Orang-orang asli Australia dikenali sebagai orang Aborigin. Mereka yang telah tinggal di benua tersebut selama beratus-ratus tahun telah mengalami penghapusan paling besar di dalam sejarah karena kedatangan orang-orang dari Eropa di negara tersebut. Orang-orang eropa ini melakukan pembantaian terhadap orang Aborigin, sejak pertama kali mereka menginjakkan kakinya di tanah asli milik leluhur suku Aborigin itu. Sudah datang nggak pernah diundang, eeeh malah ngebunuhin penduduk asli (Aborigin/sang tuan rumah) lagi, Kelakukan orang Eropa yang biadab itu sama sekali tidak aneh kalau kita mau melihat bagaimana kata Alkitab mengenai perilaku hal itu.
Selain karena mengikuti ajaran Tuhannya, kebiadaban orang eropa terhadap orang Aborigin di Australia juga karena mereka orang-orang eropa pembunuh itu berpedoman pada Teori Evolusi (Darwinisme), ciptaan seorang yang bernama Charles Darwin. Pandangan ideologi Darwinisme tentang orang-orang Aborigin telah membentuk teori liar yang telah menyiksa mereka.
Bangsa pribumi Australia, Aborigin ini telah dilihat sebagai satu spesies manusia yang tidak membangun oleh para pendukung teori evolusi dan telah dibunuh beramai-ramai. Pada tahun 1890 Wakil Presiden Royal Society di Tasmania, James Barnard, telah menulis: “proses pemusnahan ini adalah satu prinsip evolusi dan ‘yang kuatlah, yang terus hidup’ yang telah diterima umum”. Oleh karena itu adalah tidak perlu untuk beranggapan bahwa “telah berlaku kecualian yang buruk” di dalam pembunuhan dan pencabulan terhadap orang-orang Aborigin Australia.
Hasil daripada pandangan rasialis, ganas, dan liar yang telah dipupuk oleh Darwin ini, satu operasi pembunuhan beramai-ramai telah dijalankan untuk menghapuskan orang-orang Aborigin. Kepala Aborigin telah dipaku di pintu-pintu stasiun oleh orang-orang eropa “tamu tak diundang” itu. Roti beracun telah diberikan kepada keluarga-keluarga Aborigin. Di kebanyakan kawasan-kawasan Australia, kawasan penempatan Aborigin telah dihapuskan
dengan cara yang ganas dalam masa 50 tahun.
Kebijakan-kebijakan yang ditujukan kepada orang-orang Aborigin ini tidak hanya terhenti dengan pembunuhan beramai-ramai. Banyak di antara mereka yang dijadikan sebagai hewan-hewan eksperimen. Institut Smithsonia di Washington D.C. telah menyimpan 15.000 jasad orang bangsa ini yang masih utuh. 10.000 orang Abogin Australia telah dihantar dengan kapal laut ke Museum British dengan tujuan untuk memastikan apakah mereka benar-benar adalah “mata rantai yang hilang” (missing link) di dalam perubahan dari monyet kepada manusia, sesuai teori Darwin.
Museum-museum ini tidak hanya berminat dengan tulang-tulang mereka, tetapi dalam masa yang sama mereka juga menyimpan otak kepunyaan orang-orang Aborigin ini dan menjualnya dengan harga yang tinggi. Terdapat juga bukti yang menunjukkan bahawa orang-orang Aborigin ini juga dibunuh untuk digunakan sebagai spesimen. Fakta di bawah membuktikan keganasan ini:
Memori sebelum mati dari Korah Wills, yang telah menjadi walikota Bowen, Queensland pada 1866, telah menceritakan bagaimana dia telah membunuh dan memenggal seorang penduduk asli pada tahun 1865 untuk mendapatkan spesimen sains. Edward Ramsay, pegawai kurator Australian Museum di Sydney sejak 20 tahun dari tahun 1874, juga ikut terlibat. Beliau telah menerbitkan sebuah risalah yang memasukkan Aborigin di bawah tajuk “hewan-hewan Australia”. Ia juga memberikan panduan tidak hanya bagaimana hendak merompak kubur, tetapi juga bagaimana untuk mencabut peluru daripada daging “spesimen” yang telah dibunuh.
Seorang pendukung teori evolusi dari Jerman, Amalie Dietrich (digelar juga ‘Angel of Black Death’) telah datang ke Australia dan bertanya kepada pemilik-pemilik stasiun tentang Aborigin untuk dibunuh demi mendapatkan spesimen, selalunya kulit mereka dijadikan sebagai sarung pelapik dan rangka untuk majikan museumnya. Walaupun, pernah dihalau sekurang-kurangnya sekali, tetapi dalam masa yang singkat beliau telah kembali bersama spesimennya.
Seorang missionaris di New South Wales adalah saksi atas penyembelihan oleh polisi atas berlusin-lusin orang Aborigin, baik lelaki, perempuan dan anak-anak. Empat puluh lima kepala telah dididihkan dan 10 tengkorak yang sempurna telah dibungkus untuk dikirim ke luar negeri.
Eksperimen ke atas orang-orang Aborigin ini terus berkelanjutan hingga abad ke-20. Di antara metode yang digunakan di dalam eksperimen ini ialah pemisahan secara paksa anak-anak Aborigin dari keluarga mereka. Cerita baru oleh Alan Thornhill, yang telah muncul di dalam edisi 28 April 1997 Philadelphia Daily News, telah menceritakan dengan panjang lebar tentang metode ini yang digunakan untuk menentang Aborigin, seperti berikut:
Bangsa Aborigin yang tinggal di padang pasir barat laut Australia, pernah melumuri kulit anak-anak mereka yang cerah dengan arang, supaya kelompok agen kerajaan tidak akan merampas mereka. “Kumpulan ini akan menangkap kamu apabila mereka menemui kamu”, salah seorang anak-anak yang dicuri melaporkan, beberapa tahun kemudian. “Orang-orang kami akan menyembunyikan kami dan mewarnai kami dengan arang”.
“Saya telah dibawa ke Moola Bulla”, kata seorang penggembala lembu yang telah diculik ketika masih kanak-kanak. “Kami berusia 5 atau 6 tahun”. Kisah beliau adalah satu daripada beratus-ratus kisah yang telah didengar oleh Lembaga Hak Asasi Manusia dan Hak Persamaan Taraf Australia, ketika dilakukan penyelidikan ke atas “generasi yang dicuri”.
Antara tahun 1910 sampai 1970-an, kira-kira 100.000 anak-anak Aborigin telah diambil daripada orang tua mereka. anak-anak Aborigin yang berkulit cerah itu akan diberikan kepada keluarga-keluarga kulit putih sebagai anak angkat. Kanak-kanak berkulit hitam pula menjadi yatim piatu.
Sehingga kini, kepedihannya amat dahsyat sehinggakan kebanyakan cerita-cerita telah dicetak secara diam-diam di dalam laporan akhir lembaga tersebut, “Bringing Them Home”. Lembaga tersebut menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan ketika itu adalah bersamaan dengan pemusnahan bangsa seperti yang digambarkan oleh PBB. Pemerintah Australia telah menolak untuk mengikuti penyelidikan yang akan dilakukan dimana sebuah dewan telah dibentuk untuk menilai pembayaran ganti rugi untuk anak-anak Aborigin yang diculik.
