Jumat, 26 Oktober 2012
PEMBANTAIAN TERHADAP ORANG ABORIGIN OLEH INGGRIS
Orang-orang asli Australia dikenali sebagai orang Aborigin. Mereka yang telah tinggal di benua tersebut selama beratus-ratus tahun telah mengalami penghapusan paling besar di dalam sejarah karena kedatangan orang-orang dari Eropa di negara tersebut. Orang-orang eropa ini melakukan pembantaian terhadap orang Aborigin, sejak pertama kali mereka menginjakkan kakinya di tanah asli milik leluhur suku Aborigin itu. Sudah datang nggak pernah diundang, eeeh malah ngebunuhin penduduk asli (Aborigin/sang tuan rumah) lagi, Kelakukan orang Eropa yang biadab itu sama sekali tidak aneh kalau kita mau melihat bagaimana kata Alkitab mengenai perilaku hal itu.
Selain karena mengikuti ajaran Tuhannya, kebiadaban orang eropa terhadap orang Aborigin di Australia juga karena mereka orang-orang eropa pembunuh itu berpedoman pada Teori Evolusi (Darwinisme), ciptaan seorang yang bernama Charles Darwin. Pandangan ideologi Darwinisme tentang orang-orang Aborigin telah membentuk teori liar yang telah menyiksa mereka.
Bangsa pribumi Australia, Aborigin ini telah dilihat sebagai satu spesies manusia yang tidak membangun oleh para pendukung teori evolusi dan telah dibunuh beramai-ramai. Pada tahun 1890 Wakil Presiden Royal Society di Tasmania, James Barnard, telah menulis: “proses pemusnahan ini adalah satu prinsip evolusi dan ‘yang kuatlah, yang terus hidup’ yang telah diterima umum”. Oleh karena itu adalah tidak perlu untuk beranggapan bahwa “telah berlaku kecualian yang buruk” di dalam pembunuhan dan pencabulan terhadap orang-orang Aborigin Australia.
Hasil daripada pandangan rasialis, ganas, dan liar yang telah dipupuk oleh Darwin ini, satu operasi pembunuhan beramai-ramai telah dijalankan untuk menghapuskan orang-orang Aborigin. Kepala Aborigin telah dipaku di pintu-pintu stasiun oleh orang-orang eropa “tamu tak diundang” itu. Roti beracun telah diberikan kepada keluarga-keluarga Aborigin. Di kebanyakan kawasan-kawasan Australia, kawasan penempatan Aborigin telah dihapuskan
dengan cara yang ganas dalam masa 50 tahun.
Kebijakan-kebijakan yang ditujukan kepada orang-orang Aborigin ini tidak hanya terhenti dengan pembunuhan beramai-ramai. Banyak di antara mereka yang dijadikan sebagai hewan-hewan eksperimen. Institut Smithsonia di Washington D.C. telah menyimpan 15.000 jasad orang bangsa ini yang masih utuh. 10.000 orang Abogin Australia telah dihantar dengan kapal laut ke Museum British dengan tujuan untuk memastikan apakah mereka benar-benar adalah “mata rantai yang hilang” (missing link) di dalam perubahan dari monyet kepada manusia, sesuai teori Darwin.
Museum-museum ini tidak hanya berminat dengan tulang-tulang mereka, tetapi dalam masa yang sama mereka juga menyimpan otak kepunyaan orang-orang Aborigin ini dan menjualnya dengan harga yang tinggi. Terdapat juga bukti yang menunjukkan bahawa orang-orang Aborigin ini juga dibunuh untuk digunakan sebagai spesimen. Fakta di bawah membuktikan keganasan ini:
Memori sebelum mati dari Korah Wills, yang telah menjadi walikota Bowen, Queensland pada 1866, telah menceritakan bagaimana dia telah membunuh dan memenggal seorang penduduk asli pada tahun 1865 untuk mendapatkan spesimen sains. Edward Ramsay, pegawai kurator Australian Museum di Sydney sejak 20 tahun dari tahun 1874, juga ikut terlibat. Beliau telah menerbitkan sebuah risalah yang memasukkan Aborigin di bawah tajuk “hewan-hewan Australia”. Ia juga memberikan panduan tidak hanya bagaimana hendak merompak kubur, tetapi juga bagaimana untuk mencabut peluru daripada daging “spesimen” yang telah dibunuh.
Seorang pendukung teori evolusi dari Jerman, Amalie Dietrich (digelar juga ‘Angel of Black Death’) telah datang ke Australia dan bertanya kepada pemilik-pemilik stasiun tentang Aborigin untuk dibunuh demi mendapatkan spesimen, selalunya kulit mereka dijadikan sebagai sarung pelapik dan rangka untuk majikan museumnya. Walaupun, pernah dihalau sekurang-kurangnya sekali, tetapi dalam masa yang singkat beliau telah kembali bersama spesimennya.
