Minggu, 22 Juli 2012
Sabtu, 21 Juli 2012
Jumat, 20 Juli 2012
SKB Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013 Ditandatangani
Jakarta (Pinmas)—Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang hari libur nasional dan cuti bersama tahun 2013. SKB tersebut ditandatangani Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, dan Sekjen Kemenag Bahrul Hayat mewakili Menteri Agama, di kantor Kemenko Kesra, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (19/7)
Menurut Menko Kesra Agung Laksono, kebijakan cuti bersama bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja serta meningkatkan sektor pariwisata dalam negeri.
Agung Laksono menambahkan, cuti bersama merupakan kompensasi bagi PNS yang kesulitan mengambil waktu cuti namun tetap mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Misalnya seperti perbankan, RS dan sektor pelayanan publik lain, yang pengaturannya diserahkan pada manajemen kantor masing-masing.
“Setiap PNS hak cutinya 12 hari. Namun kebijakan itu diatur PNS itu sendiri. Bahwa hari libur nasional tahun 2013 yakni 14 hari dan cuti bersama 2013 yakni 5 hari,” kata Agung.
Berikut daftar hari libur nasional 2013:
1. Tahun Baru 2013 pada Selasa 1 Januari
2. Maulid Nabi Muhammad pada Kamis 24 Januari
3. Tahun Baru Imlek 2564 pada Minggu 10 Februari
4. Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1935 pada Selasa 12 Maret
5. Wafat Isa Almasih pada Jumat 29 Maret
6. Kenaikan Isa Almasih pada Kamis 19 Mei
7. Hari Raya Waisak 2557 pada Sabtu 25 Mei
8. Isra’ Mi’raj pada Kamis 6 Juni
9. Hari Kemerdekaan RI pada Sabtu 17 Agustus
10. Hari Raya Idul Fitri pada Kamis 8 Agustus dan Jumat 9 Agustus
11. Hari Raya Idul Adha pada Selasa 15 Oktober
12. Tahun Baru 1435 H pada Selasa 5 November
13. Hari Raya Natal Rabu 25 Desember
Sedangkan cuti bersama tahun 2013:
1. Cuti bersama Hari Raya Idul Fitri pada Senin 5 Agustus, Selasa 6 Agustus dan Rabu 7 Agustus
2. Cuti bersama Hari Raya Idul Adha pada Senin 14 Oktober
3. Cuti bersama Hari Raya Natal pada Kamis 26 Desember .
READ MORE - SKB Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013 Ditandatangani
Pemerintah Tetapkan Awal Ramadhan 1433H, Sabtu 21 Juli 2012
Jakarta (Pinmas)—Pemerintah melalui Kementerian Agama menetapkan awal puasa Ramadhan 1433 Hijriyah jatuh pada hari Sabtu, 21 Juli 2012. Keputusan tersebut merupakan hasil sidang itsbat yang berlangsung di auditorium Kementerian Agama Jalan MH Thamrin No.6, Jakarta, Kamis (19/7) petang.
Sidang penetapan awal Ramadhan yang dipimpin Menteri Agama Suryadharma Ali dihadiri Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Maruf Amin, Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Wahyu Widiana, Wakil Ketua Komisi VIII DPR-RI Jazuli Juwaini, Sekjen Kemenag Bahrul Hayat, Dirjen Bimas Islam Abdul Jamil, pimpinan ormas-ormas Islam, duta besar negara sahabat, dan anggota Badan Hisab dan Rukyat Kemenag.
“Sesuai laporan tadi dan pencermatam pertimbangan yang dilakukan di berbagai tempat tadi, bahwa hilal tidak bisa dilihat. Oleh karenanya, 1 Ramadan 1433 H jatuh pada hari Sabtu 21 Juli 2012,” ujar Menteri Agama Suryadarma Ali.
