nya (13/161) menyebutkan:

          Sesungguhnya dia telah menyambungnya secara panjang lebar dalam kitabnya Kitabut-Tarikh.”

          Kemudian Ibnu Hajar menyebutkan jalur lain yang dipaparkan At-Tirmidzi dan mengatakan: “Jalur ini menurut saya unggul dimana disebutkan dalam Fatawa Hilalil Huffar. Dan juga telah ditakhrij oleh Imam Ahmad dan Ishaq dalam Musnad mereka, disamping juga oleh Abubakar Ibnu Abi Dawud dalam Kitabul Mushahif serta oleh Abu Ya’la, dimana menurutnya terdapat kalimat: Sesungguhnya aku menulis kepada suatu kaum lalu aku khawatir mereka menambah atau menguranginya. Maka pelajarilah bahasa Saryani,” lalu Abu Ya’la menyebutkan hadits itu. Dia juga mempunyai jalur lain yang telah ditakhrij oleh Ibnu Sa’ad. Namun semuanya menolak oranng yang menyangka Abdurrahman bin Abiz Zinad menyendiri dalam meriwayatkan. Benar, ia memang tidak meriwayatkan dari ayahnya yang berasal dari Kharijah, namun meriwayatkan dari Abdurrahman. Sehingga ia hanya menyendiri secara nisbi. Adapun kisah Tsabit mungkin sama dengan kisah Kharijah.

          Sesungguhnya keharusan mempelajari kitab orang Yahudi berarti mempelajari pula bahasa mereka. Sedangkan bahasa mereka adalah bahasa Suryani. Tetapi yang dikenal bahasa mereka adalah bahasa Ibrani. Jadi mungkin saja Zaid mempelajari dua bahasa sekaligus untuk keperluan itu.

          Saya berpendapat: Hadits ini nampak serupa dengan makna hadits Barangsiapa mempelajari bahasa suatu kaum, dia akan selamat dari tipu daya mereka.” Tetapi saya tidak tahu sama sekali mengenai lafazh hadits ini dan tidak seorang pun penulis hadits-hadits yang mencantumkannya. Seolah-olah hadits ini hanya terkenal baru-baru saja.

READ MORE - MEMPELAJARI KITAB DAN BAHASA ORANG LAIN

MENEBARKAN SALAM


١٨٣ -  إِذَا انْتَهٰى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُوْمَ فَيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ اْلأُوْلٰى بِأَحَقَّ مِنَ اْلآخِرَةِ .

          “Manakala salah seorang kamu telah sampai ke majelis, maka hendaklah dia memberi salam. Dan manakala ia hendak berdiri, maka hendaklah ia memberi salam. Tentu saja yang awal tidak lebih berhak daripada yang akhir.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (1007 dan 1008), Abu Dawud (5208), At-Tirmidzi (2/118), Ath-Thahawi dalam Al-Musykil (2/139), Ahmad (2/230, 287, 439), Al-Hamidi (1162), Abu Ya’la dalam Musnad-nya (Q. 306/1) dan Al-Fakihi dalam Hadits-nya dari Abi Yahya bin Abi Maisarah (1/5/2) dari Ibnu ‘Ajlan dari Sa’id Al-Maqbari dari Abu Hurairah secara marfu’. At-Tirmidzi berkomentar: “Hadits ini hasan.”

          Saya berpendapat: Sanadnya adalah jayyid. Semua perawinya tsiqah. Dan mengenai Ibnu ‘Ajlan, yang namanya adalah Muhammad, ada sedikit pembicaraan yang tidak membahayakan bagi ke-hujjah-an haditsnya. Apalagi ia juga diikuti oleh Yaqub Ibnu Zaid At-Tamiyyi dari Al-Maqbari. Sedangkan At-Tamiyyi adalah tsiqah, maka hadits ini jelas shahih. Wal hamdulillah, dia juga mempunyai beberapa syahid (hadits pendukung) sebagaimana akan disebutkan.

          Hadits ini juga telah didukung oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami’ ush-Shaghir dan Al-Kabir (1/45/1), Ibnu Hibban di samping Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Kemudian As-Suyuthi itu juga mendukungnya di tempat lain selain dalam Al-Kabir (1/21/1) kepunyaannya Ibnu Sunni, yaitu tepatnya dalam ‘Amalun Yaum Wal Lailah. Demikian pula dengan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Saya tidak melihatnya dalam Al-Mustadrak setelah saya menelitinya dalam Al-Birri dan As-Sillah serta Al-Adab. Wallahu a’lam.

          Termasuk hadits pendukung itu adalah hadits yang ditakhrij oleh Ahmad (3/438) dari jalur Ibnu Luhai’ah yang memberitakan: “Telah bercerita kepadaku Zuban, dari Sahel bin Mu’adz, dari ayahnya, dari Rasulullah r yang bersabda:

          “Adalah keharusan bagi orang yang berdiri mendatangi majelis untuk memberi salam kepada mereka. Dan adalah keharusan bagi orang yang beridiri hendak meninggalkan majelis untuk memberi salam pula.” Kemudian seseorang berdiri ketika Rasulullah r tengah berbicara dan orang yang berdiri itu tidak memberikan salam hingga Rasulullah r  bersabda: “Alangkah cepatnya melupakan sesuatu.”

          Saya berpendapat: Hadits ini sanadnya dha’if. Tetapi tidak mengapa la ba’sa bih) sebagai hadits pendukung. Hadits ini juga dikuatkan oleh Al-Bukhari yang mentakhrijnya dalam Al-Adab Al-Mufrad (1009) dari jalur lain yang berasal dari Bustham. Bustham menuturkan: “Aku mendengar Mu’awiyah bin Qurrah berkata: “Telah berkata kepadaku ayahku:

          “Wahai anakku, jika engkau dalam suatu majelis dimana engkau mengharapkan kebaikannya, kemudian engkau terdesak oleh suatu keperluan, maka katakanlah: “Salam sejahtera atas kamu,” maka sesungguhnya engkau akan menyertai mereka pada apa yang mereka dapatkan dalam majelis itu. Tidak ada suatu kaum yang duduk di suatu majelis kemudian mereka meninggalkannya dan mereka tidak mengingat Allah, kecuali seolah-olah mereka bubar dari bangkai himar.”

