WAROENG BELAJAR

Selasa, 27 Maret 2012

PUASA KETIKA BEPERGIAN


۱۹۱ - كَانَ يَصُوْمُ فِي السَّفَرِ وَيُفْطِرُ وَيُصَلِّيْ رَكْعَتَيْنِ لاَ يَدَعُهُمَا يَقُوْلُ لاَ يَزِيْدُ عَلَيْهِمَا . يَعْنِي الْفَرِيْضَةَ

          “Dia berpuasa ketika bepergian dan berbuka, dia bershalat dua rakaat tidak meninggalkannya. Perawi berkata: dia tidak menambah pada keduanya, yakni yang fardhu.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Ath-Thahawi (1/333) dan Ahmad (1/402 dan 407) dari jalur Hammad, dari Ibrahim, dari Al-Qamah dari Ibnu Mas’ud dengan riwayat marfu’.

          Saya berpendapat: Hadits ini sanadnya jayyid, sesuai dengan syarat Muslim. Adapun Hammad, adalah Ibnu Abi Sulaiman Al-Faqih. Mengenai dia ada pembicaraan yang tidak membahayakan.

          Hadits itu dengan kepastian yang jelas adalah shahih. Adapun tentang mengqashar shalat, banyak disinggung dalam hadits-hadits dari segolongan sahabat, dan di sini kita tidak akan memperpanjangnya. Sedangkan soal puasa dalam bepergian, yakni puasa fardhu. Dia berkata (2/43): “Telah menjadi ketetapan darinya r bahwasanya beliau tidak menyempurnakan shalat empat rakaat dalam bepergian dan tidak pula puasa fardhu.

          Oleh karenanya saya merasa perlu untuk menyebutkan sebagian hadits yang menunjukkan ketidakbenaran penafian itu. Saya katakan: Mengenai puasa Nabi r dalam bepergian itu telah diriwayatkan dari segolongan sahabat. Diantaranya Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan Abu Darda.

          Adapun hadits Ibnu Mas’ud adalah hadits terakhir di atas. Sedangkan dalam hadits Ibnu Abbas, Abu Dawud Ath-Thayalisi memberitakan (1/190): “Telah bercerita kepadaku Sulaiman (yaitu Ibnu Mu’adz Adz-Dzahabi) dari Samak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan riwayat marfu’ disertai dari baris awal hadits di atas.”

          Hadits ini sanadnya hasan. Para perawinya adalah perawi-perawi Muslim. Sedang Imam Muslim sendiri telah mentakhrijnya dalam Shahih-nya (3/141), demikian pula Ahmad (1/232) dari jalur Thawus yang berasal dari Ibnu Abbas:

          “Tidaklah payah atas orang yang berpuasa dan tidak pula atas orang yang berbuka. Sesungguhnya Rasulullah r berpuasa dalam perjalanan dan berbuka.”

          Hadits ini telah ditakhrij oleh Al-Bukhari (3/146), oleh Muslim dan lainnya dari jalur Ubaidillah bin Utbah yang berasal dari Ibnu Abbas:

          “Sesungguhnya Rasulullah r keluar ke Makkah dalam bulan Ramadhan, berliau berpuasa hingga sampai di Al-Kadid, dan berbuka hingga orang-orang pun ikut berbuka.”

          Al-Kadid adalah tempat antara ‘Asfan dan Qadid. Antara Al-Kadid dan Makkah berjarak dua marhalah. Sedang antara Al-Kadid dan Madinah ada beberapa hari perjalanan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Fath (3/147).

          Dalam riwayat Al-Bukhari (3/151) dan Imam Muslim (3/141) diperoleh dari jalur Mujahid yang berasal dari Thawus dari Ibnu Abbas yang mengisahkan:

خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْمَدِيْنَةِ إِلٰى مَكَّةَ فَصَامَ حَتّٰى بَلَغَ عَسْفَانَ ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَرَفَعَهُ إِلٰى يَرِدِهِ لِيَرَاهُ النَّاسُ فَاَفْطَرَ حَتّٰى قَدِمَ مَكَّةَ وَذٰلِكَ فِى رَمَضَانِ . فَكَانَ ابْنُ عَبَّسٍ يَقُوْلُ قَدْ صَامَ رَسُوْلُ

          “Rasulullah r keluar ke Makkah, kemudian beliau berpuasa hingga sampai di ‘Asfan. Lalu beliau meminta air dan mengangkat tangannya supaya dapat memeperlihatkannya kepada orang-orang, lalu beliau berbuka hingga tiba di Makkah. Dan ketika itu adalah bulan Ramadhan. Maka Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya Rasulullah r  telah berpuasa dan berbuka. Barangsiapa yang mau berpuasalah, dan barangsiapa yang mau berbukalah.”

          Hadits ini telah ditakhrij oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (3/468/2883) dari Al-Awwan bin Hausyah. Dia berkata: “Saya bertanya kepada Mujahid: “Puasa dalam perjalanan?” Dia menjawab: “Adalah Rasulullah r dimana berpuasa dalam perjalanan dan berbuka.” Saya bertanya, “Mana yang kamu sukai antara keduanya?” Dia menjawab: “Berbuka itu suatu ruksah (memurahan) dan puasa Ramadhan itu lebih aku sukai.”

          Hadits ini sanadnya mursal shahih.

          Sedangkan hadits Anas, maka telah diriwayatkan daripadanya oleh Ziyad An-Namiri, telah bercerita kepadaku Anas bin Malik. Dia menuturkan:

          “Rasulullah r bepergian bertepatan bulan Ramadhan, maka beliau berpuasa dan beliau bepergian bertepatan bulan Ramadhan, maka beliau berbuka.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (4/244). Adapun Ziyad itu adalah  Ibnu Abdullah An-Namiri Al-Bashari. Dia dha’if. Haditsnya hanya ditulis sebagai syahid (hadits pendukung).

          Adapun hadits Abu Darda’, maka telah diriwayatkan oleh Al-Walid bin Muslim dari Sa’id Ibnu Abdulaziz dari Ismail bin Ubaidillah dari Ummi Darda’ dari Abi Darda’ yang menceritakan:

          “Kami keluar bersama Rasulullah r  pada bulan Ramadhan. Waktu itu amat panas, sehingga salah seorang diantara kami ada yang meletakkan tangannya di atas kepalanya karena tersengat panas. Tidak ada diantara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah r  dan Abdullah bin Rawahah.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Imam Muslim (3/145): “Telah bercerita kepadaku Dawud bin Rasyid: Telah bercerita kepadaku Al-Walid bin Muslim.”

          Walid bin Muslim meskipun dia tsiqah namun mudallis. Semua sanadnya mun’an’an. Tetapi telah ditakhrij oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (1/378): “Telah bercerita kepadaku Muammal bin Al-Fadhal: Telah bercerita kepadaku Al-Walid: “Telah bercerita kepadaku Sa’id bin Abdulaziz…” Kemudian dia menyebutkan secara musalsal dengan cerita dari semua perawi kecuali Ummu Darda’. Walid menyebutkan: ‘dari Abu Darda’. Hanya saja beliau berkata: فى بعد عزواته “pada sebagian peperangannya” dan tidak mengatakan فى شهر رمضان   “pada bulan Ramadhan”.