Seperti yang kita lihat, layanan tidak berperikemanusiaan ini, pembunuhan beramai-ramai, keganasan, kebuasan, dan pemusnahan yang dilakukan telah dijusfikasikan oleh Alkitab, juga berpegang pada tesis Darwin tentang “pilihan langsung”, “perjuangan untuk terus hidup”, dan “‘yang kuatlah, yang terus hidup’”.
Segala penyiksaan yang dialami oleh orang-orang asli Australia ini hanyalah sebagian kecil daripada malapetaka yang dibawakan oleh Inggris dan Darwinisme kepada dunia. Yang pasti, Inggris telah melakukan pembunuhan dan penekanan terhadap ribuan penduduk asli benua Australia, suku Aborigin dan suku Maori (New Zealand).
Diskriminasi terhadap penduduk asli yang jumlahnya sudah menyusut jauh tersebut masih terus berlangsung sampai saat ini. Ironis memang, “si empunya rumah” (penduduk asli) justru menjadi tamu di negerinya sendiri, dan kaum pendatang yang bengis-bengis itu justru telah menjadi “si tuan rumah”.
Di dalam buku beliau The Origin of Species Darwin melihat penduduk asli Australia dan Negro sebagai makhluk-makhluk yang sama taraf dengan gorilla dan mengatakan bahwa bangsa-bangsa ini akan lenyap. Sementara bagi bangsa-bangsa lain yang dilihatnya sebagai “bermartabat rendah”, dia menegaskan bahwa adalah perlu untuk menyekat mereka supaya bangsa-bangsa ini pupus. Oleh karena itu, laluan rasisme dan diskriminasi yang masih wujud sehingga ke hari ini, telah disahkan dan diterima oleh Darwin dengan cara
ini.
Memang sungguh malang sekali nasib bangsa Aborigin. Mereka adalah bangsa asli pemilik sah benua Australia. Namun ketika orang-orang itu menerobos masuk Australia, bangsa Aborigin yang tidak memiliki senjata itu telah diperlakukan secara sangat tidak manusiawi. Di mata Inggris, Aborigin tidak lebih daripada hewan liar yang mesti diburu dan dibunuh. Tangan orang-orang Inggris benar-benar berlumuran darah ketika mencaplok Australia. Bangsa Aborigin terpaksa menerima proses “civilized” dan “cultured” yang diterapkan oleh penjajah Inggeris.
Captain Arthur Phillip memperhitungkan, kira-kira 1.500 bangsa Aborigin di sekitar Sidney di tahun 1788. Akan tetapi angka tersebut merosot tajam kepada kurang dari 200 orang yang hidup tahun 1830-an.
Charles Darwin yang berkelana ke Australia tahun 1836, masih sempat menyaksikan angka tragis itu. Kunjungan Charles Darwin kononnya membawa misi humanitarian untuk menyelamatkan dan memelihara keturunan Aborigin supaya tidak musnah, akan tetapi realitas yang terjadi adalah, mereka diburu oleh orang-orang Inggris seperti binatang buas. Mereka juga diperkosa, serta perkampungan mereka dibakar dan dihanguskan oleh orang-orang Inggris itu.
Beberapa tahun kemudian, bangsa Aborigin tersisa hanya beberapa orang saja lagi di jalan Sidney, hidup sebagai manusia yang hina di tanah airnya sendiri dan tidak memiliki lagi masa depan. Kenangan ini dilukiskan Darwin sbb: “Wherever the European has trod, death seems to pursue the aboriginal. We may look to the wide extent of the Americas, Polynesia, the Cape of Good Hope and Australia, and we find the same result…” (Dimana saja-Orang Eropa telah menyakiti hati sepanjang masa, membunuh. Memburu orang Aborigin menjadi kebanggaan sebelum mati. Kita bisa menyaksikan dengan jelas merata tempat di Amerika, Polynisia, Cape dan Australia, ternyata sama hasilnya…”).
Bahkan John Glover mengatakan: “…the only alternative now is, if they do not ready become friendly, to annihilate them at once” (sekarang tinggal hanya satu saja pilihan, jika mereka tidak mau bersahabat dengan kita, maka dijahanamkan sekaligus).
Sesudah mobilitas politik Inggris mapan, barulah pada pada tahun 1831, kepada bangsa Aborigin yang berdomisili di wilayah Tasmania, dipaksa menerima Hukum Perkawinan made-in British. Bagaimanapun bangsa Aborigin menolak, sebab mereka juga memiliki hukum perkawinan mengikut budaya dan kepercayaannya sendiri. Sebagai balasan kepada mereka yang menolak, mereka dikapalkan ke sebuah pulau di Bass Strait. Tragis sekali, dalam jangka masa satu tahun saja, jumlahnya kurang dari 50 orang lagi yang tinggal. “Theylast pure-blooded Tasmanian died in 1876″.
Di atas kejadian itu, Charles Darwin ketika mengunjungi Tasmania berkata: “I fear there is no doubt that this train of evil and its consequences originated in the infamous conduct of some of our countrymen” (Aku takut bahwa disana ada keraguan bahwa kereta kejahatan/iblis ini dan konsekwensi nya dimulai di dalam perlakuan buruk yang dilakukan oleh orang-orang kita).
Di Maralinga, suatu negeri dimana bangsa Aborigin menetap di sana. Inggris telah melakukan ujian bom atom. Laporan daripada “Green peace Book of Nuclear Age: The Hidden Human Cost” menyimpulkan bahwa: “the test had probably caused an increase in the level of cater among the Australian population in general, and among Aborigines living near the test sites and thousand of servesmen and civilians directly involved with the tests”. (Ujian ini pada umumnya telah memungkinkan sekali terjadinya pertambahan jumlah penderita penyakit cacar diantara orang Australia sendiri, kalangan Aborigin yang berdekatan dengan lokasi dan secara langsung ribuan dari pekerja dan orang sipil juga ikut merasakan akibat daripada ujian tersebut).
Akan tetapi sedihnya, Henry Kissinger, bekas Menteri Luar negeri Amerika justeru berkata: “There are only 90.000 people out there”. “Who gives a damn?” demikian dilaporkan oleh “Day of two Suns. US Nuclear Testing and The Pacific islanders.”
Begitulah arogansi dan keangkuhan penjajah Inggris ketika itu untuk melucuti bangsa Aborigin melalui metode ‘civilized’ dan ‘cultured’ yang dilaksanakan Inggris. (catatan dari buku “Sumatra Menggugat”).
Ketika kulit putih datang pertama kalinya pada tahun 1788, Sydney ibarat sebuah museum raksasa Aborigin berisi sekitar 10.000 batu ukiran dan beragam karya kesenian lainnya. Baru sebagian saja peninggalan itu digali dan ditemukan, yang lainnya menjadi korban vandalisme kulit putih. Belum lama ini, salah satu karya dihancurkan cuma karena tempat itu dijadikan lapangan golf.
Dalam versi pemerintahan Australia kulit putih, orang-orang Aborigin yang dikolonialisasi itu adalah rakyat yang bermusuhan dan tidak beradab. Akan tetapi, bagi Aborigin kedatangan penjajah putih itu mengawali sebuah invasi dan penghancuran yang tak habis-habisnya bagi kebudayaan mereka.