Keputusan itu setelah mendengar pembacaan laporan rukyatul hilal (pengamatan bulan baru) oleh Ketua Badan Hisab dan Rukyat yang juga Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Binmas), Kementerian Agama, Ahmad Jauhari.
“Laporan rukyat yang masuk ke pusat sebanyak 38 lokasi. Semuanya menyatakan tidak melihat hilal,” ujar Jauhari. Titik lokasi pemantauan antara lain Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo, Sultengara, Sulut, Sultengah, NTT, Bali, NTB, Sulsel, Mamuju, Kaltengah, Kaltim, Kalbar, Kaltim, Kalsel, Jatim, DIY, Jateng, hingga Aceh.
Ahmad Jauhari juga menyebutkan bahwa perhitungan data hisab yang dihimpun oleh Direktorat Jendral Bimas Islam di beberapa titik pemantauan di seluruh Indonesia menyatakan bahwa ijtima menjelang Ramadhan 1433H jatuh pada Kamis 19 Juli 2012, pukul 11.24 menit WIB bertepatan dengan 29 Syaban 1433H
Sebelumnya, perwakilan ormas juga ikut mengobservasi penampakan hilal. Observasi itu bisa disaksikan di layar yang dipasang di lantai dua gedung utama kantor Kementerian Agama , Jl MH Thamrin Jakarta Pusat, sejak pukul 17.00 WIB, Kamis (21/7). Mereka melihat titik-titik observasi hilal di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia lewat layar.(ks)
READ MORE - Pemerintah Tetapkan Awal Ramadhan 1433H, Sabtu 21 Juli 2012
Memahami Hilal dan Posisi Bulan Melalui Perhitungan dan Pengamatan
Jakarta (Pinmas) — Direktur Observatorium Bosscha periode 1999 – 2004, Moedji Raharto mengajak semua pihak untuk memahami hilal dan posisi bulan melalui perhitungan dan pengamatan. Ajakan ini dia sampaikan ketika mengikuti Sidang Itsbat Penetapan Awal Ramadlan di Auditorium Kemenag, Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta, Rabu (19/07).
“Mari kita memahami tentang hilal dan posisi bulan, baik secara perhitungan maupun pengamatannya,” ajak Moedji.
Menurutnya, posisi bulan dalam sejarah astronomi, memang yang paling sukar ditentukan. Perlu belajar menghitung bulan secara presisi. Kekeliruan sedikit, bisa menimbulkan kesalahan.
Senada dengan itu, T. Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika LAPAN, menyarankan agar kriteria yang digunakan dalam menetapkan visibilitas hilal sebaiknya lebih astronomis sehingga bisa sama.
“Jika kriterianya sudah bisa disamakan, kita bisa membuat kalender Hijriyah, bahkan sampai 10 tahun yang akan datang,” ujar Djamal.
Pentingnya kesamaan kriteria juga ditegaskan oleh Tim Badan Hisab Rukyat Kemenag, Cecep Nurwendaya. Dalam presentasinya tentang posisi hilal Ramadlan 1433 H, Cecep menjelaskan bahwa ketinggian hilal sangat kritis, karena kurang dari 2 derajat. Untuk itu, penetapannya sangat tergantung pada kriteria yang akan digunakan.
“Secara astronomi, hilal tidak akan terlihat di seluruh wilayah Indonesia,” kata Cecep.
Menurut Cecep, seluruh wilayah Indonesia sudah mengalami ijtima’ sebelum terbenamnya matahari. Untuk wilayah Indonesia bagian barat, ijtima’ terjadi pada 11.24 WIB hari Kamis, 19 Juli 2012. Artinya, di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenamnya matahari, ketinggian hilal sudah positif (hilal sudah ada di atas ufuk). Hanya ketinggiannya sangat rendah, kurang dari 2 derajat.