          Inilah yang benar. Bahwa dalam hadits Abu Darda’, tidak ada kata-kata “di bulan Ramadhan”. Hal ini dikarenakan beberapa hal:

          Pertama: Meskipun Sa’id bin Abdulaziz adalah tsiqah namun masih dipertentangkan ketsiqahannya itu, seperti yang dikatakan oleh Abu Mashar: “Sungguh masih diperselisihkan mengenai ucapannya “Di bulan Ramadhan”. Lalu Al-Walid bin Muslim menetapkan riwayat itu dari Sa’id bin Abdulaziz  dalam riwayat Dawud bin Rasyid. Namun tidak demikian halnya dalam riwayat Mu’ammal bin Al-Fadhal, yaitu bahwa dia tsiqah. Riwayat ini jadi lebih unggul dari Al-Walid karena diikuti oleh berbagai orang yang tsiqah, antara lain Amer bin Abi Salamah dari Sa’id bin Abdulaziz dengan lafazh:

          “Kami bersama Rasulullah r dalam bepergian…”

          Hadits ini ditakhrij oleh Asy-Syafi’i dalam As-Sunan (1/259).

          Termasuk diantara mereka yang bepergian itu adalah Abul Mughirah, namanya adalah ‘Idul Qudus bin Al-Hujjaj Al-Himsha.

          Hadits ini ditakhrij oleh Ahmad (5/194) dari Sa’id bin Abdulaziz.

          Tiga orang tersebut adalah tsiqah. Mereka tidak menyebutkan kata-kata “di bulan Ramadhan”. Sehingga riwayat mereka terdahulu dari riwayat Al-Walid, sebagaimana yang telah jelas tidaklah mengkhawatirkan dan dikuatkan oleh factor yang kedua, yaitu:

          Kedua: Bahwa Abdurrahman bin Yazid bin Jabir sesungguhnya telah mengikuti Sa’di dalam meriwayatkan hadits tersebut, dari Ismail bin Ubaidillah secara sempurna. Tetapi keduanya berbeda mengenai kata-kata ini. Abdurrahman berkata:

          “Kami keluar bersama Rasulullah r dalam sebagian bepergiankami…”

          Hadits ini telah ditakhrij oleh Al-Bukhari (3/147). Sedangkan Abdurrahman telah menetapkan dari Sa’id. Sehingga dalam perselisihan itu riwayatnya lebih unggul. Dalam kebanyakan riwayat sesuai dengan Sa’id sendiri seperti riwayat-riwayat yang telah lalu.

          Sesungguhnya Hisyam bin Sa’ad telah mengikutinya pula. Tetapi di situ ia tidak menyebutkan kata-kata yang diisyaratkan tadi.

          Hadits itu telah ditakhrij oleh Ahmad (6/444) dari Hammad bin Khalid yang berkata: “Telah bercerita kepadaku Hisyam bin Sa’ad dari Utsman bin Hiyyan dan Ismail bin Ubaidillah dari Ummu Darda’ dari Abu Darda’.”

          Hisyam bin Sa’ad adalah tsiqah dan bagus haditsnya. Bahkan telah dipegang pula oleh Imam Muslim, seperti dalam haditsnya yang akan datang.

          Keempat: Bahwa hadits itu datang dari jalur lain yang berasal dari Ummu Darda’, di situ tidak disebutkan kata-kata tersebut (“di bulan Ramadhan”).

          Hadits itu telah ditakhrij oleh Imam Muslim (3/145), Ibnu Majah (1/510), Al-Baihaqi (5/425) dan Ahmad (5/194) dari beberapa jalur dari Hisyam bin Sa’ad dari Utsman bin Hayyan Ad-Dimasqy dari Ummu Darda’ dengan lafazh:

          “Sungguh engkau telah melihat kami bersama Rasulullah dalam beberapa perjalanannya.”

          Dalam riwayatnya terdahulu, Imam Ahmad menggabungkan Ismail bin Ubaidillah beserta Utsman bin Hayyan. Hisyam bin Sa’ad sungguh telah meriwayatkan hadits itu dari dua jalur yang berasal dari Ummu Darda’.

          Saya berpendapat: Dari empat bentuk ini tampak jelas bahwa sabda Nabi r  dalam riwayat Muslim “di bulan Ramadhan” adalah syad (janggal) dan tidak terdapat dalam hadits. Al-Hafizh Abdul Ghani Al-Muqaddisi telah salah menduga dalam ‘Umadatul Ahkam, dimana dia mencantumkan hadits itu (nomor 183) dengan versi Muslim disertai dengan tambahan tersebut, dan menegaskan bahwa tambahan itu telah disepakati oleh Asy-Syaikhain. Ia tidak mengatakan: “Lafazh kepunyaan Muslim.” Dan sayangnya saya tidak menemukan orang yang memahami keanehan ini. Tidak juga Al-Hafizh Ibnu Hajar, bahkan ia menyebutkannya dari riwayat Muslim dan mengatakan: “Dengan tambahan ini maka sempurnalah maksud pengambilan dalil (yakni diperbolehkannya berbuka bagi orang yang bepergian di bulan Ramadhan). Bahkan dia membatah Ibnu Hazem yang menduga bahwa hadits Abu Darda’ ini tidak bisa dipegangi, karena puasa yang dimaksud mungkin saja puasa sunnah.”

          Saya berpendapat: Sesungguhnya sanggahan tersebut tidak beralasan setelah kita mengetahui bahwa riwayat Muslim itu ada syad (janggal). Jika saja Al-Hafizh meneliti hadits tersebut berikut lafazh-lafazhnya, tentu tidak akan mengatakan seperti itu.

          Bahkan Ash-Shan’ani dalam Al-‘Iddah juga telah salah menduga terhadap hadits itu. Ia mempunyai praduga lain. Dia berkata (3/368): “Hadits ini ada dalam Muslim kepunyaan Abu Darda’. Juga dalam Al-Bukhari kepunyaan Ummu Darda’.

          Yang benar, sesungguhnya hadits itu sama saja antara kepunyaan Bukhari maupun Muslim, yakni sama-sama dari Musnad Abu Darda’. Hanya saja keduanya mentakhrij hadits itu dari Abu Darda’ dan Ummu Darda’.

          Itulah sanggahan terhadap Ibnu Hazem dengan hadits-hadits lain dari para sahabat yang telah kita ketengahkan. Demikian juga hadits berikut ini memberi sanggahan pula:

۱۹٢ - هِيَ رُخْصَةٌ ( يَعْنِي الْفِطْرَ فِي السَّفَرِ ) مِنَ اللهِ فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنُ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُوْمَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ

          “Ini adalah rukhsakh (yakni berbuka dalam bepergian) dari Allah. Barangsiapa mengambilnya maka baik. Dan barangsiapa suka berpuasa maka tidak ada dosa atasnya.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (3/145), An-Nasa’i (1/317) dan Al-Baihaqi (4/243) dari jalur Abu Mirwah yang diperolehnya dari Hamzah bin Amer Al-Aslami radiallahu anhu, dia berkata:

          “Wahai Rasulullah, aku cukup kuat untuk berpuasa di perjalanan, apakah aku berdosa?”Kemudian Rasulullah bersabda: (lalu perawi menyebutkan hadits itu).”

          Majduddin bin Taimiyyah dalam Al-Muntaqa menjelaskan:

          “Ini merupakan keutamaan yang kuat atas dalil berbuka.”

          Saya berpendapat: Segi argumentasinya adalah sabda beliau mengenai orang yang berpuasa: “Tidak ada dosa baginya”, yakni tidak ada dosa atasnya apabila tetap berpuasa. Sesungguhnya hal ini mengisyaratkan lebih baik berpuasa seperti yang telah jelas. Apalagi bila melihat sabda beliau mengenai orang yang berbuka; “maka itu baik”. Tetapi ini menurut saya bukan arti yang dimaksudkan. Wallahu a’lam.