Seorang pahlawan Eora bernama Pemulwuy, yang memimpin perjuangan selama 12 tahun, dan sempat membunuh gubernur Inggris di Botany Bay pada tahun 1790. “Namun, serdadu-serdadu Inggris sungguh tidak tahu malu, mereka malah memenggal kepala Pemulwuy,” kata Eric Willmot, pengarang buku berjudul ‘Pemulwuy, The Rainbow Warrior’, yang menceritakan bagaimana kepala itu dikirim ke Inggris.
Jadi tak bisa dipungkiti lagi, ribuan orang Aborigin telah dibunuh secara kejam oleh orang-orang eropa tersebut, atau mati karena berbagai penyakit menular. Sebagian diculik, lalu dibawa ke Inggris untuk dihukum mati.
Lebih mengerikan lagi, di dalam masyarakat mereka hanya digolongkan bersama binatang dan tumbuhan (Flora and Fauna Act), dan baru memperoleh kewarganegaraan tahun 1967. Sebagian lagi wajib mengenakan “kalung anjing” sebagai tanda pengenal.
Australia juga menerapkan Undang-Undang Kesejahteraan Nasional (National Welfare Act), yang mengesahkan pemerintah memisahkan anak Aborigin dari orang tuanya.
Akibat UU tersebut, dari tahun 1910 sampai 1970, sedikitnya 100.000 anak Aborigin yang pada umumnya berasal dari ayah atau kakek berkulit putih, terpisah dari orang tuanya. Anak Aborigin itu ditempatkan di panti asuhan yang disubsidi pemerintah. Biasanya, yang berkulit sedikit terang diadopsi keluarga kulit putih Australia. Mereka yang berkulit gelap biasanya akan menghabiskan masa kanak-kanak mereka di panti asuhan dengan sedikit atau tanpa pendidikan memadai.
Pemerintah Australia menganggap kebijakan itu sebagai kebijakan kemanusiaan untuk mengangkat harkat bangsa Aborigin. Dalam kenyataannya, kebijakan itu mengeliminasi jumlah orang Aborigin, yang berada di Australia sejak 60.000 tahun silam.
Yang diharapkan oleh orang-orang Inggris ini adalah, keturunan asli Aborigin akan meninggalkan habitat mereka, kemudian musnah karena meninggal akibat penyakit atau tingkat kelahiran rendah. Rencana ini hampir berhasil. Populasi Aborigin di Australia terus menyusut dari sekitar 60.000 jiwa pada tahun 1870-an menjadi tinggal 20.000 jiwa pada dasawarsa 1930-an.
Pada Juni 1997, pemerintah Australia mendirikan Komisi HAM dan Persamaan Kesempatan, yang menyeru dihentikannya kebijakan pembunuhan massal.
“Diskriminasi secara sistematik dan pembunuhan massal jangan dianggap remeh, dan pemerintah Australia berdasarkan atas hukum internasional, wajib memperbaiki kesalahan mereka,” kata Komisi HAM dan Persamaan Kesempatan dalam laporannya setebal 689 halaman.
Pemerintah Australia menolak menanggapi laporan tersebut. Begitu juga dengan PM John Howard. Dengan congkak, Howard mengesampingkan seruan komisi HAM tersebut dengan mengatakan, isi laporan itu tidak lebih sebagai “pita hitam pada lengan” dalam sejarah Australia. “Generasi Australia sekarang tidak perlu menerima dosa lama dan menyalahkan tindakan salah di masa lalu, yang tidak bisa mereka kendalikan,” kata Howard.
Padahal, diskriminasi terhadap bangsa Aborigin itu sampai kini masih terus berlangsung. Agaknya, bagi orang-orang Australia, daripada harus mengakui kesalahan sendiri, mereka lebih suka menjadi “ksatria kulit putih” bagi orang Timtim, sepupu dekat bangsa Aborigin. Kini mereka juga ingin menjadi pahlawan kesiangan “SEAKAN-AKAN mereka tidak berlumuran darah orang Aborigin yang mereka bantai” kepada orang-orang Papua (Irian) di Indonesia.
READ MORE - PEMBANTAIAN TERHADAP ORANG ABORIGIN OLEH INGGRIS
Jumat, 26 Oktober 2012
Ternyata Australia pernah menjadi Bagian dari Nusantara
PROF. Regina Ganter, Sejarawan dari University of Griffith, Brisbane, Australia, belum lama ini meriset Suku Aborigin Marege yang berbahasa Melayu Makasar di Tanah Arnhem, Darwin - Australia Utara.
Dalam riset tersebut, menunjukan bukti sejarah yang menakjubkan, diantaranya tentang masuknya Islam ke Australia, yang ternyata lebih awal 200 tahun dari catatan Sejarah resmi Australia.
Sejarah resmi Australia, sepertinya segera direvisi. Selama ini, Australia mencatat kedatangan Islam di benua itu pada era kolonial Inggris tahun 1850-an ternyata keliru.
Penelitian terbaru membuktikan bahwa Islam sudah masuk ke Australia pada 1650-an. Bahkan yang nakjubkan, adanya jejak prajurit Islam Majapahit dengan ditemukannya koin Gobog Wayang dan koin Emas Majapahit yang dahulu digunakan oleh Suku Aborigin Marege.
Prof. Regina mendapati bukti bahwa komunitas Muslim Aborigin berasal dari Kerajaan Gowa Tallo, Makasar, Sulawesi Selatan, Indonesia, sudah ada sejak 1650-an dan menyebarkan agama Islam di Australia Utara hingga ke desa Kayu Jawa di Australia Barat.
Menurut prof. Regina: “Sejak masa Sultan Hasanuddin (1653-1669), kapal-kapal phinisi menguasai Teluk Carpentaria – Darwin untuk mencari Tripang. Kemudian pendatang muslim ini berinteraksi dengan Suku Aborigin, dan beranak pinak hingga melahirkan Suku Aborigin Marege yang berbahasa Melayu”.
Hal ini dibenarkan pula oleh Direktur Unit Kajian Islam University of Griffith (GIRU), Dr.Mohamad Abdalla.
“Sejarah resmi Australia tentang kedatangan pemukim muslim sejak 1850-an, seharusnya segera direvisi dengan adanya riset terbaru yang menunjukan bahwa orang-orang Makasar dari Indonesia sejak 1600-an datang ke benua ini untuk mencari tripang dan menyebarkan agama Islam di Australia Utara” Ujarnya.
Melalui konfrensi internasional bertajuk: Tantangan Peluang Islam dan Barat; Kasus Australia, yang diselenggarakan oleh GIRU pada Maret 2010 yang lalu. Hasil riset terbaru itu, membuka tabir sejarah yang nyaris luput dari perhatian publik dan dunia internasional.
READ MORE - Ternyata Australia pernah menjadi Bagian dari Nusantara
KISWAH KA'BAH YANG BARU
Begitu para jamaah calon haji berangkat menuju ke Arofah, kiswah penutup Ka'bah yang baru dipasang. Kiswah baru, hari ini jam 10.00 WIB atau jam 06.00 waktu Makkah telah diselubungkan untuk menutupi Ka'bah menggantikan kiswah yang lama. Kiswah atau selubung Ka'bah dibuat hanya satu dalam satu tahun.