          Hadits ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah. Meskipun mauquf namun dihukumi marfu’ karena tidak dikatakan berdasarkan pendapat. Apalagi kebanyakan orang menilainya shahih secara marfu’ hadits pertama dari Abi Hurairah ini. Dan yang lain juga dari haditsnya pula, sebagaimana dapat kita lihat dalam nomor (77) dan sebaiknya teliti pula hadits-hadits sebelum dan sesudahnya.

          Salam ketika meninggalkan majelis adalah suatu adab kesopanan yang mulai banyak ditinggalkan di sebagian negeri. Bahkan terkadang oleh orang yang berilmu, dan para peminatnya. Sepatutnya manakala hendak memasuki ruang belajar, mereka memberikan salam terlebih dahulu. Demikian pula bila hendak keluar. Yang pertama tidak lebih utama dari yang akhir. Oleh karena itu menyebutkan salam adalah diperintahkan seperti juga di dalam hadits berikut ini:

١٨٤ – إِنَّ السَّلاَمَ اِسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ تَعَالٰى وَضَعَهُ فِي اْلأَرْضِ فَأَفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ .
          “Sesungguhnya salam adalah nama dari nama-nama Allah I Ia meletakkannya di bumi. Maka sebarkanlah salam di antara kamu.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (989): “Telah bercerita kepadaku Syihab, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Hammad bin Salmah, dari Hamid dari Anas, yang menuturkan: Telah bersabda Rasulullah r: (kemudian perawi menyebutkan hadits tersebut).”

          Saya berpendapat: Hadits ini sanadnya shahih. Semua perawinya tsiqah, yakni perawi-perawi Asy-Syaikhain kecuali Hammad bin Salmah, dia hanya perawi Muslim, bukan Asy-Syaikhain.

          Hadits ini juga mempunyai syahid dari hadits Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan secara marfu’.

          Hadits itu dikeluarkan oleh Abusy-Syaikh dalam Ath-Thabaqat (47/295) dari jalur Abdullah bin Umar, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Yahya bin Sa’id dari Al-A’masy dari Zaid bin Wahab dari Abdullah. Selanjutnya Abusy-Syaikh berkata: “Abdullah bin Umar menyendiri dalam meriwayatkannya.”

          Saya menemukan: Dia adalah Abdullah bin Umar bin Yazid Az-Zuhri.

          Abusy-Syaikh menjelaskan: “Ia diberi Kunyah Abu Muhammad dan menjadi Wali Qadhi di Kurkh, menetap di sana dan meninggal pada tahun 252 H. Riwayatnya tersebut merupakan riwayat dari Yahya, Abdurrahman, Ruh, Hammad bin Sa’adah, Muhammad bin Bakar, Abu Qutaibah dan lain-lainnya. Dia memiliki banyak karya tulis, disamping juga mengetengahkan hadits-hadits yang tidak menyendiri periwayatannya.”

          Kemudian Abusy-Syaikh mendukungnya dengan beberapa hadits. Yang pertama adalah dicantumkan oleh Ibnu Abi Hatim (2/2/111) dan di sini dia tidak menyebutkan adanya cacat.

          Saya berpendapat: Seseorang minimal akan mendukungnya jika tidak menjadikannya sebagai hujjah. Dan dalam kasus Abdullah bin Umar ini, hadits-hadits yang telah disebutkan oleh Abusy-Syaikh tidak ada yang diigkari. Wallahu a’lam.

          Hadits ini juga telah dicantumkan oleh Al-Mundziri dalam At-Targhib (3/267-268) dengan tambahan:

          “Sesungguhnya seorang muslim manakala lewat suatu kaum hendaklah memberikan salam kepada mereka, kemudian mereka menjawabnya, maka bagi dia atas mereka mendapat keunggulan derajat karena ia memperingatkan mereka dengan salam. Jika mereka tidak menjawabnya, maka orang lain yang lebih baik dari mereka telah menjawabnya.”

          Selanjutnya Al-Mundziri mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani. Sedangkan salah satu sanad Al-Bazzar adalah jayyid (bagus) dan kuat.”

          Dalam bab ini ada juga hadits dari Abu Hurairah yang senada dengan hadits Anas.

          Hadits ini ditakhrij oleh Al-Aqili seperti dalam Al-Jami’ul Kabir (1/159/1).

          Jadi, hadits itu adalah shahih tidak diragukan lagi. Banyak hadits shahih yang juga memerintahkan menyebarkan salam. Sebagian ada dalah kitab Ash-Shahih. Dan saya telah memilih hadits ini di antaranya, karena hadits ini memang tidak ada dalam Ash-Shahih, sekalipun sanadnya shahih. Lebih-lebih telah didukung oleh beberapa hadits syahid sebagaimana tersebut. Sehingga saya tertarik untuk menjelaskannya.

          Perlu diketahui bahwa beberapa perintah menyebarkan salam amat luas lingkupnya, namun hanya sebagian kecil orang yang menyempitkannya, karena mereka tidak mengetahui bahwa itu sunnah atau memang karena malas mengamalkannya.

          Termasuk di antaranya adalah memberi salam kepada orang yang sedang shalat. Banyak orang mengira bahwa hal itu tidak dianjurkan. Bahkan Imam Nawawi dalam Al-Adzkar menyebutnya makruh. Padahal dalam Syarah Muslim dijelaskan bahwasanya menjawab salam dengan isyarat adalah sunnah. Bahkan banyak hadits yang menjelaskan salam para sahabat terhadap Nabi r ketika beliau sendang shalat, sedangkan beliau membiarkan mereka demikian. Di sini saya akan sebutkan salah satu hadits itu. Yakni hadits Ibnu Umar yang menuturkan:

١٨٥ -  خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلٰى قُبَاءَ يُصَلِّيْ فِيْهِ فَجَاءَتْهُ اْلأَنْصَارِ فَسَلَّمُوْا عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي قَالَ : فَقُلْتُ لبِلاَلٍ كَيْفَ رَأَيْتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِيْنَ كَانُوْا يُسَلِّمُوْنَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي؟  قَالَ : يَقُوْلُ هٰكَذَا . وَبَسَطَ كَفَّهُ وَبَسَطَ جَعْفَرُ بِنْ عَوْنٍ كَغَّهُ وَجَعَلَ بَطْنَهُ أَسْفَلَ وَجَعَلَ ظَهْرَهُ إِلٰى فَوْقَ .
          “Rasulullah r  keluar ke Quba’ bershalat di situ. Kemudian orang-orang Anshar datang padanya. Mereka memberikan salam kepadanya. Perawi mengatakan: “Kemudian aku berkata kepada Bilal: “Bagaimana kamu melihat Rasulullah r menjawab salam mereka ketika mereka memberikan salam kepadanya sedangkan beliau sendang shalat?” Perawi melanjutkan: “Bilal berkata: “Demikian,” sambil dia membuka telapak tangannya. Dia menjadikan bagian dalamnya di bawah dan bagian atas telapak tangannya di atas.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Abu Dawud (927), dengan sanad jayyid dan ditakhrij oleh seluruh penulis As-Sunan. At-Tirmidzi berkomentar (2/204): “Hadits ini hasan shahih.”

          Hadits ini juga mempunyai sanad lain yang berasal dari Ibnu Umar, yang disebutkan dalam Al-Musnad (2/30) dan di dalam kitab dari Ibnu Umar.

          Sedang sanadnya adalah shahih menurut syarat Asy-Syaikhain.

          Ada dua orang Imam yang juga memiliki hadits ini. Mereka adalah Imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawih. Al-Mundziri dalam Al-Masail (hal. 22) menuliskan:

          “Saya berkata (yakni kepada Ahmad): “Apakah perlu memberikan salam kepada suatu kaum saat mereka sedang shalat?” Ahmad berkata: “Ya.” Kemudian dia menyebutkan kisah Bilal ketika ditanya oleh Ibnu Umar, “Bagaimana beliau menajwab?  Bilal menjawab: “Dengan memberi isyarat.” Ishaq berkata: Sebagaimana Bilal menjelaskan (dalam hadits di atas).

          “Memberi isyarat dalam shalat untuk menjawab salam adalah karena ada perintah yang turun sewaktu shalat. Terkadang memang ada suatu keperluan terhadap seseorang yang sedang shalat. Mengenai isyarat untuk menjawab salam, telah terdapa atsar yang shahih sebagaimana perbuatan Nabi r di Quba dan lain-lainnya. Bahkan ketika saya di majelis Ath-Thurthusyi dimana kami sedang bermudzakarah mengenai suatu masalah, kami menyinggung dan berpegang pada hadits itu. Seseorang di akhir pertemuan itu berdiri dan berkata: “Mungkin saja beliau menjawab mereka adalah untuk melarang agar mereka tidak mengganggunya.” Sungguh saya terkejut terhadap pemahaman itu. Kemudian setelah itu saya melihat bahwa maksud hadits itu menurut perawi adalah menjawab salam dalam bab ini adalah wajib, seperti yang telah kita jelaskan dalam Ushul Fiqih.”

          Yang mengherankan adalah bahwa An-Nawawi disamping ia menjelaskan dalam Al-Adzkar bahwa memberi salam terhadap orang yang shalat adalah makruh, ternyata di tempat lain juga mengatakan sebagai berikut: “Disunnahkan menjawab salam dalam shalat dengan isyarat dan tidak mengucapkan sesuatu.”

          Saya berpendapat: Yang mengherankan adalah bahwa hukum sunnat menjawab di sini juga berlaku dalam memberikan salam. Karena dalil dari dua perkara ini adalah sama. Baik dari hadits ini atau yang semakna dengannya. Jika ada dalil yang menunjukkan sunnat menjawab tentu hal itu dengan sendirinya juga menunjukkan sunnat memberi salam. Jika hal itu makruh, tentu telah dijelaskan oleh Rasulullah r walaupun dengan tidak memberikan isyarat menjawab. Padahal telah ada kaidah bahwa mengakhirkan keterangan sewaktu diperlukan adalah tidak diperbolehkan. Dan ini merupakan suatu keterangan yang cukup jelas.

          Disamping itu memberi salam kepada muadzin dan orang yang sedang membaca Al-Qur’an juga diperintahkan. Alasannya seperti di muka. Jika salam kepada orang yang sedang shalat saja diperintahkan, tentu akan lebih dianjurkan pula salam kepada orang yang adzan dan membaca Al-Qur’an. Saya ingat, saya pernah membaca suatu hadits dalam Al-Musnad bahwa Nabi r memberi salam terhadap jama’ah yang sedang membaca Al-Qur’an. Sebenarnya saya tertarik untuk mengetengahkan dan membicarakan sanadnya, akan tetapi agak kurang tepat kalau sekarang.

          Lalu apakah keduanya memjawab salam dengan lafazh atau isyarat? Yang jelas dengan lafazh. Sebagaimana An-Nawawi telah berkata:”Adapun muadzin tidak makruh menjawab salam sebagaimana biasa. Karena hal itu sedikit dan mudah. Tidak sampai membatalkan adzan atau merusaknya.”

          Termasuk lagi adalah berungkali salam setelah berpisah walaupun sejenak. Karena Nabi r telah bersabda:

١٨٦ -  إِذَا لَقِيَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ فَإِنْ حَالَتْ بَيْنَهُمَا شَجَرَةٌ أَوْ جِدَارٌ أَوْ حَجَرٌ ثُمَّ لقيه فَلْيُسَلِّمُ عَلَيْهِ أَيْضًا

          “Jika salah seorang kamu berjumpa saudaranya hendaklah ia memberi salam kepadanya. Jika di antara keduanya terhalang oleh pohon, dinding atau batu kemudian ia berjumpa lagi dengannya, hendaklah ia memberi salam lagi kepadanya.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (5200) dari jalur Ibnu Wahab yang memberitahukan: “Telah mengabarkan kepadaku Mu’awiyah Ibnu Shalih yang diperolehnya dari Abu Musa, dari Abi Maryam, dari Abu Hurairah yang menuturkan: “Jika berjumpa…” Mu’awiyah berkata: “Dan telah bercerita pula kepadaku Abdul Wahab bin Bakher dari Abiz Zinal dari Al-A’raj dari Abu Hurairah, dari Rasulullah r mengenai hadits serupa itu.