          Penafian dosa dalam nash tentang sesuatu yang diperintahkan adalah menunjukkan bahwa ia boleh dilakukan dan tidak ada dosa bagi orang yang melakukannya. Adapun yang melakukannya, mendapat pahala atau tidak, adalah persoalan lain yang tidak mungkin diambil dari nash itu sendiri, melainkan harus dari nash-nash lain di luar itu. Persoalan ini hanya diketahui oleh orang yang jeli mengenai peniadaan dosa dari orang yang melakukannya. Dalam hal ini ada dua bagian ditinjau dari sisi maksudnya:

a.      Sebagian dimaksudkan meniadakan dosa saja dan sekaligus menjunjukkan sama antara melakukan dan meninggalkan. Inilah yang biasa, seperti sabda Nabi r :
۱۹٣-  خَمْسٌ مِنَ الدَّوَابِّ لَيْسَ عَلَى الْمُحْرِمِ فِي قَتْلِهِنَّ
جَنَاحَ الْغُرَابُ وَالْحَدَأَةُ وَالْفَأْرَةَ وَالْعَقْرَبُ وَالْكَلْبُ الْعَقُوْرُ
          “Lima binatang dimana orang yang sedang ihram tidak berdosa membunuhnya; gagak, elang, tikus, kalajengking dan anjing liar.”
         
          Hadits ini telah ditakhrij oleh Asy-Syaikhain, Imam Malik dan pemilik Sunan empat, kecuali At-Tirmidzi dan Ad-Darimi (2/36), juga oleh Al-Baihaqi dan Ahmad (2/8, 32, 37,48, 52, 54, 65, 82, 138) dari jalur yang berasal dari Ibnu Umar dengan riwayat marfu’.

b.    Sebagian yang lain bahwa yang dimaksudkan tiada dosa jika melakukan, sekaligus menunjukkan sebagai anjuran yang memiliki keutamaan. Bahkan terkadang wajib. Adanya nash meniadakan dosa di bagian ini adalah untuk menolak anggapan orang yang mengira berdosa jika melakukannya. Ini seperti hadits yang diriwayatkan Az-Zuhri dari Urwah yang menuturkan:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا
جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا

Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya.” (QS Al-Baqarah : 185)

“Demi Allah tidak ada bagi seorang pun bila ia tidak bersa’i di Shafa dan Marwa.” Aisyah berkata: “Sungguh alangkah buruknya apa yang engkau katakan itu wahai anak saudaraku, jika seperti yang engkau takwilkan itu.” “Tidak ada dosa baginya jika tidak mengerjakan sa’i antara keduanya.” Ayat ini diturunkan pada kaum Anshar. Mereka sebelum masuk Islam telah mengagungkan berhala Manat yang mereka sembah di Musyallal. Mereka menganggap berdosa bersa’i antara Shafa dan Marwah. Setelah mereka masuk Islam, mereka menanyakan hal itu kepada Rasulullah r “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menganggap dosa bersa’i antara keduanya.” Aisyah melanjutkan: “Sesungguhnya Rasulullah telah melakukan sa’i antara keduanya, maka tidak seharusnya seorang pun meninggalkan sa’i antara keduanya.”

Hadits ini ditakhrij oleh Al-Bukhari (1/414) dan Ahmad (6/144, 227).

Jika hal ini telah jelas, maka ucapan Nabi r “Barangsiapa suka berpuasa maka tidak ada dosa baginya” adalah tidak menunjukkan apa pun kecuali tidak adanya dosa bagi orang yang berpuasa. Dan di sini tidak ada tanda yang menunjukkan mana yang lebih utama antara berbuka atau berpuasa.

Akan tetapi telah dimaklumi bahwa berpuasa Ramadhan di perjalanan adalah ibadah dengan dasar bahwa Nabi r juga berpuasa ketika bepergian di bulan Ramadhan itu. Jadi hal itu merupakan anjuran kebaikan. Sehingga dengan demikian, maka berbuka yang dalam hadits itu dikatakan “baik” tidak menunjukkan ia lebih baik daripada berpuasa. Karena puasa juga lebih baik, seperti telah dimaklumi. Jadi hadits ini tidak menunjukkan lebih baik berbuka seperti yang diserukan itu, akan tetapi antara berbuka dan berpuasa adalah sama saja.

Hal ini diperkuat oleh hadits Hamzah bin Amer dari riwayat Aisyah:

          “Sesungguhnya Hamzah bin Amer bertanya kepada Rasulullah r, dia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini seorang yang bertutur-turut berpuasa. Apakah aku juga berpuasa dalam bepergian? Rasulullah r bersabda:

۱۹٤ - صُمْ إِنْ شِئْتَ وَأَفْطِرْ إِنْ شِئْتَ

          “Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Asy-Syaikhain juga lainnya dari Ashhabus-Sittah dan Ibnu Abi Syaibah (2/150/1) dari Abu Syaibah. Sementara Abu Al-Hafsh Al-Kinani juga meriwayatkannya dalam Al-Amali (17/1).

          Saya berpendapat: Agaknya Nabi r mempersilahkan untuk memilih antara dua hal tersebut. Dan beliau tidak mengutamakan satu atas lainnya. Keduanya (berpuasa dan berbuka) terangkum dalam satu kisah sehingga terlihat jelas bahwa hadits itu tidak menunjukkan keutamaan salah satunya.

          Syaikh Ali Qari dalam Al-Mirqal menyinggung bahwa hadits itu merupakan dalil keutamaan puasa.

          Tetapi yang benar adalah bahwa hadits itu mempersilahkan untuk memilih bukan menegaskan keutamaannya sebagaimana yang telah kami singgung tadi.

          Mungkin dasar mengutamakan berbuka atas puasa adalah hadits yang mengatakan:

          “Sesungguhnya Allah suka engkau mengambil kemurahan-Nya (rukhshah-Nya) sebagaimana Dia benci jika engkau mendurhakai-Nya. (Dalam suatu riwayat) Sebagaimana Dia suka engkau melaksanakan undang-undang-Nya.”

          Ini tentu tidak dapat dielakkan dari pembicaraan ini. Akan tetapi mungkin saja hal itu dikaitkan dengan orang yang tidak berdosa jika melakukan dan tidak berdosa pula jika mendatangi. Jika tidak maka rukhshah ini akan kembali kepadanya dengan maksud yang lain. Coba renungkan!”

          Adapun hadits:

مَنْ أَفْطَرَ فِى ( يَعْنِى السَّفَرِ ) فَرَخَّصَهُ وَمَنْ صَامَ فَالصَّوْم أَفْضَلُّ

          “Barangsiapa berbuka (yakni ketika bepergian), maka itu sebagai rukhshah dan barangsiapa berpuasa maka itu lebih utama.”

          Hadits ini syadz (menyimpang) dan tidak sah. Hadits ini diriwayatkan secara mauquf seperti yang saya terangkan dalam Al-Silsilah Al-Hadits Adh-Dha’ifah (nomor: 936). Seandainya hadits ini shahih tentu tidak ada unsur pertentangan ataupun penyimpangan. Karena itu harus ada ijtihad atau istimbath, yang dapat membebaskan hadits itu dari status mauquf, yakni dengan meneliti lebih jauh tentang apa yang telah saya sebutkan itu. Wallahu a’lam.
READ MORE - PUASA KETIKA BEPERGIAN

BAHAYA MENYAKITI TETANGGA


۱۹٠ - لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ .يَعْنِى أَمْرَأَةً تُؤْذِىْ جِيْرَا نَهَا بِى لِسَانِ  

          “Tidak ada kebaikan dalam dirinya. Ia adalah penghuni neraka. Yakni wanita yang menyakiti tetangganya dengan lidahnya.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (nomor 119), Ibnu Hibban (2054), Al-Hakim (4/166), Ahmad (2/440) dan Abubakar Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mu’addil dalam Al-Amali (6/1-2) dari jalur Al-A’masy, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Abu Yahya Maula Ja’udah bin Hubairah, dan dia berkata: “Aku mendengar Abi Hurairah berkata:

          “Dikatakan kepada Nabi r : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya si fulanah itu bangun malam dan puasa siang. Dia berbuat baik dan bersedekah, dan dia menyakiti tetangganya dengan lidahnya. Kemudian Rasulullah r bersabda: “Tidak ada kebaikanpadanya. Dia penghuni neraka. (Abu Hurairah) berkata: “Sedangkan si fulanah itu hanya bershalat wajib dan bersedekah dengan sepiring (bubur merah) dan tidak pernah menyakiti seorang pun juga.” Maka Rasulullah r bersabda: “Dia itu termasuk ahli surga.”