Posisi hilal tertinggi diperkirakan ada di Pelabuhan Ratu dengan ketinggian antara 1,24 – 1,69 derajat. Umurnya juga baru 6 jam 28 menit 32 detik dan kekuatan cahayanya baru 1/2,38 juta kali kuat cahaya matahari.(mkd)
READ MORE - Memahami Hilal dan Posisi Bulan Melalui Perhitungan dan Pengamatan
BUDAYA KITA NYARIS KEHILANGAN BUDAYA MALU
Jakarta (Pinmas)—Bangsa Indonesia nyaris kehilangan budaya malu, disebabkan untuk mengukur kemajuan atau sukses suatu bangsa lebih menggunakan pendekatan pada sumber daya, kesukuan dengan menjauhkan budaya hidup positif dalam kehidupan sehari-hari.
Sukses suatu organisasi, negara dan seseorang sesungguhnya juga ditentukan pada budaya hidup, bukan pada kemampuan tingkat kecerdasan, warna kulit dan sumber daya alam yang dimiliki, kata trainer leadership Imam Muhtadi pada pelatihan pembinaan mental bagi pegawai Biro Kepegawaian Kementerian Agama di Hotel Salak, Bogor, Kamis. Sekitar 150 orang hadir pada kegiatan itu,.
Imam Muhta menambahkan, Budaya hidup sangat menentukan bagi kemajuan suatu bangsa. Budaya malu perlu dikedepankan, sebab seberapa besar tingkat kesalahan seseorang akan mempengaruhi kinerja suatu organisasi. Jika yang bersangkutan salah, lantas mundur dan melepas jabatannya merupakan sikap terpuji sebelum ke depannya merugikan banyak orang,
Hal itu bisa dilihat dari budaya malu di Jepang. Orang setingkat menteri saja mundur karena berbuat salah. Tanpa diminta. Bahkan ada yang melakukan harakiri atau bunuh diri, karena budaya malu demikian kuat. Di negeri itu juga orang menghormati orang tua, di kantor maupun di rumah.
Jika dilihat dari fenomena yang ada di tanah air, budaya malu benar-benar diabaikan. Seseorang baru mundur dan melepaskan jabatannya setelah masuk bui. Dipaksa untuk mundur. Padahal, dalam Islam, mengejar jabatan sangat dijauhkan. Karena jabatan yang diemban itu melekat tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya. Amanah itu harus dipertanggungjawabkan, katanya.
Sukses seseorang atau suatu negara, lanjut Imam, juga bukan tergantung pada warna kulit, usia dan kepandaian. Negara Mesir tergolong tua, warganya juga banyak yang pandai. Tapi, jika dilihat dan dibanding negara lain, Mesir ternyata tak tergolong negara maju-maju amat, kata trainer asal Kwitang, Jakarta itu.
Kunci sukses, kata dia, harus ikhlas dalam menjalani hidup. Harus bijak dalam mengelola pikiran dan berfikir selalu terbuka (open mind), hindari komplain, banyak bersyukur, respek pada orang lain dan tumbukan kebersamaan dalam bekerja.
Sementara itu, Kepala Biro Kepegawaian Dr. H. Mahsusi MM dalam sambutannya seusai mendengarkan ceramah berharap agar seluruh karyawan biro kepegawaian dapat mengamalkan butir-butir yang disampaikan penceramah. Bersikap jujur dan kebersamaan perlu dikedepankan.
Terlebih lagi, memasuki Ramadhan, hendaknya pesan dari penceramah dapat menjadi inspirasi untuk dapat bekerja lebih giat bekerja. Bekerja harus sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku, berdisiplin serta penuh semangat. Dalam kaitan Ramadhan, ia pun berpesan agar seluruh karyawan membuka diri untuk saling bermaafan.