Seorang missionaris di New South Wales adalah saksi atas penyembelihan oleh polisi atas berlusin-lusin orang Aborigin, baik lelaki, perempuan dan anak-anak. Empat puluh lima kepala telah dididihkan dan 10 tengkorak yang sempurna telah dibungkus untuk dikirim ke luar negeri.
Eksperimen ke atas orang-orang Aborigin ini terus berkelanjutan hingga abad ke-20. Di antara metode yang digunakan di dalam eksperimen ini ialah pemisahan secara paksa anak-anak Aborigin dari keluarga mereka. Cerita baru oleh Alan Thornhill, yang telah muncul di dalam edisi 28 April 1997 Philadelphia Daily News, telah menceritakan dengan panjang lebar tentang metode ini yang digunakan untuk menentang Aborigin, seperti berikut:
Bangsa Aborigin yang tinggal di padang pasir barat laut Australia, pernah melumuri kulit anak-anak mereka yang cerah dengan arang, supaya kelompok agen kerajaan tidak akan merampas mereka. “Kumpulan ini akan menangkap kamu apabila mereka menemui kamu”, salah seorang anak-anak yang dicuri melaporkan, beberapa tahun kemudian. “Orang-orang kami akan menyembunyikan kami dan mewarnai kami dengan arang”.
“Saya telah dibawa ke Moola Bulla”, kata seorang penggembala lembu yang telah diculik ketika masih kanak-kanak. “Kami berusia 5 atau 6 tahun”. Kisah beliau adalah satu daripada beratus-ratus kisah yang telah didengar oleh Lembaga Hak Asasi Manusia dan Hak Persamaan Taraf Australia, ketika dilakukan penyelidikan ke atas “generasi yang dicuri”.
Antara tahun 1910 sampai 1970-an, kira-kira 100.000 anak-anak Aborigin telah diambil daripada orang tua mereka. anak-anak Aborigin yang berkulit cerah itu akan diberikan kepada keluarga-keluarga kulit putih sebagai anak angkat. Kanak-kanak berkulit hitam pula menjadi yatim piatu.
Sehingga kini, kepedihannya amat dahsyat sehinggakan kebanyakan cerita-cerita telah dicetak secara diam-diam di dalam laporan akhir lembaga tersebut, “Bringing Them Home”. Lembaga tersebut menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan ketika itu adalah bersamaan dengan pemusnahan bangsa seperti yang digambarkan oleh PBB. Pemerintah Australia telah menolak untuk mengikuti penyelidikan yang akan dilakukan dimana sebuah dewan telah dibentuk untuk menilai pembayaran ganti rugi untuk anak-anak Aborigin yang diculik.
Seperti yang kita lihat, layanan tidak berperikemanusiaan ini, pembunuhan beramai-ramai, keganasan, kebuasan, dan pemusnahan yang dilakukan telah dijusfikasikan oleh Alkitab, juga berpegang pada tesis Darwin tentang “pilihan langsung”, “perjuangan untuk terus hidup”, dan “‘yang kuatlah, yang terus hidup’”.
Segala penyiksaan yang dialami oleh orang-orang asli Australia ini hanyalah sebagian kecil daripada malapetaka yang dibawakan oleh Inggris dan Darwinisme kepada dunia. Yang pasti, Inggris telah melakukan pembunuhan dan penekanan terhadap ribuan penduduk asli benua Australia, suku Aborigin dan suku Maori (New Zealand).
Diskriminasi terhadap penduduk asli yang jumlahnya sudah menyusut jauh tersebut masih terus berlangsung sampai saat ini. Ironis memang, “si empunya rumah” (penduduk asli) justru menjadi tamu di negerinya sendiri, dan kaum pendatang yang bengis-bengis itu justru telah menjadi “si tuan rumah”.
Di dalam buku beliau The Origin of Species Darwin melihat penduduk asli Australia dan Negro sebagai makhluk-makhluk yang sama taraf dengan gorilla dan mengatakan bahwa bangsa-bangsa ini akan lenyap. Sementara bagi bangsa-bangsa lain yang dilihatnya sebagai “bermartabat rendah”, dia menegaskan bahwa adalah perlu untuk menyekat mereka supaya bangsa-bangsa ini pupus. Oleh karena itu, laluan rasisme dan diskriminasi yang masih wujud sehingga ke hari ini, telah disahkan dan diterima oleh Darwin dengan cara
ini.