          Saya menilai: Sanad hadits ini shahih. Semua perawinya tsiqah dan terkenal, kecuali Abu Yahya, dimana Al-Hafizh telah memutihkannya dalam At-Tahdzib namun dia tidak menyebutkan ketsiqahannya dari seorang pun. Akan tetapi dalam At-Taqrib dia mengatakannya: “Maqbul (diterima haditsnya),” yakni lentur haditsnya. Dan bila hadits ini diriwayatkan darinya (Abu Yahya) maka cukup mengherankan.

          Sesungguhnya Ibnu Abi Hatim (4/2/457) telah meriwayatkan dari Ibnu Mu’in, di situ dia berkomentar: “Tsiqah.” Bahkan Ibnu Mu’in ini, juga dibuat hujjah oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan, kemudian dia mengatakan pula: “Tsiqah.” Hal ini diperkuat lagi dengan kenyataan Imam Muslim yang mentakhrij satu haditsnya, sebagaimana disebutkan dalam Tahdzibul Kamal.

          Hadits itu dikeluarkan oleh Al-Bazzar dan Ibnu Abi Syaibah, seperti dalam At-Targhib (4/235) dan dia menshahihkan sanadnya.
READ MORE - BAHAYA MENYAKITI TETANGGA

WAJIB MEMBUKA RAMBUT DALAM MANDI HAID


١٨٨ - اِنْقَضِيْ شَعْرَكِ وَاغْتلَسِلِي أَي فِي الْحَيْضِ
      
          “Bukalah rambutmu dan mandilah! Yakni dalam haid.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Musanaf (1/26/10: “Telah bercerita kepadaku Waqi’ dari Hisyam dari ayahnya dari Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi r berkata kepadanya sewaktu haid; (lalu perawi menyebutkan hadits ini).

          Hadits ini juga ditakhrij oleh Ibnu Majah (641) dari jalur Ibnu Abi Syaibah dari Ali bin Muhammad, keduanya berkata: “Telah bercerita padaku Waqi’ tersebut.”

          Saya berpendpat: Hadits ini sanadnya shahih menurut syarat Asy-Syaikhain. Menurut keduanya, hadits ini berkaitan dengan cerita Aisyah sewaktu haid dalam haji Wada’ dan Nabi r berkata kepadanya:

          “Bukalah kepalamu, sisirlah dan tahanlah dari umrahmu.”

          Dalam hadits itu tidak ada kata-kata “Mandilah!” Kata itu merupakan tambahan yang benar dengan sanad yang shahih. Dalam susunan kalimat Asy-Syaikhain memang menyimpan kata-kata itu, menskipun tidak dilafazhkan. Mungkin ini merupakan susulan As-Sanadi terhadap Al-Bushairi dalam Az-Zawaid. Hadits ini sanadnya tsiqah. As-Sanadi menegaskan: “Saya berkata: Hadits ini bukan dari Az-Zawaid, akan tetapi dapat ditemukan dalam Ash-Shahihain dan lain-lainnya.” Saya berkata: Masing-masing adalah benar. As-Sanadi adalah menjaga makna yang terkandung di dalamnya, sebagaimana yang telah diisyaratkan. Sedangkan Al-Bushairi menjaga lafazhnya. Tidak diragukan lagi, bahwa tambahan “Mandilah!” ini hanyalah tambahan menurut Asy-Syaikhain. Oleh karenanya Al-Bushairi mencantumkan serta membicarakan sanad dan ketsiqahannya. Bahkan ia menjelaskan keshahihannya sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Majd Ibnu Taimiyah dalam Al-Muntaqa. Wallahu a’lam.

          Sesungguhnya tidak ada pertentangan antara hadits ini dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Zubair bin Umair yang menceritakan:

          “Telah sampai kepada Aisyah bahwa Abdullah bin Amer memerintahkan kaum wanita manakala mandi supaya membuka kepalanya. Maka Aisyah berkata: “Alangkah mengherankan sekali Ibnu Amer ini. Ia memerintahkan agar mereka mencukur kepalanya? Sesungguhnya aku telah mandi dengan Rasulullah dari satu bejana dan aku tidak menambah siraman atas kepalaku dengan tiga siraman.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Imam Muslim (1/179), Ibnu Abi Syaibah (1/124/1-2) dan Al-Baihaqi (1/181) serta Imam Ahmad (6/43).

          Saya berpendapat: Antara kedua hadits ini tidak ada pertentangan karena dua hal sebagai berikut:

          Pertama: bahwa hadis yang pertama lebih shahih daripada hadits yang belakangan. Karena hadits yang belakangan ini meskipun ditakhrij oleh Imam Muslim namun Abuz-Zubair adalah mudallis.

          Kedua: Hadits yang pertama berlaku untuk kasus haid. Sedangkan hadits yang belakangan ini berlaku untuk kasus jinabat (mandi junub), sehingga keduanya bisa dikompromokan. Jadi dikatakan wajib membuka (rambut) sewaktu mandi haid, bukan mandi junub. Demikian menurut Imam Ahmad dan ulama salaf lainnya.

          Penyatuan ini adalah lebih tepat. Di samping itu ada hadits lain yang menguatkan hadits tersebut, yaitu dari Ummu Salamah yang menuturkan:

          “Saya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini wanita yang lebih ikal (rambut) kepalaku, apakah aku harus membukanya untuk mandi jinabat?” Beliau bersabda:

۱٨۹ - لاَ إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلٰى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ فَتَطْهُرِيْنَ .

          “Tidak. Kamu cukup membilas kepalamu tiga bilasan kemudian kamu alirkan air secara merata atas kamu, maka kamu suci.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 178), pemilik Sunan Al-Arba’ah. Abu Ali Al-Husain Ibnu Muhammad Al-Lihyani dalam Hadits-nya (Q. 123/1) , Ibnu Abi Syaibah, Al-Baihaqi (1/181) dan Imam Ahmad (6/289 dan 314-315) dari jalur Sufyan Ats-Tsauri dan Ibnu Uyainah. Sedangkan lafazh itu adalah kepunyaannya dan kepunyaan Ruh Ibnu Qasim serta ayahnya (yaitu As-Sukhtiyani) dari Ayub bin Musa dari Sa’id bin Abi Sa’id Al-Maqbari dari Abdullah bin Rafi’, budak yang dimerdekakan Ummu Salamah, dari Ummu Salamah yang mengisahkan: (kemudian perawi menyebutkan hadits ini).

          Hadits ini juga diriwayatkan dari Ats-Tsauri oleh dua orang tsiqah, yaitu Yazid bin Harun dan Abdurrazaq bin Haman. Dalam hal ini keudanya berbeda. Pertama riwayat Yazid bin Harun seperti riwayat Ibnu Uyainah, sedang Abdurrazaq bin Haman dalam haditsnya menyebutkan: (Apakah aku membukanya karena haid atau junub?).