          Saya berpendapat: Sanad marfu’ itu adalah shahih. Semua pewatinya juga tsiqah. Adapun sanad mauquf, di situ terdapat Abu Musa, dimana dia adalah majhul (tidak dikenal). Bahkan sebagian mereka menggugurkannya dari sanad. Kemudian Abdullah bin Shalih juga meriwayatkannya, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Mu’awiyah dari Abu Maryam dari Abu Hurairah dengan riwayat yang mauquf.”

          Hadits ini telah ditakhrij oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (1010) dan Abdullah bin Shalih di sini dha’if, tidak dapat dipegangi. Terutama jika ada perselisihan mengenai dia. Tetapi hadits ini juga telah ditakhrij oleh Abu Ya’la (1/287) dari Ibnu Shalih dengan sanad sebagai berikut: Dari Ibnu Shalih, dari Mu’awiyah Ibnu Shalih dari Abdul Wahab bin Bakher seperti riwayat Ibnu Wahab Al-Marfu’ah. Inilah yang lebih shahih. Sesungguhnya para sahabat telah melakukan seperti yang terdapat dalam hadist shahih ini. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad telah meriwayatkan (1011) dari Adh-Dhahak bin Nibrus Abil Hasan dari Tsabit dari Anas bin Malik:

          “Sesungguhnya para sahabat Nabi r berjoging. Kemudian mereka dihadapkan pada pohon, maka sebagian mereka berjalan melewati sebelah kanan dan sebagian lagi berjalan melewati sebelah kiri. Manakala mereka bertemu, sebagian memberi salam kepada sebagian yang lain.”

          Saya melihat: Adh-Dhahak di sini layyin (lentur) haditsnya. Tetapi oleh Al-Mundziri (3/268) dan Al-Haitsami (8/34), disandarkan kepada Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, keduanya mengatakan: “Sanadnya adalah hasan.”

          Saya tidak tahu apakah sanad itu dari jalur lain atau memang dari jalur ini. Kemudian sanad tersebut muncul dengan lafazh sebagai berikut:

          “Kami sedang berjalan dengan Rasulullah, kemudian di antara kami terhalang oleh pohon. Manakala kami berjumpa, maka sebagian kami memberi salam kepada sebagian yang lain.”

          Kemudian saya juga melihatnya dalam “Amalun Yaum Wal Lailah” karya Ibnus Sunni (241) dari jalur-jalur yang berasal dari Hammad bin Salamah: “Telah bercerita kepadaku Tsabit dan Hamid dari Anas tersebut. Dan ini sanadnya juga shahih.

          Hadits ini juga didukung oleh hadits yang masyhur dari Abu Hurairah:

          “Sesungguhnya Rasulullah r masuk masjid, Kemudian masuk pula seseorang lalu shalat. Kemudian orang itu menghampiri lalu memberikan salam kepada Rasulullah r Rasulullah r menjawab, beliau bersabda: “Kembalilah dan shalatlah sesungguhnya kamu belum shalat.” Lelaki itu pun kembali lalu shalat sebagaimana beliau bershalat. Kemudian dia datang kepada Nabi r dan memberikan salam kepadanya. (ia malakukan demikian ini sampai tiga kali).”

          Hadits ini telah ditakhrij oleh Asy-Syaikhain maupun lainnya. Hadits ini dipegangi pula oleh Shiddiq Hasan Khan dalam Nuzulul Abrar (350-251) bahwasanya:

          “Manakala seseorang telah memberi salam kepada saudaranya lalu berpisah sebentar kemudian berjumpa, maka disunnahkan pula untuk memberi salam lagi yang kedua atau ketiga.”

          Di sini menunjukkan dianjurkannya salam kepada orang di dalam masjid. Seperti cerita salam orang Anshar kepada Nabi r di masjid Quba. Namun bersama ini kita melihat pula orang yang meremehkan sunnah. Mereka masuk masjid dan tidak mau memberikan salam kepada orang yang di dalamnya. Mereka mengira hal itu adalah makruh. Semoga tulisan ini menjadi peringatan bagi saya dan bagi mereka pula. Sesungguhnya peringatan itu memberikan manfaat bagi kaum mukminin.
READ MORE - MENEBARKAN SALAM

ADAB BERKUNJUNG KEPADA SAUDARA


١٨٢ -  إِذَا زَارَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَجَلَسَ عِنْدَهُ فَلاَ يَقُوْمَنَّ حَتّٰى يَسْتَأْذِنَهُ

          “Jika salah seorang kamu mengunjungi saudaranya lalu duduk di sebelahnya, maka sungguh janganlah ia berdiri sehingga meminta izin kepadanya.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Asy-Syaikh dalam Tarikh Ashbilun (113): “Telah bercerita kepadaku Ishaq bin Muhammad bin Hakim, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Yahya bin Waqid, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Ibnu Abi Ghuniyah, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku ayahku, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Jibillah bin Suhaim dari Ibnu Imran yang memberitahukan: “Telah bersabda Nabi r , lalu dia menyebutkan hadits ini.”

          Saya menilai: Hadits ini sanadnya shahih. Semua perawinya tsiqah dan terkenal.

          Adapun Jibillah bin Suhaim, ia adalah tsiqah dimana Al-Bukhari telah meriwayatkan haditsnya dalam Al-Adab Al-Mufrad.

          Sedangkan Ibnu Abi Ghuniyah, dia adalah Yahya bin Abdul Muluk bin Hamid bin Abi Ghuniyah. Demikian pula ayahnya Abudl Muluk.

          Adapun mengenai Yahya bin Waqid, Abu Asy-Syaikh menjelaskan: “Dia seorang tokoh di bidang Nahwu dan bahasa Arab. Dia memiliki banyak hadits. Bahkan Ibrahim bin Arumah mengatakan bahwa Yahya termasuk taiqah. Dia juga menyebutkan bahwa Yahya itu lahir tahun enam puluh lima, masa kekhalifahan Al-Mahdi, dan haditsnya bisa dinilai bagus.”