Memang sungguh malang sekali nasib bangsa Aborigin. Mereka adalah bangsa asli pemilik sah benua Australia. Namun ketika orang-orang itu menerobos masuk Australia, bangsa Aborigin yang tidak memiliki senjata itu telah diperlakukan secara sangat tidak manusiawi. Di mata Inggris, Aborigin tidak lebih daripada hewan liar yang mesti diburu dan dibunuh. Tangan orang-orang Inggris benar-benar berlumuran darah ketika mencaplok Australia. Bangsa Aborigin terpaksa menerima proses “civilized” dan “cultured” yang diterapkan oleh penjajah Inggeris.
Captain Arthur Phillip memperhitungkan, kira-kira 1.500 bangsa Aborigin di sekitar Sidney di tahun 1788. Akan tetapi angka tersebut merosot tajam kepada kurang dari 200 orang yang hidup tahun 1830-an.
Charles Darwin yang berkelana ke Australia tahun 1836, masih sempat menyaksikan angka tragis itu. Kunjungan Charles Darwin kononnya membawa misi humanitarian untuk menyelamatkan dan memelihara keturunan Aborigin supaya tidak musnah, akan tetapi realitas yang terjadi adalah, mereka diburu oleh orang-orang Inggris seperti binatang buas. Mereka juga diperkosa, serta perkampungan mereka dibakar dan dihanguskan oleh orang-orang Inggris itu.
Beberapa tahun kemudian, bangsa Aborigin tersisa hanya beberapa orang saja lagi di jalan Sidney, hidup sebagai manusia yang hina di tanah airnya sendiri dan tidak memiliki lagi masa depan. Kenangan ini dilukiskan Darwin sbb: “Wherever the European has trod, death seems to pursue the aboriginal. We may look to the wide extent of the Americas, Polynesia, the Cape of Good Hope and Australia, and we find the same result…” (Dimana saja-Orang Eropa telah menyakiti hati sepanjang masa, membunuh. Memburu orang Aborigin menjadi kebanggaan sebelum mati. Kita bisa menyaksikan dengan jelas merata tempat di Amerika, Polynisia, Cape dan Australia, ternyata sama hasilnya…”).
Bahkan John Glover mengatakan: “…the only alternative now is, if they do not ready become friendly, to annihilate them at once” (sekarang tinggal hanya satu saja pilihan, jika mereka tidak mau bersahabat dengan kita, maka dijahanamkan sekaligus).
Sesudah mobilitas politik Inggris mapan, barulah pada pada tahun 1831, kepada bangsa Aborigin yang berdomisili di wilayah Tasmania, dipaksa menerima Hukum Perkawinan made-in British. Bagaimanapun bangsa Aborigin menolak, sebab mereka juga memiliki hukum perkawinan mengikut budaya dan kepercayaannya sendiri. Sebagai balasan kepada mereka yang menolak, mereka dikapalkan ke sebuah pulau di Bass Strait. Tragis sekali, dalam jangka masa satu tahun saja, jumlahnya kurang dari 50 orang lagi yang tinggal. “Theylast pure-blooded Tasmanian died in 1876″.
Di atas kejadian itu, Charles Darwin ketika mengunjungi Tasmania berkata: “I fear there is no doubt that this train of evil and its consequences originated in the infamous conduct of some of our countrymen” (Aku takut bahwa disana ada keraguan bahwa kereta kejahatan/iblis ini dan konsekwensi nya dimulai di dalam perlakuan buruk yang dilakukan oleh orang-orang kita).
Di Maralinga, suatu negeri dimana bangsa Aborigin menetap di sana. Inggris telah melakukan ujian bom atom. Laporan daripada “Green peace Book of Nuclear Age: The Hidden Human Cost” menyimpulkan bahwa: “the test had probably caused an increase in the level of cater among the Australian population in general, and among Aborigines living near the test sites and thousand of servesmen and civilians directly involved with the tests”. (Ujian ini pada umumnya telah memungkinkan sekali terjadinya pertambahan jumlah penderita penyakit cacar diantara orang Australia sendiri, kalangan Aborigin yang berdekatan dengan lokasi dan secara langsung ribuan dari pekerja dan orang sipil juga ikut merasakan akibat daripada ujian tersebut).
Akan tetapi sedihnya, Henry Kissinger, bekas Menteri Luar negeri Amerika justeru berkata: “There are only 90.000 people out there”. “Who gives a damn?” demikian dilaporkan oleh “Day of two Suns. US Nuclear Testing and The Pacific islanders.”
Begitulah arogansi dan keangkuhan penjajah Inggris ketika itu untuk melucuti bangsa Aborigin melalui metode ‘civilized’ dan ‘cultured’ yang dilaksanakan Inggris. (catatan dari buku “Sumatra Menggugat”).