          Di situ ada tambahan (jinabat). Maka saya melihatnya sebagai tambahan yang aneh, karena Abdurrazaq menyendiri dalam meriwayatkan. Dia memperolehnya dari Sufyan Ats-Tsauri tanpa dengan Yazid bin Harun. Seandangkan riwayat ini adalah lebih unggul, kerena sesuai dengan lafazh Ibnu Uyainah, Ruh bin Al-Qasim dan As-Sukhtiyani. Wallahu a’lam.

          Ibnul Qayyim telah membeberkan hal ini dalam At-Tahdzib dan menjelaskan mengenai kelangkaan tambahan ini. Siapa yang ingin mendalaminya silahkan memeriksanya (1/167).
READ MORE - WAJIB MEMBUKA RAMBUT DALAM MANDI HAID

MEMPELAJARI KITAB DAN BAHASA ORANG LAIN


۱٨٧ - تَعَلَّمْ كِتَابَ الْيَهُوْدِ فَإِنِّي لاَ آمَنُهُمْ عَلَى كِتَابِنَا

          Pelajarilah kitab Yahudi sesungguhnya aku tidak mempercayai sikap mereka terhadap kitab kita.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3645), At-Tirmidzi (2/119), dan Al-Hakim (1/75), dimana mereka menilainya shahih. Juga oleh Imam Ahmad (5/186) dan Al-Fakihi dalam Hadits-nya (1/14/2). Sedang lafazh tersebut adalah kepunyaannya. Sebuanya dari Abdurrahman bin Abiz Zinad yang diperoleh dari ayahnya dari Kharijah bin Zaid dari ayahnya yang menuturkan:

          “Telah memerintahkan kepadaku Rasulullah r agar aku mempelajari bahasa Suryani.”

          Saya menemukan, Imam Ahmad (182/5) dan Al-Hakim (3/422) terhadap hadits dari Jarir Al-A’masy tersebut telah disambungnya dengan lafazh:

          “Telah berkata kepadaku Rasulullah r : “Apakah kamu pandai bahasa Suryani?” Aku menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Pelajarilah, sesungguhnya kita banyak mendapatkan buku-buku (surat-surat).” Kemudian dia mempelajarinya dalam tujuh belas hari.” Al-Hakim menambahkan:

          “Al-A’masy berkata: “Telah datang kepada (Nabi) beberapa tulisan dimana beliau tidak ingin mempelajarinya, kecuali dari orang yang dapat dipercaya.” Al-A’masy menyatakan pula: “Hadits ini shahih jika Tsabit bin Ubaid mendengarnya dari Zaid bin Tsabit.”

          Saya katakan: Saya tidak tahu mengapa Al-Hakim menyangsikan apakah Tsabit benar-benar mendengar hadits ini dari Zaid. Padahal Tsabit adalah ayahnya yang seharusnya tidak perlu diragukan kebenarannya (tentang mendengarnya Tsabit dari Zaid). Ibnu Hibban dalam At-Tsiqat (1/6):

          Tsabit bin Ubaid Al-Anshary adalah orang Kuffah. Ia meriwayatkan dari Umar dan Zaid bin Tsabit. Ia juga meriwayatkan dari Ibnu Sirin dan Al-A’masy. Ia adalah tuan Zaid bin Tsabit.” Namun disinyalir bahwa pada Tsabit bin Ubain Al-Anshari yang dimaksudkan bukan Tsabit bin Ubaid tuan Zaid. Dalam kasus ini Abu Hatim membedakan keduanya dalam Al-Jarh Wat-Ta’dil (1/1/404). Kemudian Al-Hafizh dalam At-Tahdzib juga menyandarkan perbedaan ini kepada Ibnu Hibban pula dan itu hanya praduga. Bahkan apa yang telah saya nukil dari Ibnu Hibban baru saja menunjukkan tidak adanya perbedaan tersebut. Dan inilah yang dipegang oleh Al-Hafizh dalam At-taqrib. Namun baik yang ini maupun yang itu, keduanya adalah tsiqah. Jadi sanad hadits ini adalah shahih.

          Hadits ini oleh Al-Bukhari juga dicantumkan dalah Shahih-nya. Dia menjelaskan: “Telah berkata Al-Kharijiyah bin Zaid Ibnu Tsabit dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi r memerintahkannya agar mempelajari kitab orang Yahudi.”

          Al-Hafizh dalam Syarah-nya (13/161) menyebutkan:

          Sesungguhnya dia telah menyambungnya secara panjang lebar dalam kitabnya Kitabut-Tarikh.”

          Kemudian Ibnu Hajar menyebutkan jalur lain yang dipaparkan At-Tirmidzi dan mengatakan: “Jalur ini menurut saya unggul dimana disebutkan dalam Fatawa Hilalil Huffar. Dan juga telah ditakhrij oleh Imam Ahmad dan Ishaq dalam Musnad mereka, disamping juga oleh Abubakar Ibnu Abi Dawud dalam Kitabul Mushahif serta oleh Abu Ya’la, dimana menurutnya terdapat kalimat: Sesungguhnya aku menulis kepada suatu kaum lalu aku khawatir mereka menambah atau menguranginya. Maka pelajarilah bahasa Saryani,” lalu Abu Ya’la menyebutkan hadits itu. Dia juga mempunyai jalur lain yang telah ditakhrij oleh Ibnu Sa’ad. Namun semuanya menolak oranng yang menyangka Abdurrahman bin Abiz Zinad menyendiri dalam meriwayatkan. Benar, ia memang tidak meriwayatkan dari ayahnya yang berasal dari Kharijah, namun meriwayatkan dari Abdurrahman. Sehingga ia hanya menyendiri secara nisbi. Adapun kisah Tsabit mungkin sama dengan kisah Kharijah.

          Sesungguhnya keharusan mempelajari kitab orang Yahudi berarti mempelajari pula bahasa mereka. Sedangkan bahasa mereka adalah bahasa Suryani. Tetapi yang dikenal bahasa mereka adalah bahasa Ibrani. Jadi mungkin saja Zaid mempelajari dua bahasa sekaligus untuk keperluan itu.

          Saya berpendapat: Hadits ini nampak serupa dengan makna hadits Barangsiapa mempelajari bahasa suatu kaum, dia akan selamat dari tipu daya mereka.” Tetapi saya tidak tahu sama sekali mengenai lafazh hadits ini dan tidak seorang pun penulis hadits-hadits yang mencantumkannya. Seolah-olah hadits ini hanya terkenal baru-baru saja.

READ MORE - MEMPELAJARI KITAB DAN BAHASA ORANG LAIN

MENEBARKAN SALAM


١٨٣ -  إِذَا انْتَهٰى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُوْمَ فَيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ اْلأُوْلٰى بِأَحَقَّ مِنَ اْلآخِرَةِ .

          “Manakala salah seorang kamu telah sampai ke majelis, maka hendaklah dia memberi salam. Dan manakala ia hendak berdiri, maka hendaklah ia memberi salam. Tentu saja yang awal tidak lebih berhak daripada yang akhir.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (1007 dan 1008), Abu Dawud (5208), At-Tirmidzi (2/118), Ath-Thahawi dalam Al-Musykil (2/139), Ahmad (2/230, 287, 439), Al-Hamidi (1162), Abu Ya’la dalam Musnad-nya (Q. 306/1) dan Al-Fakihi dalam Hadits-nya dari Abi Yahya bin Abi Maisarah (1/5/2) dari Ibnu ‘Ajlan dari Sa’id Al-Maqbari dari Abu Hurairah secara marfu’. At-Tirmidzi berkomentar: “Hadits ini hasan.”