“Jika ada yang masih beku, hendaknya mulai sekarang segera dapat mencair. Sehingga kedepan semua bisa melangkah kedalam suasana lebih baik lagi,” ujar Mahsusi.(ant/ess)
READ MORE - BUDAYA KITA NYARIS KEHILANGAN BUDAYA MALU
TATA CARA SHALAT TARAWIH
Seputar Sholat Tarawih dan Qunut Witir
Sholat Tarawih
Syaikh Nashiruddin Al-Albani telah menjelaskan perincian tentang tata cara shalat tarawih dalam kitab “Shalat Tarawih” (hal.101-105), kemudian disini diringkasnya untuk mempermudah pembaca dan sebagai peringatan.
Cara Pertama
Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau yang pendek, 2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’. Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk membuka shalat malam, kemudian 2 rakaat panjang sekali, kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.
Cara Kedua
Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat kemudian melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali pada rakaat kelima.
Cara Ketiga
Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.
Cara Keempat
Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4 rakaat lagi seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat? Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dalam masalah ini. Tapi dudukpada rakaat kedua dari yang tiga rakaat tidak disyariatkan !.
Cara Kelima
Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada yang kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri lagi dan tidak salam, kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2 rakaat lagi sambil duduk.
Cara Keenam
Shalat 9 rakaat, 6 rakaat pertama tidak diselingi duduk (tasyahud –pent) kecuali pada rakaat keenam dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam cara yang telah lau.
Inilah tata cara yang terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam secara jelas, dan dimungkinkan ditambah cara-cara yang lain yaitu dengan dikurangi pada setaip cara berapa rakaat yang dikehendaki walaupun tinggal 1 rakaat dalam rangka mengamalkan hadist Rasulullah Shallaalhu ‘alaihi wa sallam yang telah lalu (“…Barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 5 rakaat, barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 3 rakaat, barang siapa yang ingin,witirlah dengan 1 rakaat) [Faedah penting : Berkata Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih Ibni Khuzaimah” 2/194, setelah menyebutkan hadist Aisyah dan yang lainnya pada sebagian cara-cara tersebut, maka dibolehkan shalat dengan jumlah yang ana dari yang diasukai dari yang telah diriwayatkan daari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya tida larangan bagi siapapun padanya, Saya katakan: Ini difahami sangat sesuai dengan apa yang kita pilih yang konsisten dengan jumlah yang shahih. Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menambahinya. Segala puji bagi Allah atas taufiq-Nya dan aku meminta Nya untuk menambahi keutamaan-Nya.] [1].
Shalat 5 dan 3 rakaat ini, jika seseorang menghendaki untuk melakukannya dengan 1 kali duduk (tasyahud –pent) dan satu kali salam sebagaimana pada cara kedua, boleh. Dan jika ingin, bisa dengan salam pada setiap 2 rakaat seperti pada cara ketiga dan yang lain dan itu lebih baik[2]. Adapun shalat yang 5 dan 3 rakaat denagn duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat tanpa salam, kita tidak mendapatinya terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wasallam, pada asalnya boleh, akan tetapi nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam ketika melarang untuk 3 rakaat dan memberikan alasannya dengan sabda beliau “Jangan serupakan dengan shalat mahgrib...” (diriwayatkan At-Thahawi dan Daruquthni dan selain keduanya lihat “Shalatut Tarawih” hal 99-110) .
Maka bagi yang ingin shalat witir 3 rakaat hendaknya keluar dari cara penyerupaan terhadap mahgrib dan itu dengan 2 cara :
1. Salam antara rakaat genap dan ganjil itu lebih utama.
2. Tidak duduk (tasyahud –pent) antara genap dan ganjil, (yakni pada rakaat kedua –pent).
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Bacaan pada witir yang Tiga rakaat
Diantara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ialah membaca pada rakaat pertamanya surat Al-A’la dan kedua membaca surat Al Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat Al-Ikhlas dan terkadang menambahkan dengan surat Al-Alaq dan An-Naas. Telah terdapat pula dalam riwayat yang shahih bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada satu rakaat witir dengan 100 ayat dari surat An-Nisa’. (Riwayat An-Nasai dan Ahmad dengan sanad yang shahih).