Kiswah baru telah diserahkan oleh Khadam Dua Haramain (Presiden Urusan Dua Masjid Suci) kepada Wali Masjidil Haram pada 1 Dzulhijah 1431 H. Kepala Humas Masnaul Kiswah Khamis Al-Zahrani menyatakan, kiswah tersebut akan diselubungkan pada Ka’bah pada 9 Dzulhijah. "Setahun Masnaul Kiswah hanya memproduksi satu kiswah," ujar Khamis Al-Zahrani.
Sebanyak 220 orang dipekerjakan Masna’ul Kiswah untuk membuat kiswah. Bahan baku kiswah dibuat dari benang sutra asli sebanyak 670 kilogram dengan biaya mencapai Rp 50 miliar. Benang sutra didatangkan dari berbagai negara, seperti Italia dan China.
Tinggi kiswah 14 meter dan terdiri dari 47 potong kain yang disambung-sambung. Bagian dua rukun lebarnya 10,78 meter, bagian Multazam 12,5 meter, bagian Hajar Aswad 10,5 meter, dan bagian Bab Ibrahim 13 meter.
Di kain kiswah ditulis kaligrafi surat Alquran yang disulam dengan benang emas 20-25 karat. Surat yang disulamkan itu antara lain Surat Yasin, Surat Fatihah dan Ayat Kursi. Kiswah luar berwarna hitam dengan lapisan berwarna putih di bagian dalamnya, kiswah di dalam Ka’bah berwarna hijau.
Arab Saudi awalnya tidak membuat kiswah sendiri. Kiswah sebelumnya dibuat di beberapa negara, seperti India dan Mesir. Baru saat zaman Malik Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al-Saud, pada Muharam 1346 H, merencanakan membuat kiswah sendiri. Dan baru puluhan tahun kemudian dibangun gedung Masna'ul Khiswah di Ummul Joud. Pembangunan dilakukan pada 7 Rabi’ul Akhir 1397 H, ketika Khadam Dua Haramain, Al-Malik Fahd bin Abdul Aziz menjadi perdana menteri Arab Saudi.
Selama bertahun-tahun kain kiswah dibuat dengan alat tenun bukan mesin. Tapi sejak 30 tahun lalu, kain kiswah telah dibuat menggunakan mesin dengan kemampuan 9.986 benang per meternya. Adanya mesin mempercepat pembuatan kiswah. Sebelum memakai mesin, pembuatan kiswah memakan waktu delapan bulan. "Dengan mesin, pembuatan kiswah selesai dalam waktu lima bulan,’’ jelas Al-Zahrani.
READ MORE - KISWAH KA'BAH YANG BARU
DO'A
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.” [Nuh:28]
”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28)
“Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua ibu bapak”. (An Nisa’ : 36).
READ MORE - DO'A
Sekolah di Chicago Larang Seorang Guru Naik Haji
TEMPO Interaktif, New York - Departemen Kehakiman Amerika Serikat menggugat sebuah sekolah di Chicago karena melarang seorang guru Muslim mengambil cuti untuk naik haji ke Mekkah.
Berdasarkan gugatan yang diajukan Departemen Kehakiman, Senin (13/12), permintaan guru bernama Safoorah Khan untuk cuti tiga pekan pada 2008 lalu ditolak dua kali oleh Berkeley III.
Keinginan Khan untuk naik haji dinilai tidak terkait dengan tugas profesional Khan sebagai guru.
Menurut Departemen Kehakiman, sekolah tersebut melanggar Undang-Undang Hak Sipil 1964.
Khan, yang mulai mengajar sejak 2007, akhirnya mengundurkan diri setelah permintaan cutinya ditolak. Alasannya, 'berdasarkan agamanya, ia tidak bisa menunda naik haji'.
Jutaan umat Muslim tiap tahun naik haji ke Mekkah, Arab Saudi. Naik haji merupakan salah satu kewajiban umat Muslim yang mampu.
READ MORE - Sekolah di Chicago Larang Seorang Guru Naik Haji
UTS Manajemen Sumberdaya pendidikan
UTS Manajemen Sumberdaya pendidikan
Program S2 Manajemen Pendidikan IKIP PGRI Semarang
Tahun akademik 2012-2013
Kelas III A, B, C dan D
1. Berdasarkan UU No 20 tahun 2003 tentang Ssidiknas dan PP no 48 tentang pembiayaan pendidikan disebutkan bahwa terdapat empat prinsip pengelolaan pendidikan yaitu Keadilan, Efisiensi, Transparansi dan Akuntabilitas publik.
a. Jelaskan satu persatu keempat prinsip tersebut secara ringkas namun jelas
b. Berikan contoh pengelolaan dana pendidikan yang berdasarkan masing-masing prinsip tersebut
2. Jelaskan bahwa pendidikan merupakn investasi sumberdaya manusia, hubungkan pengaruh pendidikan terhadap pembangunan ekonomi
3. Empat metode dalam mengukur manfaat pendidikan, Sebutkan ke empat metode tersebut dan jelaskan secara singkat masing2 metode tersebut
4. Dalam mengukur manfaat pendidikan dapat dilihat dari manfaat pribadi dan manfaat sosial;
a. Berikan penjelasan apa saja yang disebut dengan manfaat pribadi pendidikan dan manfaat sosial tersebut
b. Berikan contoh konkritnya
5. Faktor yang mempengaruhi biaya pendidikan antara lain; (a) perubahan tingkat harga, (b)pertumbuhan jumlah anak (c)peningkatan standar kualitas pendidikan, (d) lama siswa belajar dan (e) biaya satuan pendidikan yang lebih besar pada jenjang pendidikan yang lebih tinngi. Berikan penjelasan dan contohnya
6. Lima Elemen Kunci dalam Sistem Pendidikan adalah: (a) Objectives, sebagai kompas internal proses.(b) output,(c) benefits, (d) internal process, dan (e) input. Jelaskan masing-masing elemen tersebut secara singkat dan jelas, berikan contoh bila perlu.
Ketentuan:
a. Jawaban sebaiknya diketik dan dicetak, dan sofcopy jawaban juga di emailkan ke alamat e-mail yang telah disampaikan (noormyn)
b. Nama file : Nama mhs- klas- utssdp (Noormiyono-3C-utssdp)
c. Jawaban lewat e-mail ditunggu selambatnya tanggal 2 Nopember 2012 pkl.24.00. untuk cetak dapat dikumpulkan tgl 3 nopember atau 4 nopember 2012 pada waktu kuliah. (tidak perlu dijilid, cukup distaples pojok kiri atas)
d. Terima kasih, selamat mengerjakan
READ MORE - UTS Manajemen Sumberdaya pendidikan
Selasa, 23 Oktober 2012
Memahami Pesan Film ‘Innocence of Muslims’
Saya baru sempat menonton film penghinaan terhadap Rasul/Islam itu, Selasa 18 September 2012. Tentu menyakitkan. Sebab bagi kita Rasul itu adalah tauladan di atas segala tauladan. Dan tentunya pada tataran ‘imani’ terjaga dari prilaku ‘syaithani’ yang ingin digambarkan pada film itu.