          Saya berpendapat: Sanadnya adalah jayyid. Semua perawinya tsiqah. Dan mengenai Ibnu ‘Ajlan, yang namanya adalah Muhammad, ada sedikit pembicaraan yang tidak membahayakan bagi ke-hujjah-an haditsnya. Apalagi ia juga diikuti oleh Yaqub Ibnu Zaid At-Tamiyyi dari Al-Maqbari. Sedangkan At-Tamiyyi adalah tsiqah, maka hadits ini jelas shahih. Wal hamdulillah, dia juga mempunyai beberapa syahid (hadits pendukung) sebagaimana akan disebutkan.

          Hadits ini juga telah didukung oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami’ ush-Shaghir dan Al-Kabir (1/45/1), Ibnu Hibban di samping Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Kemudian As-Suyuthi itu juga mendukungnya di tempat lain selain dalam Al-Kabir (1/21/1) kepunyaannya Ibnu Sunni, yaitu tepatnya dalam ‘Amalun Yaum Wal Lailah. Demikian pula dengan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Saya tidak melihatnya dalam Al-Mustadrak setelah saya menelitinya dalam Al-Birri dan As-Sillah serta Al-Adab. Wallahu a’lam.

          Termasuk hadits pendukung itu adalah hadits yang ditakhrij oleh Ahmad (3/438) dari jalur Ibnu Luhai’ah yang memberitakan: “Telah bercerita kepadaku Zuban, dari Sahel bin Mu’adz, dari ayahnya, dari Rasulullah r yang bersabda:

          “Adalah keharusan bagi orang yang berdiri mendatangi majelis untuk memberi salam kepada mereka. Dan adalah keharusan bagi orang yang beridiri hendak meninggalkan majelis untuk memberi salam pula.” Kemudian seseorang berdiri ketika Rasulullah r tengah berbicara dan orang yang berdiri itu tidak memberikan salam hingga Rasulullah r  bersabda: “Alangkah cepatnya melupakan sesuatu.”

          Saya berpendapat: Hadits ini sanadnya dha’if. Tetapi tidak mengapa la ba’sa bih) sebagai hadits pendukung. Hadits ini juga dikuatkan oleh Al-Bukhari yang mentakhrijnya dalam Al-Adab Al-Mufrad (1009) dari jalur lain yang berasal dari Bustham. Bustham menuturkan: “Aku mendengar Mu’awiyah bin Qurrah berkata: “Telah berkata kepadaku ayahku:

          “Wahai anakku, jika engkau dalam suatu majelis dimana engkau mengharapkan kebaikannya, kemudian engkau terdesak oleh suatu keperluan, maka katakanlah: “Salam sejahtera atas kamu,” maka sesungguhnya engkau akan menyertai mereka pada apa yang mereka dapatkan dalam majelis itu. Tidak ada suatu kaum yang duduk di suatu majelis kemudian mereka meninggalkannya dan mereka tidak mengingat Allah, kecuali seolah-olah mereka bubar dari bangkai himar.”

          Hadits ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah. Meskipun mauquf namun dihukumi marfu’ karena tidak dikatakan berdasarkan pendapat. Apalagi kebanyakan orang menilainya shahih secara marfu’ hadits pertama dari Abi Hurairah ini. Dan yang lain juga dari haditsnya pula, sebagaimana dapat kita lihat dalam nomor (77) dan sebaiknya teliti pula hadits-hadits sebelum dan sesudahnya.

          Salam ketika meninggalkan majelis adalah suatu adab kesopanan yang mulai banyak ditinggalkan di sebagian negeri. Bahkan terkadang oleh orang yang berilmu, dan para peminatnya. Sepatutnya manakala hendak memasuki ruang belajar, mereka memberikan salam terlebih dahulu. Demikian pula bila hendak keluar. Yang pertama tidak lebih utama dari yang akhir. Oleh karena itu menyebutkan salam adalah diperintahkan seperti juga di dalam hadits berikut ini:

١٨٤ – إِنَّ السَّلاَمَ اِسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ تَعَالٰى وَضَعَهُ فِي اْلأَرْضِ فَأَفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ .
          “Sesungguhnya salam adalah nama dari nama-nama Allah I Ia meletakkannya di bumi. Maka sebarkanlah salam di antara kamu.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (989): “Telah bercerita kepadaku Syihab, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Hammad bin Salmah, dari Hamid dari Anas, yang menuturkan: Telah bersabda Rasulullah r: (kemudian perawi menyebutkan hadits tersebut).”

          Saya berpendapat: Hadits ini sanadnya shahih. Semua perawinya tsiqah, yakni perawi-perawi Asy-Syaikhain kecuali Hammad bin Salmah, dia hanya perawi Muslim, bukan Asy-Syaikhain.

          Hadits ini juga mempunyai syahid dari hadits Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan secara marfu’.

          Hadits itu dikeluarkan oleh Abusy-Syaikh dalam Ath-Thabaqat (47/295) dari jalur Abdullah bin Umar, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Yahya bin Sa’id dari Al-A’masy dari Zaid bin Wahab dari Abdullah. Selanjutnya Abusy-Syaikh berkata: “Abdullah bin Umar menyendiri dalam meriwayatkannya.”

          Saya menemukan: Dia adalah Abdullah bin Umar bin Yazid Az-Zuhri.

          Abusy-Syaikh menjelaskan: “Ia diberi Kunyah Abu Muhammad dan menjadi Wali Qadhi di Kurkh, menetap di sana dan meninggal pada tahun 252 H. Riwayatnya tersebut merupakan riwayat dari Yahya, Abdurrahman, Ruh, Hammad bin Sa’adah, Muhammad bin Bakar, Abu Qutaibah dan lain-lainnya. Dia memiliki banyak karya tulis, disamping juga mengetengahkan hadits-hadits yang tidak menyendiri periwayatannya.”

          Kemudian Abusy-Syaikh mendukungnya dengan beberapa hadits. Yang pertama adalah dicantumkan oleh Ibnu Abi Hatim (2/2/111) dan di sini dia tidak menyebutkan adanya cacat.

          Saya berpendapat: Seseorang minimal akan mendukungnya jika tidak menjadikannya sebagai hujjah. Dan dalam kasus Abdullah bin Umar ini, hadits-hadits yang telah disebutkan oleh Abusy-Syaikh tidak ada yang diigkari. Wallahu a’lam.

          Hadits ini juga telah dicantumkan oleh Al-Mundziri dalam At-Targhib (3/267-268) dengan tambahan:

          “Sesungguhnya seorang muslim manakala lewat suatu kaum hendaklah memberikan salam kepada mereka, kemudian mereka menjawabnya, maka bagi dia atas mereka mendapat keunggulan derajat karena ia memperingatkan mereka dengan salam. Jika mereka tidak menjawabnya, maka orang lain yang lebih baik dari mereka telah menjawabnya.”

          Selanjutnya Al-Mundziri mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani. Sedangkan salah satu sanad Al-Bazzar adalah jayyid (bagus) dan kuat.”

          Dalam bab ini ada juga hadits dari Abu Hurairah yang senada dengan hadits Anas.

          Hadits ini ditakhrij oleh Al-Aqili seperti dalam Al-Jami’ul Kabir (1/159/1).

          Jadi, hadits itu adalah shahih tidak diragukan lagi. Banyak hadits shahih yang juga memerintahkan menyebarkan salam. Sebagian ada dalah kitab Ash-Shahih. Dan saya telah memilih hadits ini di antaranya, karena hadits ini memang tidak ada dalam Ash-Shahih, sekalipun sanadnya shahih. Lebih-lebih telah didukung oleh beberapa hadits syahid sebagaimana tersebut. Sehingga saya tertarik untuk menjelaskannya.

          Perlu diketahui bahwa beberapa perintah menyebarkan salam amat luas lingkupnya, namun hanya sebagian kecil orang yang menyempitkannya, karena mereka tidak mengetahui bahwa itu sunnah atau memang karena malas mengamalkannya.