          Saya mengetahui, kemudian Abu Asy-Syaikh menyebutkan tiga haditsnya. Sedang hadits yang di atas tersebut adalah yang pertama.

          Adapun Ishaq bin Muhammad bin Hakim, dia adalah Ishaq bin Muhammad bin Ibrahim bin Hakim. Abu Asy-Syaikh (halaman 267) mengomentarinya: “Dia adalah seorang syaikh yang jujur, beradab dan tahu tentang hadits. Dia mempunya buku-buku Abu Ubaidah dan Abdurrazaq, juga banyak menilai hadits.  Dia meninggal pada tahun 312 H.”

          Saya berpendapat: Aneh, hadits ini tidak ada dalam Al-Jamiul Kabir . Abu Asy-Syaikh tidak menyebutkannya di situ. Namun dia menuliskannya dalam Al-Jami’ ush-Shaghir dari riwayat Ad-Dailami dari Ibnu Umar. Seolah dia menyusulkannya di situ. Akan tetapi ia kehilangan sumber yang berharga, yaitu Tarikh Ashbihan sebagaimana kehilangan orang yang menjelaskan (hadits itu) yaitu Al-Manawi. Ad-Dailani mengatakan: “Di sini ada orang yang tidak diketahui.”

          Saya berpendapat: Mungkin saja sanad Ad-Dailani lain dnegan sanad Abu Asy-Syaikh. Jika tidak, maka boleh jadi Ad-Dailami tidak melihat sebagian perawinya. Karena mereka memang tidak dipaparkan selain dalam At-Tarikh ini saja. Dan itulah yang lebih benar. Wallahu a’lam/

          Jadi hadits ini mempunyai faedah yang tidak terlihat dalam kitab sanad. Maka segala puji bagi Allah dan Dia lah yang melimpahkan taufiq.

          Hadits ini memperingatkan adab kesponan amat tinggi. Yakni bahwa seseorang yang berkunjung tidak sepatutnya berdiri kecuali setelah meminta izin kepada orang yang dikunjungi. Adapun kesopanan yang diajarkan oleh Nabi ini kini telah banyak ditinggalkan di sebagian negeri Arab sendiri. Kita melihat mereka keluar dari majelis tanpa meminta izin. Bukan itu saja, bahkan tanpa salam. Ini tidak mencerminkan adab yang Islami, seperti yang disebutkan dalam hadits tersebut.
READ MORE - ADAB BERKUNJUNG KEPADA SAUDARA

TIDAK ADA KETAATAN DALAM MAKSIAT TERHADAP ALLAH



١٧۹ -  لاَ طَاعَةَ لأََِحَدٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالٰى

          Tidak ada ketaatan terhadap seseorang dalam mendurhakai Allah Yang Suci dan Maha Luhur.”

          Hadits ini diriwatakan oleh Imam Ahmad (5/66) dari Abdullah bin Shamit yang menceritakan: “Ziyad hendak mengutus Imran bin Hushain di Khurasan. Imran menolak untuk menghadapi mereka. Maka kawan-kawannya bertanya kepadanya.” Kemudian perawi melanjutkan: “Imran berkata: “Sesungguhnya demi Allah aku tidak suka bershalat dengan panasnya sedangkan kamu bershalat dengan sejuknya. Dan aku takut berada di depan musuh, padahal menurut surat dari Ziyad aku harus. Jika aku laksanakan maka aku akan rusak, dan jika aku pulang tentulah aku akan dipancung leherku.” Perawi melanjutkan kisahnya: “Kemudian Ziyad menghendari Al-Kaham bin Amer Al-Ghifari di Khurasan.” Kata perawi, lalu dia meluluskan perintahnya.” Kata perawi lagi, “Kemudian Imran berkata: “Tidak adakah seseorang yang mendoakan kebaikan untukku?” “Kemudian utusan itu berangkat” Kata perawi: “Lalu Al-Hakam menghadap kepadanya.” Kata perawi lagi: “Lalu ia masuk padanya.” Perawi masih menambahkan, “Kemudian Imran bertanya kepada Al-Hakam “Apakah kamu dengar Rasulullah e bersabda: (lalu menyebutkan hadits itu)?” Al-Hakam menjawab, “Benar.” Imran lalu mengucapkan: “Alhamdulillah atau Allahu Akbar.”

          Saya berpendapat: Hadits ini sanadnya shahih menurut syarat Imam Muslim. Ia dikuatkan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath (13/109). Sedang Ath-Thabrani juga telah meriwatakannya dalam Al-Kabir (1/154/2) secara marfu’ dari Abdullah bin Shamit saja dengan lafazh tersebut.

          Hadits ini juga mempunyai jalur lain menurut Ath-Thayalisi (856), Imam Ahmad (4/432, 5/66) dan Ath-Thabrani (1/155) dari beberapa jalur yang berasal dari Muhammad yang mengisahkan:

          “Seorang laki-laki datang kepada Imran bin Hushain sedangkan kami ada di sebelahnya. Laki-laki itu berkata: “Tugaskanlah Al-Hakam bin Amer Al-Ghifari di Khurasan.” Kemudian Imran benar-benar menghendakinya hingga seorang laki-laki dari suatu kaum berkata kepadanya: “Apakah kami tidak menyertakanmu?” Imran menjawab: “TIdak.” Kemudian Imran berdiri menjumpai Al-Hakam di tengah keramian, lalu berkata: “Sesungguhnya engkau telah memegang suatu perkara besar dari urusan kaum muslimin.” Kemudian dia memberikan perintah, larangan dan sekaligus nasihat, serta berkata: “Apakah kamu ingat suatu hari Rasulullah e bersabda: “Tidak wajib taat kepada makhluk dalam mendurhakai Allah e?” Al-Hakam menjawab: “Ya.” Imran lalu mengucapkan: “Allahu Akbar (Allah Maha Besar).”