Tapi saya kemudian mencoba berpikir, lalu terbetiklah dibenak saya hal-hal berikut:
Pertama. Jangankan di film ini, dalam Kitab Suci mereka sekalipun, para nabi dan rasul telah menjadi bulan-bulanan dengan prilaku yang tidak manusiawi. Nabi Daud merebut menyeleweng dengan isteri prajuritnya yang lagi berperang membela agama. Nabi Sulaiman dengan imajinasi wanita-wanita cantik. Nabi Luth yang menghamili putri sulungnya, dan seterusnya. Jadi perilaku ini memang menjadi bagian dari ‘kejiwaan’ atau bahkan ‘iman’ mereka.
Kedua. Ini semakin menguatkan keyakinan kita akan kebenaran Al Qur’an bahwa ‘istihzaa’ (pengolok-olokkan) Rasul dan penentangan kepada cahaya Allah itu bersifat abadi. Ingat kata: “yuriiduuna li yuthfiuu..” menggambarkaan bahwa upaya-upaya seperti ini berketerusan. Apapun umat lakukan saat ini, tidak akan menghentikan upaya-upaya ini. Dari Salman Rushdie, kartun Nabi di Denmark, pembakaran Al-Qur’an, hingga yang ini, hanya bukti kebenaran Al Qur’an.
Ketiga. Pembuatan film yang sangat ‘tidak profesional’ ini menggambarkan bahwa cara-cara yang rasional tidak lagi mampu menghentikan laju pergerakan da’wah Islam. Sehingga dengan sendirinya, film ini merupakan bukti ‘keputusasaan’ terhadap perkembangan da’wah Islam yang semakin bersinar di berbagai penjuru dunia, bahkan di masyarakat yang paling ‘hostile’ sekalipun.
Keempat. Mereka tahu bahwa orang-orang Islam sekarang ini mengalami masa ‘emosi mental’ yang tinggi karena berbagai hal, antara lain, konflik internal dan eksternal, khususnya di Timur Tengah dan Asia Selatan. Dengan sengaja mereka menyulut emosi itu lalu dijadikan justifikasi bahwa Islam memang mengajarkan ‘kemarahan dan kekerasan’. Di sini, umat harus mampu mengendalikan diri dan bersikap sebaliknya. Dengan ini mereka akan semakin sakit hati…
Pada akhirnya, satu hal yang perlu disadari umat ini adalah bahwa setiap ‘aksi dan reaksi’ yang kita ambil dalam menyikapi apapun akan memiliki dampak kepada Islam/Muslim itu sendiri. Oleh karenanya, mari belajar untuk lebih pintar, arif, dan dewasa dalam melihat dan menyikapi berbagai hal, termasuk film tersebut.
Wallahu a’lam!
READ MORE - Memahami Pesan Film ‘Innocence of Muslims’
Akhir Tragis Sang Penyelamat Republik
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 30 September 1965 tidak terlepas dari melemahnya kekuatan Islamis dan semakin condongnya rezim Soekarno pada komunisme. Kesempatan besar itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Partai Komunis Indonesia untuk merebut tampuk kekuasaan dalam rangka mencengkeram Republik dengan paham atheisme dan komunisme.
Jauh sebelum memiliki kesempatan untuk memberontak secara nasional, PKI memiliki musuh yang tangguh, yakni kelompok yang membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PDRI dan PRRI) . Kami nukilkan secara utuh sejarahnya dari Majalah Suara Hidayatullah edisi November 2008.
PDRI terbentuk, ketimpangan antara daerah dan pusat malah mencolok. Pusat acuh tak acuh kepada daerah. Protes pun menjadi marak
Dalam untaian sejarah Indonesia, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) tak bisa dipisah satu sama lain. Kedua peristiwa ini bagai mata rantai yang saling melengkapi.
PDRI dibentuk pada 19 Desember 1948 di Bukittingi, Sumatera Barat, oleh Syafruddin Prawiranegara. Sedang PRRI dicetuskan 10 tahun kemudian, tepatnya tanggal 15 Pebruari 1958, di Padang, Sumatera Barat, oleh Ahmad Husein. Syafruddin sendiri kemudian diangkat sebagai Perdana Menteri dalam pemerintahan yang baru ini.
Ihwal terbentuknya PDRI bermula ketika Belanda melancarkan agresi kedua dengan menduduki ibukota negara yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta. Ketika itu, Belanda juga menawan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Beberapa jam sebelum ditawan, Soekarno sempat menyurati Syafruddin selaku Menteri Kemakmuran RI yang saat itu sedang menjalankan tugas di Bukittinggi, Sumatera Barat. Surat itu berisi mandat kepada Syafruddin agar segera membentuk PDRI. Tanpa ada hambatan, sehari setelah itu, pemerintahan darurat terbentuk.
Perjalanan PDRI selanjutnya jelas tak mulus. Syafruddin dan kawan-kawan terus diburu Belanda yang tak senang dengan berdirinya pemerintahan baru. Roda pemerintahan terpaksa digerakkan dengan cara bergerilya di hutan-hutan Sumatera Barat.
Upaya Syafruddin menyelamatkan bangsa dari ketiadaan pemerintahan boleh dikata berhasil. Melalui pemancar radio di Koto Tinggi, PDRI telah membukakan mata internasional untuk mengakui kedaulatan RI.
Agresi militer Belanda berhenti. Soekarno dan Hatta dibebaskan. PBB mengakui kedaulatan Indonesia.
Seiring keberhasilan ini, cerita tentang PDRI juga ditutup dengan happy anding yang mengharu-biru. Setelah dijemput oleh Muhammad Natsir ke Payakumbuh, Syafruddin berangkat ke Yogyakarta untuk mengembalikan mandat pemerintahan kepada Presiden Soekarno.
Di Lapangan Koto Kaciak, keberangkatan Syafruddin dilepas dengan tangis haru ribuan masyarakat dan para pejuang yang telah berbulan-bulan keluar masuk hutan demi menyelamatkan PDRI. Selama berada di hutan, mereka mengandalkan budi baik masyarakat yang kerap mengirimi mereka nasi bungkus untuk menunjang hidup.
Sejarawan Dr Mestika Zed menyatakan, negara dan pemerintahan Indonesia tidak akan ada tanpa PDRI. “PDRI adalah pemerintah darurat yang dipimpin Syafruddin Prawiranegara sebagai bentuk kesuksesan orang daerah menyelamatkan negara dari ancaman disintegrasi bangsa dan kembali menyerahkan tampuk kekuasaan setelah tugasnya selesai.” kata Mestika.
Pengembalian mandat PDRI oleh Syafruddin kepada Soekarno ternyata bukan awal bagi terwujudnya pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita proklamasi. Sebaliknya, ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah kian menganga.
Ketika Presiden Soekarno menggulirkan proyek pembangunan Tugu Monas serta berhala-berhala lain di Jakarta, rakyat di daerah, baik di Jawa maupun di luar Jawa, justru kian dibelenggu oleh kemiskinan, kelaparan, dan didera penyakit tukak dan cacing tambang.
Akibat ketimpangan itu, gelombang ketidakpuasan di daerah mulai membesar. Di Bukittinggi, bekas ibukota PDRI, misalnya, untuk pertamakali terjadi unjuk rasa yang diikuti 10 ribu orang. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Demontrasi Nasi Bungkus”.
Istilah “Nasi Bungkus” menggambarkan simbol bahwa rakyatlah yang dulu mendukung tentara dengan logistik sehingga tetap bisa mempertahankan PDRI hingga bangsa ini bisa terselamatkan.