          Termasuk di antaranya adalah memberi salam kepada orang yang sedang shalat. Banyak orang mengira bahwa hal itu tidak dianjurkan. Bahkan Imam Nawawi dalam Al-Adzkar menyebutnya makruh. Padahal dalam Syarah Muslim dijelaskan bahwasanya menjawab salam dengan isyarat adalah sunnah. Bahkan banyak hadits yang menjelaskan salam para sahabat terhadap Nabi r ketika beliau sendang shalat, sedangkan beliau membiarkan mereka demikian. Di sini saya akan sebutkan salah satu hadits itu. Yakni hadits Ibnu Umar yang menuturkan:

١٨٥ -  خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلٰى قُبَاءَ يُصَلِّيْ فِيْهِ فَجَاءَتْهُ اْلأَنْصَارِ فَسَلَّمُوْا عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي قَالَ : فَقُلْتُ لبِلاَلٍ كَيْفَ رَأَيْتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِيْنَ كَانُوْا يُسَلِّمُوْنَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي؟  قَالَ : يَقُوْلُ هٰكَذَا . وَبَسَطَ كَفَّهُ وَبَسَطَ جَعْفَرُ بِنْ عَوْنٍ كَغَّهُ وَجَعَلَ بَطْنَهُ أَسْفَلَ وَجَعَلَ ظَهْرَهُ إِلٰى فَوْقَ .
          “Rasulullah r  keluar ke Quba’ bershalat di situ. Kemudian orang-orang Anshar datang padanya. Mereka memberikan salam kepadanya. Perawi mengatakan: “Kemudian aku berkata kepada Bilal: “Bagaimana kamu melihat Rasulullah r menjawab salam mereka ketika mereka memberikan salam kepadanya sedangkan beliau sendang shalat?” Perawi melanjutkan: “Bilal berkata: “Demikian,” sambil dia membuka telapak tangannya. Dia menjadikan bagian dalamnya di bawah dan bagian atas telapak tangannya di atas.”

          Hadits ini ditakhrij oleh Abu Dawud (927), dengan sanad jayyid dan ditakhrij oleh seluruh penulis As-Sunan. At-Tirmidzi berkomentar (2/204): “Hadits ini hasan shahih.”

          Hadits ini juga mempunyai sanad lain yang berasal dari Ibnu Umar, yang disebutkan dalam Al-Musnad (2/30) dan di dalam kitab dari Ibnu Umar.

          Sedang sanadnya adalah shahih menurut syarat Asy-Syaikhain.

          Ada dua orang Imam yang juga memiliki hadits ini. Mereka adalah Imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawih. Al-Mundziri dalam Al-Masail (hal. 22) menuliskan:

          “Saya berkata (yakni kepada Ahmad): “Apakah perlu memberikan salam kepada suatu kaum saat mereka sedang shalat?” Ahmad berkata: “Ya.” Kemudian dia menyebutkan kisah Bilal ketika ditanya oleh Ibnu Umar, “Bagaimana beliau menajwab?  Bilal menjawab: “Dengan memberi isyarat.” Ishaq berkata: Sebagaimana Bilal menjelaskan (dalam hadits di atas).

          “Memberi isyarat dalam shalat untuk menjawab salam adalah karena ada perintah yang turun sewaktu shalat. Terkadang memang ada suatu keperluan terhadap seseorang yang sedang shalat. Mengenai isyarat untuk menjawab salam, telah terdapa atsar yang shahih sebagaimana perbuatan Nabi r di Quba dan lain-lainnya. Bahkan ketika saya di majelis Ath-Thurthusyi dimana kami sedang bermudzakarah mengenai suatu masalah, kami menyinggung dan berpegang pada hadits itu. Seseorang di akhir pertemuan itu berdiri dan berkata: “Mungkin saja beliau menjawab mereka adalah untuk melarang agar mereka tidak mengganggunya.” Sungguh saya terkejut terhadap pemahaman itu. Kemudian setelah itu saya melihat bahwa maksud hadits itu menurut perawi adalah menjawab salam dalam bab ini adalah wajib, seperti yang telah kita jelaskan dalam Ushul Fiqih.”

          Yang mengherankan adalah bahwa An-Nawawi disamping ia menjelaskan dalam Al-Adzkar bahwa memberi salam terhadap orang yang shalat adalah makruh, ternyata di tempat lain juga mengatakan sebagai berikut: “Disunnahkan menjawab salam dalam shalat dengan isyarat dan tidak mengucapkan sesuatu.”

          Saya berpendapat: Yang mengherankan adalah bahwa hukum sunnat menjawab di sini juga berlaku dalam memberikan salam. Karena dalil dari dua perkara ini adalah sama. Baik dari hadits ini atau yang semakna dengannya. Jika ada dalil yang menunjukkan sunnat menjawab tentu hal itu dengan sendirinya juga menunjukkan sunnat memberi salam. Jika hal itu makruh, tentu telah dijelaskan oleh Rasulullah r walaupun dengan tidak memberikan isyarat menjawab. Padahal telah ada kaidah bahwa mengakhirkan keterangan sewaktu diperlukan adalah tidak diperbolehkan. Dan ini merupakan suatu keterangan yang cukup jelas.

          Disamping itu memberi salam kepada muadzin dan orang yang sedang membaca Al-Qur’an juga diperintahkan. Alasannya seperti di muka. Jika salam kepada orang yang sedang shalat saja diperintahkan, tentu akan lebih dianjurkan pula salam kepada orang yang adzan dan membaca Al-Qur’an. Saya ingat, saya pernah membaca suatu hadits dalam Al-Musnad bahwa Nabi r memberi salam terhadap jama’ah yang sedang membaca Al-Qur’an. Sebenarnya saya tertarik untuk mengetengahkan dan membicarakan sanadnya, akan tetapi agak kurang tepat kalau sekarang.

          Lalu apakah keduanya memjawab salam dengan lafazh atau isyarat? Yang jelas dengan lafazh. Sebagaimana An-Nawawi telah berkata:”Adapun muadzin tidak makruh menjawab salam sebagaimana biasa. Karena hal itu sedikit dan mudah. Tidak sampai membatalkan adzan atau merusaknya.”

          Termasuk lagi adalah berungkali salam setelah berpisah walaupun sejenak. Karena Nabi r telah bersabda:

١٨٦ -  إِذَا لَقِيَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ فَإِنْ حَالَتْ بَيْنَهُمَا شَجَرَةٌ أَوْ جِدَارٌ أَوْ حَجَرٌ ثُمَّ لقيه فَلْيُسَلِّمُ عَلَيْهِ أَيْضًا

          “Jika salah seorang kamu berjumpa saudaranya hendaklah ia memberi salam kepadanya. Jika di antara keduanya terhalang oleh pohon, dinding atau batu kemudian ia berjumpa lagi dengannya, hendaklah ia memberi salam lagi kepadanya.”

          Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (5200) dari jalur Ibnu Wahab yang memberitahukan: “Telah mengabarkan kepadaku Mu’awiyah Ibnu Shalih yang diperolehnya dari Abu Musa, dari Abi Maryam, dari Abu Hurairah yang menuturkan: “Jika berjumpa…” Mu’awiyah berkata: “Dan telah bercerita pula kepadaku Abdul Wahab bin Bakher dari Abiz Zinal dari Al-A’raj dari Abu Hurairah, dari Rasulullah r mengenai hadits serupa itu.