Doa Qunut witir dan tempatnya
Sesudah membaca bacaan (surat –pent) sebelum ruku’ terkadang beliau melakukan qunut dan berdoa dengan doa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada cucunya Hasan bin Ali, yaitu :
اَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، إِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، [وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ[، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْت.
“Ya Allah! Berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai) sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau sayangi. Berilah berkah apa yang Engkau berikan kepadaku, jauhkan aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan, sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan qadha, dan tidak ada orang yang memberikan hukuman kepadaMu. Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan terhina, dan orang yang Engkau musuhi tidak akan mulia. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi Engkau.” [HR. Empat penyusun kitab Sunan, Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Al- Baihaqi. Sedang doa yang ada di antara dua kurung, menurut riwayat Al-Baihaqi. Lihat Shahih At-Tirmidzi 1/144, Shahih Ibnu Majah 1/194 dan Irwa’ul Ghalil, oleh Al- Albani 2/172.]
Kemudian terkadang bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan tidak mengapa melakukan qunut setelah ruku', juga menambah melaknati orang-orang kafir, dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendoakan kaum muslimin pada pertengahan kedua dari bulan ramadhan, karena telah ada yang demikian ini dimasa Umar radhiyallahu ‘anhu, yang telah tersebut pada hadist Abdurrahman bin Abdul Qari’ : Dan mereka melaknati orang-orang kafir pada pertengahan (ramadhan –pent)” :
"اللهم قا تل الكفرة الذين يصدون عن سبيلك ويكذبون رسلك, ولا يؤمنون بوعدك, وخالف بين كلمتهم, وألق في قلوبهم الرعب, وألق عليهم رجزك وعذا بك, يا اله الحق"
“Ya Allah! Perangilah orang-orang kafir yang menghalangi dari jalan-Mu dan mendustakan para Rasul-Mu dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai beraikan persatuan mereka, lemparkan rasa takut pada hati mereka, dan lemparkan adzab-Mu atas mereka wahai Illah yang haq.”
Kemudia bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kaum muslimin semampunya dari kebaikan, lalu mintakan ampun untuk mereka. Dia berkata juga “Setelah selesai melaknati orang-orang kafir dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diteruskan dengan membaca :
اَللَّهُمَّ إيـَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، نَرْجُوْ رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ بِالْكَافِرِيْنَ مُلْحَقٌ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ، وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَخْضَعُ لَكَ، وَنَخْلَعُ مَنْ يَكْفُرُكَ.
“Ya Allah! KepadaMu kami menyembah. UntukMu kami melakukan shalat dan sujud. KepadaMu kami berusaha dan melayani. Kami mengharapkan rahmatMu, kami takut pada siksaanMu. Sesungguhnya siksaanMu akan menimpa pada orang- orang kafir. Ya, Allah! Kami minta pertolongan dan minta ampun kepadaMu, kami memuji kebaikanMu, kami tidak ingkar kepada-Mu, kami beriman kepadaMu, kami tunduk padaMu dan berpisah pada orang yang kufur kepadaMu.” [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, sanadnya menurut pendapat Al- Baihaqi adalah shahih 2/211. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 2/170 berkata: Sanadnya shahih dan mauquf pada Umar]
Kemudian bertakbir dan menuju sujud. (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab “Shahihnya” (2/155-156/1100)).
Yang diucapkan di akhir witir
Termasuk dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengucapkan pada akhir shalat witir sebelum atau sesudah salam :
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءَ عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.