Berawal dari Dewan Banteng
Bersamaan dengan kian memuncaknya protes atas ketimpangan pembangunan wilayah pusat dan daerah, pada Desember 1956 berdirilah Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, dan Dewan Garuda di Sumatera Selatan.
Bermunculannya dewan-dewan itu merupakan wujud ketidakpuasan daerah kepada pemerintah pusat atas penciutan struktur militer dan kian diberi tempatnya PKI di pemerintahan. Saat itu Soekarno dinilai lebih condong ke “kiri“.
Menurut Kahin (1979), Resimen 6 Devisi IX Banteng sebelumnya merupakan pasukan terbaik di Sumatera. PRRI kala itu menunjuk Ahmad Husein sebagai panglima pasukan ini.
Namun, nasib Divisi Banteng menjadi kucar-kacir ketika pemerintah Soekarno melaksanakan penyerderhanaan struktur militer secara nasional.
Kemudian, perwira Akademi Militer Hukum di Jakarta, Jusuf Nur dan Djamhuri Djamin, pengusaha Ramawi Izhar, serta Badar Gafar dari pusat pendidikan infanteri, berencana menggelar reuni mantan Divisi Banteng, baik yang masih aktif maupun yang tidak.
Rencana reuni dimatangkan dalam dua kali pertemuan. Pertama, di Jakarta pada 21 September 1956. Kedua, di Padang, Sumatera Barat, pada 11 Oktober 1956.
Reuni akhirnya terlaksana di Padang tanggal 20 hingga 24 Nopember 1956. Reuni ini membahas masalah politik dan sosial ekonomi rakyat di Sumatera Tengah.
Reuni dihadiri sekitar 612 perwira aktif dan pensiunan. Reuni membuat sejumlah rekomendasi, yakni perbaikan masalah kepimpinan negara secara progresif dan radikal, perbaikan kabinet yang telah dimasuki unsur komunis, penyelesaian perpecahan di tubuh Angkatan Darat, pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Sumatera Tengah, serta menghapuskan birokrasi sentralistik. Rekomendasi ini dinamakan tuntutan Dewan Banteng.
Selain itu dibentuk pula dewan yang bertugas menindaklanjuti dan memperjuangkan hasil reuni ini. Dewan tersebut bernama Dewan Banteng, terdiri dari unsur militer, pemerintah daerah, alim ulama, dan pemuka adat. Jumlahnya ada 17 orang, mengacu pada semangat proklamasi 17 Agustus 45.
Tetapi oleh PKI dan sebagian tokoh PNI, rumusan perjuangan Dewan Banteng itu dicap sebagai pemberontakan. Ahmad Husein, ketua Dewan Banteng, langsung membantah tuduhan ini. Ia berpidato di depan corong Radio Republik Indonesia Padang, mengutarakan bahwa perjuangan Dewan Banteng bukan untuk memberontak, justru untuk membela keutuhan Republik Indonesia dan menegakan konstitusi.
Dewan Banteng menilai Soekarno telah mengkhianati konstitusi dengan membubarkan konstituante. Soekarno juga dikecam karena kian memihak kepada komunis. Puncaknya adalah mundurnya Bung Hatta sebagai Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956. Ia tidak setuju dengan cara Soekarno mengatasi keadaan negara.
Sayangnya, peristiwa itu tak membuat Soekarno mengoreksi sikapnya. Malah, aksi pelemparan granat pada malam 30 Nopember 1957, di saat Soekarno menghadiri ulang tahun sekolah Cikini, tempat anaknya bersekolah, dijadikan alasan untuk menangkapi lawan-lawan politiknya dan mengeluarkan Dekrit Presdien 5 Juli 1959. Dekrit ini berisi permintaan agar konstituante hasil Pemilu 1955 dibubarkan.
Pasca peristiwa Cikini, Jakarta menjadi bara api yang setiap saat siap membakar para lawan politik Soekarno, terlebih bagi siapa saja yang sejak awal telah menentang keberadaan PKI. Surat kabar yang menjadi corong PKI seperti Harian Rakyat, Warta Bhakti, Bintang Timur dan Harian Pemuda menuding sejumlah tokoh politik dari partai Masyumi dikait-kaitkan dengan peristiwa Cikini. Mereka kemudian diteror dan diancam akan dihabisi.
Rumah Mohammad Rum sempat dikepung massa. Untunglah Rum dan keluarganya selamat. Demikian juga rumah Natsir. Para politisi dari partai Masyumi merasa tidak aman lagi tinggal di Jakarta. Satu demi satu mereka ‘hijrah’ ke daerah. Bahkan, Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI), turut hijrah ke Padang.
Jadi, kedatangan Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap ke Padang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan terbentuknya Dewan Banteng atau berbagai gerakan protes yang sedang marak di daerah.
“Pak Natsir dan sejumlah tokoh Masyumi murni mengungsi ke daerah untuk menyelamatkan diri dari aksi penculikan,” ungkap Dt Tankabasaran, pengawal Natsir pada waktu itu.
Namun, Soekarno tidak peduli. Para tokoh Masyumi tetap dianggap ikut memberontak.
Pemberontakan Setengah Hati
Tokoh Masyumi mampu meredam keinginan masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI. Namun, Soekarno tetap menilainya sebagai pemberontak.
Gagasan melawan Soekarno yang dituduh kian condong pada PKI semakin menguat ketika para tokoh militer dan politisi sipil mengadakan rapat rahasia di Sungai Dareh, Sumatera Barat. Rapat rahasia itu berlangsung dalam dua putaran.
Putaran pertama tanggal 8 Januari 1958, dihadiri tokoh-tokoh militer plus seorang politisi sipil Soemitro Djojohadikoesoemo. Rapat putaran pertama ini penuh semangat ‘kemarahan’ kepada pemerintah pusat. Bahkan, sempat terlontar beberapa kali ancaman akan memisahkan diri dari NKRI dan mendirikan negara Sumatera jika pemerintah pusat tak mau berbenah.
Untunglah, dalam rapat kedua tanggal 10 Januari 1958, tokoh sipil seperti Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Boerhanuddin Harahap, bisa meredam keinginan itu. Pertemuan tertutup yang disebut rapat rahasia Sungai Dareh itu cuma menyempurnakan susunan pengurus Dewan Perjuangan.
Sebulan setelah rapat rahasia berlangsung, tepatnya tanggal 10 Pebruari 1958, Ahmad Husein, selaku Ketua Dewan Perjuangan, menyampaikan ultimatum kepada pemerintahan Soekarno melalui Radio Republik Indonesia Padang. Ultimatum yang disebut Piagam Perjuangan ini berisi 8 poin tuntutan. Intinya, menuntut agar dalam waktu 5 x 24 jam sejak diumumkannya ultimatum ini, presiden segara membubarkan Kabinet Djuanda.
Tuntutan lainnya, pemerintah harus membentuk Zaken Kabinet Nasional yang jujur dan bersih dari unsur-unsur PKI. Kemudian, Soekarno harus memberi dukungan kepada Zaken Kabinet, dan Hatta bersama Hamengku Buwono harus diberi mandat untuk bertugas di Zaken Kabinet ini.