Ketika kulit putih datang pertama kalinya pada tahun 1788, Sydney ibarat sebuah museum raksasa Aborigin berisi sekitar 10.000 batu ukiran dan beragam karya kesenian lainnya. Baru sebagian saja peninggalan itu digali dan ditemukan, yang lainnya menjadi korban vandalisme kulit putih. Belum lama ini, salah satu karya dihancurkan cuma karena tempat itu dijadikan lapangan golf.
Dalam versi pemerintahan Australia kulit putih, orang-orang Aborigin yang dikolonialisasi itu adalah rakyat yang bermusuhan dan tidak beradab. Akan tetapi, bagi Aborigin kedatangan penjajah putih itu mengawali sebuah invasi dan penghancuran yang tak habis-habisnya bagi kebudayaan mereka.
Seorang pahlawan Eora bernama Pemulwuy, yang memimpin perjuangan selama 12 tahun, dan sempat membunuh gubernur Inggris di Botany Bay pada tahun 1790. “Namun, serdadu-serdadu Inggris sungguh tidak tahu malu, mereka malah memenggal kepala Pemulwuy,” kata Eric Willmot, pengarang buku berjudul ‘Pemulwuy, The Rainbow Warrior’, yang menceritakan bagaimana kepala itu dikirim ke Inggris.
Jadi tak bisa dipungkiti lagi, ribuan orang Aborigin telah dibunuh secara kejam oleh orang-orang eropa tersebut, atau mati karena berbagai penyakit menular. Sebagian diculik, lalu dibawa ke Inggris untuk dihukum mati.
Lebih mengerikan lagi, di dalam masyarakat mereka hanya digolongkan bersama binatang dan tumbuhan (Flora and Fauna Act), dan baru memperoleh kewarganegaraan tahun 1967. Sebagian lagi wajib mengenakan “kalung anjing” sebagai tanda pengenal.
Australia juga menerapkan Undang-Undang Kesejahteraan Nasional (National Welfare Act), yang mengesahkan pemerintah memisahkan anak Aborigin dari orang tuanya.
Akibat UU tersebut, dari tahun 1910 sampai 1970, sedikitnya 100.000 anak Aborigin yang pada umumnya berasal dari ayah atau kakek berkulit putih, terpisah dari orang tuanya. Anak Aborigin itu ditempatkan di panti asuhan yang disubsidi pemerintah. Biasanya, yang berkulit sedikit terang diadopsi keluarga kulit putih Australia. Mereka yang berkulit gelap biasanya akan menghabiskan masa kanak-kanak mereka di panti asuhan dengan sedikit atau tanpa pendidikan memadai.
Pemerintah Australia menganggap kebijakan itu sebagai kebijakan kemanusiaan untuk mengangkat harkat bangsa Aborigin. Dalam kenyataannya, kebijakan itu mengeliminasi jumlah orang Aborigin, yang berada di Australia sejak 60.000 tahun silam.
Yang diharapkan oleh orang-orang Inggris ini adalah, keturunan asli Aborigin akan meninggalkan habitat mereka, kemudian musnah karena meninggal akibat penyakit atau tingkat kelahiran rendah. Rencana ini hampir berhasil. Populasi Aborigin di Australia terus menyusut dari sekitar 60.000 jiwa pada tahun 1870-an menjadi tinggal 20.000 jiwa pada dasawarsa 1930-an.
Pada Juni 1997, pemerintah Australia mendirikan Komisi HAM dan Persamaan Kesempatan, yang menyeru dihentikannya kebijakan pembunuhan massal.
“Diskriminasi secara sistematik dan pembunuhan massal jangan dianggap remeh, dan pemerintah Australia berdasarkan atas hukum internasional, wajib memperbaiki kesalahan mereka,” kata Komisi HAM dan Persamaan Kesempatan dalam laporannya setebal 689 halaman.
Pemerintah Australia menolak menanggapi laporan tersebut. Begitu juga dengan PM John Howard. Dengan congkak, Howard mengesampingkan seruan komisi HAM tersebut dengan mengatakan, isi laporan itu tidak lebih sebagai “pita hitam pada lengan” dalam sejarah Australia. “Generasi Australia sekarang tidak perlu menerima dosa lama dan menyalahkan tindakan salah di masa lalu, yang tidak bisa mereka kendalikan,” kata Howard.
Padahal, diskriminasi terhadap bangsa Aborigin itu sampai kini masih terus berlangsung. Agaknya, bagi orang-orang Australia, daripada harus mengakui kesalahan sendiri, mereka lebih suka menjadi “ksatria kulit putih” bagi orang Timtim, sepupu dekat bangsa Aborigin. Kini mereka juga ingin menjadi pahlawan kesiangan “SEAKAN-AKAN mereka tidak berlumuran darah orang Aborigin yang mereka bantai” kepada orang-orang Papua (Irian) di Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Membacanya dan tolong kasih Komentarnya.