“Ya, Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kerelaanMu dari kemarahanMu, dan dengan keselamatanMu dari siksaMu. Aku berlindung kepadaMu dari ancamanMu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepadaMu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjungkan kepada diriMu sendiri.” [HR. Empat peenyusun kitab Sunan dan Imam Ahmad. Lihat Shahih At-Tirmidzi 3/180 dan Shahih Ibnu Majah 1/194 serta kitab Irwa’ul Ghalil 2/175. [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, sanadnya menurut pendapat Al- Baihaqi adalah shahih 2/211. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 2/170 berkata: Sanadnya shahih dan mauquf pada Umar]
Kemudian jika telah salam dari shalat witir mengucapkan :
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ[رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ] (يجهر بها ويمد بها صوته يقول 3 مرات)
Subhaanal malikil qudduusi (rabbul malaaikati warruh) tiga kali, sedang yang ketiga, beliau membacanya dengan suara keras dan panjang. [HR. An-Nasai 3/244, Ad-Daruquthni dan beberapa imam hadis yang lain. Sedang kalimat antara dua tanda kurung adalah tambahan menurut riwayatnya 2/31. Sanadnya shahih, lihat Zadul Ma’ad yang ditahqiq oleh Syu’aib Al-Arnauth dan Abdul Qadir Al-Arnauth 1/337.
Dua rakaat setelah witir
Dibolehkan shalat dua rakaat, karena telah terdapat dalil dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (riwayat Muslim dan lain lihat “Shalat Tarwih”hala:108-109), bahkan beliau memerintahkan umatnya dengan sabdanya :
“Sungguh safar ini payah dan berat, maka jika salah seorang dari kalian telah melakukan witir, hendaknya rukuk (shalat) dua rakaat, jika bangun, jika tidak keduanya telah memilikinya.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih”nya dan darinya juga yang lainnya. Telah ditahkrij dalam “Silsilah Shahihah”. Dulu aku Tawaquf (tidak bisa memutuskan pada masalah itu) dalam waktu yang cukup lama, maka tatkala saya dapatkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini cepat-cepat saya mengambilnya dan saat itu saya tahu bahwa sabdanya : " اجعلوا اخر صلا تكم با ليل وترا “Jadikanlah witir akhir shalat kalian dimalam hari” adalah kewajiban pilihan saja bukan merupakan kewajiban dan itu adalah pendapat Ibnu Nashr hal:130 )
Dan disunnahkan untuk membaca pada kedua rakaatnya surat Al Zilzalah dan surat Al Kafiruun. (Riwayat Ibnu Khuzaimah (1104,11050 dari hadist Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhum dengan dua sanad yang saling menguatkan)
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Bagaimana Sholat Tarawih Sesuai Sunnah Rasulullah
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
1. Pensyari'atannya
Shalat tarawih disyari'atkan secara berjama'ah berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama'ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda (yang artinya) : “ Amma ba'du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara berjama'ah" [Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761]
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari'at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama'ah disyari'atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan ‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya 'illat itu berputar bersama ma'lulnya, adanya atau tidak adanya.
Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa'ur Rasyidin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy[1] beliau berkata : "Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok[2] Ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama'ah, maka Umar berkata : "Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik". Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah dengan imam Ubay bin Ka'ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam".[Dikeluarkan Bukhari 4/218 dan tambahannya dalam riwayat Malik 1/114, Abdurrazaq 7733]
Footnote:
[1] Dengan tanwin ('abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul Atsir.
[2]Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa' ibil ... dan seterusnya
2. Jumlah raka'atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka'atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah delapan raka'at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha (yang artinya) : “ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka'at" [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]
Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka'at kemudian witir [Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya.]
Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka'at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan ole Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : "Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka'at". Ia berkata : "Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu' fajar" [Furu' fajar : awalnya, permulaan].
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : "Dua puluh raka'at".
Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughits (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaiman telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : "Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka'at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar"
Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.
Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka'at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Sangkaan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi 1/262]
Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hafalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyataannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut :
1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari.
2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]
3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181]
4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal 1/181]
5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I'tidal 1/181]
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka'at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul I'tidal 1/181]
Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha' 1/115 dengan sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.
[Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah:
a. Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
b. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar 'Ammar]
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H
READ MORE - TATA CARA SHALAT TARAWIH
Langganan:
Postingan (Atom)