          Saya berpendapat: Sanad marfu’ itu adalah shahih. Semua pewatinya juga tsiqah. Adapun sanad mauquf, di situ terdapat Abu Musa, dimana dia adalah majhul (tidak dikenal). Bahkan sebagian mereka menggugurkannya dari sanad. Kemudian Abdullah bin Shalih juga meriwayatkannya, dia berkata: “Telah bercerita kepadaku Mu’awiyah dari Abu Maryam dari Abu Hurairah dengan riwayat yang mauquf.”

          Hadits ini telah ditakhrij oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (1010) dan Abdullah bin Shalih di sini dha’if, tidak dapat dipegangi. Terutama jika ada perselisihan mengenai dia. Tetapi hadits ini juga telah ditakhrij oleh Abu Ya’la (1/287) dari Ibnu Shalih dengan sanad sebagai berikut: Dari Ibnu Shalih, dari Mu’awiyah Ibnu Shalih dari Abdul Wahab bin Bakher seperti riwayat Ibnu Wahab Al-Marfu’ah. Inilah yang lebih shahih. Sesungguhnya para sahabat telah melakukan seperti yang terdapat dalam hadist shahih ini. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad telah meriwayatkan (1011) dari Adh-Dhahak bin Nibrus Abil Hasan dari Tsabit dari Anas bin Malik:

          “Sesungguhnya para sahabat Nabi r berjoging. Kemudian mereka dihadapkan pada pohon, maka sebagian mereka berjalan melewati sebelah kanan dan sebagian lagi berjalan melewati sebelah kiri. Manakala mereka bertemu, sebagian memberi salam kepada sebagian yang lain.”

          Saya melihat: Adh-Dhahak di sini layyin (lentur) haditsnya. Tetapi oleh Al-Mundziri (3/268) dan Al-Haitsami (8/34), disandarkan kepada Ath-Thabrani dalam Al-Ausath, keduanya mengatakan: “Sanadnya adalah hasan.”

          Saya tidak tahu apakah sanad itu dari jalur lain atau memang dari jalur ini. Kemudian sanad tersebut muncul dengan lafazh sebagai berikut:

          “Kami sedang berjalan dengan Rasulullah, kemudian di antara kami terhalang oleh pohon. Manakala kami berjumpa, maka sebagian kami memberi salam kepada sebagian yang lain.”

          Kemudian saya juga melihatnya dalam “Amalun Yaum Wal Lailah” karya Ibnus Sunni (241) dari jalur-jalur yang berasal dari Hammad bin Salamah: “Telah bercerita kepadaku Tsabit dan Hamid dari Anas tersebut. Dan ini sanadnya juga shahih.

          Hadits ini juga didukung oleh hadits yang masyhur dari Abu Hurairah:

          “Sesungguhnya Rasulullah r masuk masjid, Kemudian masuk pula seseorang lalu shalat. Kemudian orang itu menghampiri lalu memberikan salam kepada Rasulullah r Rasulullah r menjawab, beliau bersabda: “Kembalilah dan shalatlah sesungguhnya kamu belum shalat.” Lelaki itu pun kembali lalu shalat sebagaimana beliau bershalat. Kemudian dia datang kepada Nabi r dan memberikan salam kepadanya. (ia malakukan demikian ini sampai tiga kali).”

          Hadits ini telah ditakhrij oleh Asy-Syaikhain maupun lainnya. Hadits ini dipegangi pula oleh Shiddiq Hasan Khan dalam Nuzulul Abrar (350-251) bahwasanya:

          “Manakala seseorang telah memberi salam kepada saudaranya lalu berpisah sebentar kemudian berjumpa, maka disunnahkan pula untuk memberi salam lagi yang kedua atau ketiga.”

          Di sini menunjukkan dianjurkannya salam kepada orang di dalam masjid. Seperti cerita salam orang Anshar kepada Nabi r di masjid Quba. Namun bersama ini kita melihat pula orang yang meremehkan sunnah. Mereka masuk masjid dan tidak mau memberikan salam kepada orang yang di dalamnya. Mereka mengira hal itu adalah makruh. Semoga tulisan ini menjadi peringatan bagi saya dan bagi mereka pula. Sesungguhnya peringatan itu memberikan manfaat bagi kaum mukminin.
READ MORE - MENEBARKAN SALAM
Biografi dan Profil Tokoh TerkenalRumah Yatim, Anak Yatim, Panti Yatim, Panti Asuhan, Panti Sosial, Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, Baitul Maal, Sedekah, Zakat, Infaq, Wakaf, Hibah, Donatur, Badan, Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat, Dompet Peduli, Pondok Yatim, Pecinta YatimToko Online Aksesoris wanita no.1 di Indonesia-Aini's CollectionFree automatic backlinks exchangeAuto Backlink Gratis Indonesia : AUTO BACKLINK Teralis, Railing Tangga, Railing Balkon, Kanopi, Pintu Besi, Pintu Pagar, Pagar Besi, Pintu Garasi, Tangga BesiALAT BANTU SEX- OBAT KUATDaftar PTC Indonesia pilihan yang selalu membayar Ptc indonesia terbaru,ptc indonesia terpercaya,daftar ptc terpercaya,list ptc indonesia terpercaya,situs ptc indonesia yang bisa dipercaya Free Automatic Backlinks ExchangesFree Automatic Backlinks ExchangesFree Automatic Backlinks ExchangesAqillah Aziz indian classifieds, india classified ads, free classified ads, buy sell free classifieds from india, classified yellow pages, indian ads, post free ads, indian advertisements, free advertising, post sell ads, post buy ads, free job postings, free matrimonial ads, car classifieds, auto classifieds, used stuff, local ads, ads for sale, local classifieds india, click india, property for sale, sell used cars, education institutes, travel deals, mumbai real estate, new delhi restaurants, hotels in bangalore, online classifieds india, buy sell free classifieds, online ads, free ads, indian ads, where can i post free ads, post free business ads, post free employment ads, free online ads posting, how to post free ads, post free banner ads, post free ads internet, free business advertising, local classified ads, free internet classified ads, post free dog ads, placing free ads online, free online advertising sites, where to place free classified ads, used cars classified ads, submit free classified ads, sites to post ads for free, kijiji, free classifieds nyc, post free classified ads no registration, sell car free ads, free online advertising sites, autos, ads for, one india, free classifieds in keralagrahafenomenahati. ALBUM KELUARGA H.M SOEKARNO Rt.04/03 PATIKRAJADownload Mp3 Lagu Religi Mawar Biru Keris adalah budaya asli Indonesia BACKLINK OTOMATIS GRATIS Fenomena Hati . download-aplikasi-gratisbanyumas Pustaka Link Fenomena Hati download-aplikasi-gratisbanyumasdownload-aplikasi-gratisbanyumasSAHABAT UNGU Ciptaan Terbaik Tuhan
Ratu Galunggungarinmawarbirukita download-aplikasi-gratisbanyumas
Kumpulan Artikel Islamiperjalananjihad Daftar Lagu Islami Desa Patikraja. Solusi hosting gratis dari Google Code CHANNEL---TV---DESA PATIKRAJA 10 000 000 Backlinks. 10 000 000 Backlinks. Bunda Watie  Link Exchange/Tukar Link. Media-Aisah Bella  Arin Mawar Rindu (Puisi Biru)Link Exchange/Tukar Link. CHANNEL---TV---Ugiarti Pratiwi AISAH BELLA Exchange/Tukar Link. CHANNEL---TV---AISAH BELLA  Bunda Watie  Link Exchange/Tukar Link. Majalah Roro Mendot  cewek cantik Indonesia   Arin Mawar Rindu (Puisi Biru)Link Exchange/Tukar Link. Bunda Watie  Link Exchange/Tukar Link. NYAI Roro Mendot-AISAH BELLA  AISAH BELLA Exchange/Tukar Link.

submit your site