          Dalam suatu riwayat kepunyaan Imam Ahmad dari Muhammad:

          “Diceritakan kepadaku bahwa Imran bin Hushain berkata kepada Al-Hakam Al-Ghifari, keduanya adalah sahabat Rasulullah e. ; “Apakah kamu mengetahui pada suatu hari Rasulullah e bersabda: “Tidak ada ketaatan dalam mendurhakai Allah e?”Al-Hakam menjawab: “Ya.” Lalu Imran mengucapkan: “Allahu Akbar (Allah Maha Besar).”

          Perawi-perawinya adalah tsiqah, yaitu perawi-perawi Asy-Syaikhain. Akan tetapi terputus antara Muhammad (Ibnu Sirin) dengan Imran, sepertinya Imam Ahmad bermaksud menjelaskan riwayat kedua.

          Kemudian hadits itu juga ditakhrij oleh Imam Ahmad, Ath-Thabrani dan Al-Hakim (3/443) dari dua jalur yang berasal dari Al-Hasan:

          “Sesungguhnya Ziyad telah menugaskan kepada Al-Hakam Al-Ghifari untuk membawa suatu pasukan. Lalu Imran bin Hushain mendatangi dan menjumpainya di tengah keramaian orang. Dia berkata: “Apakah kamu tahu mengapa aku mendatangimu?” Al-Hakam balik bertanya, “Mengapa?” Imran mejawab, “Apakah kamu ingat kata-kata Rasulullah e kepada seseorang yang amirnya memerintahkan “Menceburlah ke dalam api!” (Kemudian lelaki itu berdiri untuk mencebur ke dalam situ). Lalu sang amir menangkap dan menahannya. Hal itu kemudian diceritakan kepada Nabi e م. Maka beliau bersabda: “Seandainya dia mencebur ke situ tentu masuk neraka sekalian. Tidak ada ketaatan dalam durhaka kepada Allah.” Perawi melanjutkan: “Imran berkata, “Sesungguhnya aku hanya ingin mengingatkanmu mengenai hadits ini.”

          Al-Hakim terhadap hadits ini berkomentar: “Hadits ini shahih sanadnya.” Sementara Adz-Dzahabi menyepakatinya.

          Saya berpendapat, memang hadits itu sebagaimana yang keduanya katakan. Jika Al-Hasan itu adalah Al-Bashri, maka dia mendengarnya dari Imran, dan jika demikian halnya maka hadits itu adalah mudallas. Al-Haitsami dalam Al-Majma’ (5/226), setelah menyampaikan dari jalur Abdullah bin Shamit dan jalur Al-Hasan ini mengatakan:

          “Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan beberapa lafazh dan diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan ringkas. Pada sebagian jalur-jalur terdapat kalimat “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam mendurhakai Khaliq (Sang Pencipta).” Sedang perawi-perawi Imam Ahmad adalah para perawi yang shahih.”

          Yang diriwayatkan secara marfu dari Nabi Muhammad e ada pula jalur lain yang disebutkan secara ringkas dengan lafazh:

١٨٠ -  لاَ طَاعَةَ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالٰى

          “Tiada (kewajiban) untuk taat dalam hal durhaka kepada Allah Tabaraka Wata’ala.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Imam Ahmad (4/426,427 dan 436) dan Ath-Thayalisi (850) dari Qatadah yang berkata: “Saya mendengar Abu Marayah All-Ujali berkata: “Saya mendengar Imran bin Hushain meriwayatkan hadits dari Nabi e , beliau bersabda: (kemudian dia menyebutkan sabda Nabi e di atas).

          Saya berpendapat: Perawi-perawi hadits ini tsiqat dan dipakai oleh Bukhari Muslim, kecuali Abu Marayah. Namun ia dimasukkan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya At-Tsiqat.

          Al-Haitsami juga menampilkan hadits itu dengan matan yang sama (5/226), dari hadits Imran dan Al-Hakam bin Amer. Selanjutnya Al-Haitsami menjelaskan:

          “Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir dan Al-Ausath. Perawi-perawi yang dipakai oleh Al-Bazzar adalah perawi-perawi shahih.”

          Imam Suyuthi menyebutkan hadits tersebut di dalam Al-Jami’ Al-Kabir (3/13/1) dengan matan milik Ath-Thabrani sendiri di dalam Al-Kabir serta Ibnu Qani’ dari Imran bin Hushain bersama Al-Hakam bin Amer Al-Ghifari, kemudian Abu Na’im di dalam kitabnya Al-Mu’jam dan Al-Khatib dari Anas, Asy-Syirazi di dalam Al-Alqab dari Jabir, juga Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir yang dari An- Nawwas bin Sam’an.

          Saya berpendapat: Dalam takhrij hadits ini terdapat kecerobohan yang tidak diragukan lagi. Sebab seperti yang anda lihat sendiri, bahwa matan itu bukan milik Imam Ahmad dan Imam Hakim. Matan itu hanya milik Imam Ath-Thabrani, seperti dijelaskan oleh Al-Haitsami. Saya tidak mengetahui apakah matan itu juga dimiliki oleh orang-orang yang dijadikan sandaran oleh As-Suyuthi berkenaan dengan hadits itu, atau hadits yang sama dengan itu. Yang lebih ceroboh lagi adalah apa yang disebutkan di dalam Al-Jami ash-Shaghir, dimana (As-Suyuthi) mengatakan bahwa redaksi itu milik Imam Ahmad dan Al-Hakim. Ini jelas tidak benar. Dan kecerobohan tersebut tampak jelas dalam hadits yang disebutkan dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir, ia menyebutkan bahwa redaksi itu milik Imam Ahmad an Al-Hakim. Inilah letak kesalahannya. Yang tiada salah hanyalah Allah I
          Hadits di atas mempunyai syahid dari hadits Ali radiallahu anhu yang menjelaskan kisah Al-Amir yang memerintahkan bala tentaranya untuk masuk ke dalam api. Hadits yang dimaksud adalah:

١٨١ -  لاَ طَاعَةَ ( لَبَشَرٍ ) فَيٍ مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ

          “Tiada kewajiban untuk taat (kepada seseorang) yang memerintahkan untuk durhaka kepada Allah I. Kewajiban taat hanya pada hal yang ma’ruf.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Imam Bukhari (13/203 Fath), Imam Muslim (6/15), Imam Abu Dawud (2625), Imam Nasa’i (12/187), Ath-Thayalisi (109) dan Imam Ahmad (1/93) dari Ali radiallahu anhu:

          “Bahwa Rasulullah e mengirim bala tentara dan menunjuk seseorang untuk memimpin mereka. Lalu orang itu menyulut api dan berkata: “Masuklah kalian ke dalamnya.” Ada di antara mereka yang ingin masuk, tetapi yang lain berkata, “Kami akan benar-benar lari darinya.” Hal itu kemudian dilaporkan kepada Baginda Rasul e, lalu beliau bersabda kepada mereka yang akan masuk ke dalam api: “Jika kalian masuk ke dalamnya, maka kalian akan seperti itu selamanya hingga datang hari kiamat.” Sedangkan kepada yang lain beliau bersabda: “(Kemudian rawi menyebutkan sabda Nabi di atas).” Tambahan itu milik Ath-Thayalisi, sedangkan susunan kalimat selebihnya yaitu milik Imam Muslim.”

          Riwayat lain yang juga berasal dari Ali radiallahu anhu:

          “Rasulullah e mengirim satu peleton pasukan dan menunjuk seseorang untuk memimpin. Pemimpin itu berasal dari kaum Anshar. Beliau memerintahkan agar menaati apa yang diperintahkan oleh pemimpin itu. Kemudian ada sesuatu yang membuat pemimpin itu jengkel, yakni sikap pasukan itu. Lalu pemimpin itu memerintahkan: “Kumpulkan kayu bakar untukku.” Mereka segera mengumpulkannya. Pemimpin itu memerintahkan, “Nyalakan api.” Mereka juga segera melakukannya. Lalu dikatakan: “Bukankah Rasul telah memerintahkan kepada kalian agar menaati semua perintahku?” Mereka menjawab, “Benar.” Ia berkata: “Karena itu, masuklah kalian ke dalam api itu.” Perawi berkata: “Kemudian mereka saling memandang lalu berkata: “(riwayat lain menyebutkan, ada seorang pemuda yang berkata kepada mereka): Kita harus lari kepada Rasulullah menjauhi api (karena itu janganlah kalian tergesa-gesa sebelum mendapatkan nasihat dari Rasul. Jika beliau memerintahkannya, maka masuklah kalian). Seperti itulah sikap yang emreka ambil. Kemarahannya pun mulai reda dan api pun segera padam. Tatkala mereka telah kembali, mereka melaporkan hal itu kepada Nabi e Belia bersabda: “Kalau mereka masuk ke dalamnya, maka tidak akan keluar selamanya. (Kewajiban) taat hanya dalam hal ma’ruf.”

          Hadits itu ditakhrij oleh Imam Bukhari (8/46, 13/109), Imam Muslim (6/16) dan Imam Ahmad (1/82, 134)

          Hadits ini mengandung banyak pelajaran, di antaranya tidak diperbolehkannya mentaati orang yang memerintahkan durhaka kepada Allah I, baik hal itu dilakukan oleh umara’, ulama ataupun masyaikh. Dari sini kita dapat mengetahui kesesatan beberapa golongan:

          Pertama: Beberapa ahli tasawuf yang menaati gurunya meskipun diperintah untuk melaksanakan kemaksiatan dengan dalih bahwa hal itu sebenarnya bukan maksiat. Keyakinan mereka bahwa gurunya mengetahui apa yang tidak diketahui oleh muridnya. Saya pernah mendengar suatu kisah bahwa ada seorang guru yang memerintahkan murid-muridnya untuk membunuh ayahnya di saat sedang tidur dengan isterinya. Tatkala mereka berhasil membunuh orang tuanya, mereka datang kepada gurunya dengan hati lega karena telah berhasil melaksanakan perintahnya! Sang gurunya pun  berkata: “Apakah engaku mengira bahwa hakikatnya engaku membunuh orang tuamu? Yang kamu bunuh sebenarnya adalah sahabat Ibmunu. Ayahmu sebenarnya tidak ada.” Dari kisah ini mereka membuat suatu kesimpulan hukum, bahwa seroang guru (syaikh) memerintahkan muridnya untuk melakukan sesuatu yang menyimpang dari ajaran agama (syar’i), maka sang murid harus menaatinya. Mereka berkata: “Meskipun yang kalian lihat adalah bahwa seorang guru memerintahkan membunuh orang tuanya yang jelas haram, namun hakekatnya guru memerintahkan membunuh orang yang berbuat zina dengan ibunya. Ia memang harus dibunuh menurut syari’at. Kesimpulan ini jelas salah dari segi apapun.
1.     Melaksanakan hukuman bukan menjadi hak sang guru itu, bagaimana pun keadaan orang yang hendak dibunuh. Hak bunuh ada di tangan penguasa (al-amir).
2.     Kalau memang hal itu benar perbuatan zina, maka mengapa hukumannya harus dijatuhkan kepada sang laki-laki tidak kepada wanitanya (si ibu) juga, padahal keduanya sama.
3.     Hukuman pelaku zina mushan adalah hukum bunuh dengan rajam, bukan dengan cara lain.

Dari sini jelaslah bahwa syaikh itu telah melakukan kesalahan hukum yang dibuat oleh Mursyid di atas, yang mewajibkan mentaati syaikh meskipun memerintahkan sesuatu yang menyimpang dari syara’. Bahkan Mursyid pun berkata kepada para murid: “Jika kalian melihat syaikh berkalung salib, maka kalian tidak boleh menilainya mungkar.” Dengan jelasnya bukti-bukti kesesatan yang dilakukan ini, kita masih melihat ada orang yang membelanya, padahal orang itu termasuk pemuda yang berpendidikan. Saya pernah mengadakan dialog dengan salah seorang di antara mereka mengenai kisah tersebut. Ia telah mendengar kisah dan kesimpulan hukum itu langsung dari gurunya. Tetapi dialog yang saya lakukan tetap tidak menghasilkan sesuatu. Sebab mereka tetap meyakini kebenaran kisah tersebut. Karena menurutnya, hal ini merupakan karamah. Ia mengatakan: “Kalian bisa berpendapat seperti itu, karena kalian tidak percaya adanya karamah.”