Jika ternyata Soekarno enggan memenuhi tuntutan ini dan tidak memberikan kesempatan kepada Zaken Kabinet untuk bekerja, maka Dewan Perjuangan menyatakan terbebas dari kewajiban taat kepada Soekarno sebagai kepala negara.
Tak ada satu kalimat pun dalam ultimatum yang menyatakan bakal memisahkan diri dari Republik Indonesia. Saat ditanya oleh Kapten Zaidin Bakry apa yang akan dilakukan Dewan Perjuangan ke depan, Husein sama sekali tak menjawab bakal mendirikan negera sendiri. Ia hanya menjawab, “Kita buat organisasi. Kita gertak Soekarno sampai kelak dia undang kita untuk membicarakan nasib bangsa ini.”
Namun, ultimatum yang hanya sekadar ”gertakan sambal” itu tidak membuahkan hasil. Esok harinya, 11 Februari 1958, di Jakarta, Djuanda mengumumkan menolak ultimatum Dewan Perjuangan. Bahkan, ia memerintahkan KSAD untuk memecat Letkol Ahmad Husein dan Kolonel Simbolon dari kemiliteran, membekukan Komando Daerah Militer Sumatera Tengah (KDMST), serta memutuskan hubungan darat dan udara dengan Sumatera Tengah.
Sikap yang ditunjukkan Djuanda ini jelas memberi jawaban bahwa ultimatum tak akan dipenuhi. Bahkan, Djuanda memberikan reaksi yang sangat keras.
Itu berarti, tak ada lagi jalan menuju negosiasi. Tindakan harus segera dilakukan. Maka, pada tanggal 15 Pebruari 1958, Husein segera membentuk ”kabinet tandingan” yang berkedudukan di Padang. Mereka juga mengumumkan tak mengakui lagi kabinet Djuanda.
Kabinet baru itu bernama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dalam kabinet itu, Mr Syafruddin Prawiranegara diamanahi sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan. Maludin Simbolon menjabat Menteri Luar Negeri., Kolonel Dahlan Djambek menjabat Menteri Dalam Negeri. Mr Burhanuddin Harahap menjadi Menteri Pertahanan sekaligus Menteri Kehakiman. Dr Soemitro Djojohadikoesemo menjabat Menteri Perhubungan dan Pelayaran.
Adapun Menteri Agama dijabat Saleh Lintang. Menteri Penerangan dijabat Saleh Lahade. Menteri Sosial dijabat A. Gani Usman. Menteri Pertanian dijabat S. Sarumpaet. Menteri Pembangunan dijabat JF Warouw. Dan, Menteri PP&K dijabat Mohammad Syafei.
Tak lama kemudian terjadilah ”tragedi”. Tragedi ini berawal saat Presiden Soekarno pulang dari lawatan ke Eropa Timur dan Peking pada 16 Pebruari 1958. Djuanda langsung menghadap Soekarno dan melaporkan gerakan yang ia sebut ‘pemberontakan’ PRRI di Sumatera Tengah dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi. Hari itu juga keluar perintah Soekarno agar menangkap para tokoh PRRI dan Permesta.
Ancaman penangkapan “dijawab” oleh Ahmad Husein dengan mengelar Rapat Umum PRRI di Padang pada 20 Pebruari 1958. Di hadapan peserta rapat, Husein menyatakan tidak gentar dengan ancaman Soekarno. Sambil melemparkan tanda pangkatnya ke tanah, Husein berkata, “Apabila saudara-saudara tidak mendukung perjuangan PRRI, maka saat ini juga saudara-saudara boleh menangkap saya dan menyerahkan saya ke pemerintahan Soekarno.”
Beberapa tokoh lalu menenangkan Husein. Tanda pangkat yang tadi dilempar, diambil lagi dan dilekatkan kembali ke tempatnya.
Sejak saat itu dukungan terus mengalir kepada PRRI. Bahkan dilaporkan, sekitar 400 mahasiswa dan pelajar Minang yang sedang kuliah di Jawa memutuskan pulang untuk bergabung bersama Tentara Pelajar (TP), sebuah kekuatan penyeimbang terhadap OPR (Organisasi Pemuda Rakyat) dan OKR (Organisasi Keamanan Rakyat) bentukan PKI.
Dukungan mayoritas dari masyarakat Sumatera Tengah dan Sumatera Barat terhadap PRRI adalah wajar. Sebab, wilayah ini merupakan basis Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi sendiri banyak yang menjadi tokoh PRRI.
Lagi pula, di Sumatera Tengah, partai Masyumi meraih kemenangan mutlak (58 persen) pada Pemilu 1955, jauh meninggalkan PNI, apa lagi PKI.
Para tokoh PRRI di daerah Sumatera Tengah juga ‘menjawab’ ultimatum Soekarno dengan melancarkan operasi penangkapan terhadap ratusan tokoh ‘kiri’ dan anggota PKI. Mereka ditahan di tiga tempat: Muaro Labuh, Situjuh, dan Suliki.
Keesokan harinya, tanggal 21 Pebruari 1958, Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) mulai melancarkan operasi penumpasan PRRI dengan kekuatan penuh. Operasi ini diberi sandi “Operasi 17 Agustus”, dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani.
Pesawat AURI langsung menghujani Kota Padang dan Bukittinggi dengan bom. Bersamaan dengan itu, puluhan kapal perang membombardir Pantai Padang.
Anehnya, tak ada perlawan dari pihak ”pemberontak”. Tak ada serangan balasan meski mereka bertubi-tubi diserang APRI. Tak ada satu pun ”pemberontak” yang berusaha meletuskan senjatanya. Ada apa gerangan?
Rupanya sehari setelah ”rapat rahasia Sungai Dareh” ditutup, Natsir memberi perintah agar PRRI menerapkan ‘gerakan tanpa perang’ untuk melawan pemerintah Soekarno. Seruan ini betul-betul diikuti.
PRRI bukannya membalas serangan tapi justru mundur ke kampung-kampung, terus ke hutan-hutan. Rute gerakan mundur ini tak jauh berbeda dengan rute perjuangan PDRI dulu, yaitu belantara di sekitar Agam, Pasaman, Payakumbuh, dan Solok.
Inilah adegan ”pemberontakan setengah hati” PRRI.
Balas Dendam Si Palu Arit
Karena PRRI sangat memusuhi komunis, PKI ikut serta dalam operasi penumpasan garakan ini. Korban pun berjatuhan.
Sejatinya, bukan hanya faktor kesenjangan yang menyebabkan PRRI lahir. Namun, hadirnya komunis di Indonesia juga menjadi salah satu sebabnya. Ini bisa diketahui dari ultimatum PRRI yang dikeluarkan tanggal 10 Februari 1958. Isi ultimatum tersebut antara lain menuntut agar pemerintah pusat membersihkan kabinetnya dari unsur-unsur PKI.
Nuansa anti-PKI juga terlihat dari respon pribadi para tokoh PRRI terhadap gerakan komunisme. Simbolon, panglima Tentara dan Teritorium I (TT-I) Bukit Barisan, yang menjabat Menteri Luar Negeri PRRI, misalnya, sejak awal sudah menyadari bahaya komunis mengintai Sumatera Timur.
Perkebunan-perkebunan raksasa yang saat itu berada di bawah pengawasannya rawan untuk disusupi komunis. Sebab, para buruh merupakan ”ladang emas” bagi mereka untuk digarap.
Para buruh yang sudah terasuki paham komunis ini mendirikan organisasi bernama SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Organisasi ini bertugas melumpuhkan usaha perkebunan, transportasi, dan pelabuhan di Belawan, Sumatera Utara, sehingga pemasukan negara terhambat dan pemerintah mengalami kesulitan ekonomi. Rencana berikutnya, mereka akan menuntut kekuasaan.
Begitu pula Saleh Lahade yang menjabat Menteri Sosial di kabinet PRRI. Kewaspadaan perwira yang mendapat tugas mengurusi transmigrasi ini terhadap gerakan komunis sudah ia perlihatkan lewat sebuah tulisan pada 15 Oktober 1957.
Dalam tulisan itu ia tumpahkan semua konsep mengenai cara mengatasi problem yang menimpa Angkatan Darat. Cara itu, menurutnya, menumpas sumber masalah yang menyebabkan pertikaian dalam militer terjadi. Sumber masalah itu tak lain adalah komunis. Tulisan itu selanjutnya ia sampaikan ke Panitia 7 di Jakarta.
Sedangkan Syafruddin Prawinagera yang menjabat Perdana Menteri PRRI, Burhanuddin Harahap yang menjabat Menteri Pertahanan, serta Natsir, adalah tokoh-tokoh Masyumi yang memang amat keras menentang komunis.
Jadi, bisa dimaklumi jika mereka semua kemudian bergabung dengan PRRI ketika “hijrah” ke Padang.
Bahkan, PRRI pernah pula mendapat bantuan persenjataan dari CIA (Central Intelligence Agency) Amerika Serikat karena memusuhi komunis. RZ Leirissa dalam buknya PRRI Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis menilai hubungan ini terbangun karena PRRI dan CIA sama-sama memiliki kepentingan. PRRI memerlukan senjata untuk menghadapai serangan pemerintah pusat, sedangan CIA perlu saluran untuk menggertak Soekarno. Ini bisa dipahami karena Barat sangat memusuhi komunis.
Akan tetapi, setelah AS melihat masih ada sekelompok orang yang anti-komunis di jajaran pemerintahan, dukungan terhadap PRRI dialihkan kepada kelompok ini.
Balas dendam
Dendam PKI kepada PRRI kian lama kian membuncah. Kesempatan untuk membalaskan dendam ini terbuka lebar ketika terjadi operasi penumpasan PRRI. Apalagi setelah Kolonel Pranoto diangkat menggantikan Kolonel Ahmad Yani sebagai Panglima Kodam III dan Komandan Operasi 17 Agustus.
Syafrudin Bahar, dalam Kaharoeddin Gubernur di Tengah Pergolakan, 1998, memaparkan bagaimana Pranoto mengerahkan sekitar 6.341 OKR (Organisasi Keamanan Rakyat) dan OPR (Organisasi Pemuda Rakyat) untuk menyerang PRRI. Jumlah ini hampir setara dengan sembilan batalyon tentara.
Kenyataannya, OKR menjelma menjadi Pemuda Rakyat yang dijadikan ujung tombak PKI melakukan berbagai teror, intimidasi, dan tindakan brutal. Banyak korban berjatuhan di Minang. Mereka semua pendukung PRRI.
Kebiadaban kian menjadi-jadi dengan ikutnya Mayor Latif sebagai Perwira Seksi I/Intelijen, Letnan Untung (kelak memimpim kudeta G30S/PKI) sebagai Komandan Kompi, dan anggota Biro Khusus Komite CC-PKI, Djajusman. Jadilah penumpasan PRRI sebagai ajang balas dendam menghabisi mereka yang dulu gencar menuntut pembubaran PKI.
Tiap daerah punya cerita hampir sama tentang kekejaman PKI. Pendukung PRRI yang tidak lari ke hutan sering ditemukan dalam karung tanpa kepala atau mata. Di Matur Mudik, tentara pelajar yang dijemput malam oleh OPR banyak yang tak pernah kembali lagi.
Di Mahek Suliki, anggota PRRI yang bersiap kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi ditembaki hingga tewas. Di desa Lariang, Bonjol Pasaman, Kolonel Dahlan Djambek yang bersiap turun gunung memenuhi panggilan pemerintahan Soekarno pada 13 September 1961 diberondong sampai tewas.
Dengan adanya kasus-kasus itu, Amnesti Umum berupa pengampunan dan jaminan keselamatan bagi anggota PRRI yang bersedia keluar hutan, seperti diumumkan Presiden Soerkarno melalui Kepres No 332 tanggal 22 Juni 1961, omong kosong.
Kebiadaban demi kebiadan yang dialami masyarakat Minang benar-benar menimbulkan trauma yang mendalam sampai hari ini. Masyarakat Minang kehilangan inisiatif dan daya kritis. Demikian parahnya rasa trauma itu sampai-sampai tradisi pemberian nama yang berbau Minang sempat dihapus. Banyak putra Minang yang lahir pasca penumpasan PRRI diberi tambahan nama Prayitno, Sutarjo, atau Hamiwanto.
Setelah PRRI jatuh, posisi PKI semakin menguat. Pada tahun 1965, tepatnya tanggal 30 September, partai komunis semakin berani bergerak. Enam pejabat tinggi militer dan seorang pengawal mereka bunuh. Peristiwa ini tersohor dengan sebutan Gerakan 30 September. Rupanya, inilah akhir dari cerita kekejaman ”Si Palu Arit”.
READ MORE - Akhir Tragis Sang Penyelamat Republik
7 KEBAIKAN HARI RAYA IDUL ADHA
Sebentar lagi kita akan kedatangan tamu istimewa, Hari Raya ‘Idul Adha, dimana di hari itu dan hari tasyrik dilakukan penyembelihan hewan qurba. Jika Anda belum memutuskan untuk berkurban tahun ini, ada baiknya Anda menyimak hikmah dan keutamaan qurban pada hari-hari tersebut:
1. Kebaikan dari setiap helai bulu hewan kurban
Dari Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.”Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?”Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” [HR. Ahmad dan ibn Majah]
2. Berkurban adalah ciri keislaman seseorang
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
3. Ibadah kurban adalah salah satu ibadah yang paling disukai oleh Allah
Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya qurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan qurban), sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu- bulunya. Sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah –sebagai qurban– di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya.” [HR. Ibn Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi menyatakan: Hadits ini adalah hasan gharib]
4. Berkurban membawa misi kepedulian pada sesama, menggembirakan kaum dhuafa
“Hari Raya Qurban adalah hari untuk makan, minum dan dzikir kepada Allah” [HR. Muslim]
5. Berkurban adalah ibadah yang paling utama
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” [Qur’an Surat Al Kautsar : 2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan : “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya.”
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurban), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” [Qur’an Surat Al An’am : 162]
Beliau juga menegaskan: “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat…”
6. Berkurban adalah sebagian dari syiar agama Islam
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” [Qur’an Surat Al Hajj : 34]
7. Mengenang ujian kecintaan dari Allah kepada Nabi Ibrahim
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” [Qur’an Surat Ash Shaffat : 102 - 107]
READ MORE - 7 KEBAIKAN HARI RAYA IDUL ADHA
Langganan:
Postingan (Atom)