Menanggapi itu, saya katakan kepadanya: “Seandainya syaikhmu memerintahkan kepadamu untuk membunuh orang tuamu, apakah engkau akan menaatinya?” Ia pun menjawab: “Sesungguhnya saya belum sampai ke derajat seperti itu.” Celaka benar petunjuk yang mengesampingkan akal dan hanya menyerah kepada orang-orang yang menyesatkan. Salahkah jika kita melarang mereka dan mengklaim bahwa hal itu menjadi candu bagi bangsa!

Kedua: Mereka bertaklid buta dan memilih pendapat madzhab dengan mengesampingkan tuntunan Nabi e yang sudah diketahuinya. Jika dikatakan kepada mereka, misalnya: “Janganlah engaku melakukan shalat sunnat fajar jika shalat subuh telah dilakukan, sebab Nabi  melarang hal itu.” Mereka akan menjawab: “Ada madzhab yang memperbolehkannya.” Kemudian jika di katakan kepada mereka: “Sesungguhnya nikah tahlil (nikah yang dilakukan agar suami sebelumnya bisa kembali lagi kepada wanita yang sekarang menjadi isterinya) dilarang, sebab Nabi e sangat melaknat perbuatan itu.” Mereka akan menjawab: “Tidak menurut madzhab ini, hal itu diperbolehkan.” Dan masih banyak masalah fiqhiyah yang mereka sikapi seperti itu. Menurut para Ulama Muhaqqiqin, mereka ini termasuk golongan yang dalam Al-Qur’an difrimankan oleh Allah I.bagi orang-orang Nasrani, yaitu:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ

          Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam.” (QS At-Taubah : 31
          Masalah ini dijelaskan pula oleh Al-Fakhrur-Razi di dalam tafsirnya.
          Ketiga: Mereka menaati para penguasa yang membuat peraturan atau undang-undang yang menyimpang dari syara’, seperti negara yang menganut system sosialis atau system lain yang sejenis. Yang paling parah adalah mereka yang mengatakan bahwa system seperti itu memiliki kesamaan dengan Islam. Inilah musibah yang menimpa kita, yang banyak dilakukan oleh para cendekiawan dengan dalih menyumbangkan pemikiran demi kemajuan suatu bangsa. Akibatnya banyak kaum awam yang terkecoh dengan pemikiran mereka itu. Jadi mereka dan para pengikutnya dapat dikategorikan ke dalam kelompok yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya di atas. Hanya Allah lah yang dapat memeberikan pertolongannya kepada kita.
READ MORE - TIDAK ADA KETAATAN DALAM MAKSIAT TERHADAP ALLAH
Biografi dan Profil Tokoh TerkenalRumah Yatim, Anak Yatim, Panti Yatim, Panti Asuhan, Panti Sosial, Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, Baitul Maal, Sedekah, Zakat, Infaq, Wakaf, Hibah, Donatur, Badan, Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat, Dompet Peduli, Pondok Yatim, Pecinta YatimToko Online Aksesoris wanita no.1 di Indonesia-Aini's CollectionFree automatic backlinks exchangeAuto Backlink Gratis Indonesia : AUTO BACKLINK Teralis, Railing Tangga, Railing Balkon, Kanopi, Pintu Besi, Pintu Pagar, Pagar Besi, Pintu Garasi, Tangga BesiALAT BANTU SEX- OBAT KUATDaftar PTC Indonesia pilihan yang selalu membayar Ptc indonesia terbaru,ptc indonesia terpercaya,daftar ptc terpercaya,list ptc indonesia terpercaya,situs ptc indonesia yang bisa dipercaya Free Automatic Backlinks ExchangesFree Automatic Backlinks ExchangesFree Automatic Backlinks ExchangesAqillah Aziz indian classifieds, india classified ads, free classified ads, buy sell free classifieds from india, classified yellow pages, indian ads, post free ads, indian advertisements, free advertising, post sell ads, post buy ads, free job postings, free matrimonial ads, car classifieds, auto classifieds, used stuff, local ads, ads for sale, local classifieds india, click india, property for sale, sell used cars, education institutes, travel deals, mumbai real estate, new delhi restaurants, hotels in bangalore, online classifieds india, buy sell free classifieds, online ads, free ads, indian ads, where can i post free ads, post free business ads, post free employment ads, free online ads posting, how to post free ads, post free banner ads, post free ads internet, free business advertising, local classified ads, free internet classified ads, post free dog ads, placing free ads online, free online advertising sites, where to place free classified ads, used cars classified ads, submit free classified ads, sites to post ads for free, kijiji, free classifieds nyc, post free classified ads no registration, sell car free ads, free online advertising sites, autos, ads for, one india, free classifieds in keralagrahafenomenahati. ALBUM KELUARGA H.M SOEKARNO Rt.04/03 PATIKRAJADownload Mp3 Lagu Religi Mawar Biru Keris adalah budaya asli Indonesia BACKLINK OTOMATIS GRATIS Fenomena Hati . download-aplikasi-gratisbanyumas Pustaka Link Fenomena Hati download-aplikasi-gratisbanyumasdownload-aplikasi-gratisbanyumasSAHABAT UNGU Ciptaan Terbaik Tuhan
Ratu Galunggungarinmawarbirukita download-aplikasi-gratisbanyumas
Kumpulan Artikel Islamiperjalananjihad Daftar Lagu Islami Desa Patikraja. Solusi hosting gratis dari Google Code CHANNEL---TV---DESA PATIKRAJA 10 000 000 Backlinks. 10 000 000 Backlinks. Bunda Watie  Link Exchange/Tukar Link. Media-Aisah Bella  Arin Mawar Rindu (Puisi Biru)Link Exchange/Tukar Link. CHANNEL---TV---Ugiarti Pratiwi AISAH BELLA Exchange/Tukar Link. CHANNEL---TV---AISAH BELLA  Bunda Watie  Link Exchange/Tukar Link. Majalah Roro Mendot  cewek cantik Indonesia   Arin Mawar Rindu (Puisi Biru)Link Exchange/Tukar Link. Bunda Watie  Link Exchange/Tukar Link. NYAI Roro Mendot-AISAH BELLA  AISAH BELLA Exchange/Tukar Link.

submit your site