Jakarta(Pinnmas)--Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Abdul Fatah menyatakan, paradigma di Kementerian Agama (Kemenag) yang mengatur kerukunan umat beragama ke depan sudah harus diubah karena dinamika dan kemajemukan warga yang terjadi menuntut adanya pelayanan hak sipil berkeadilan.
Pendapat tersebut dikemukakan Abdul Fatah pada seminar Pemberdayaan Umat dan Penguatan Regulasi untuk Kerukunan Umat Beragama di Hotel Sari Pacific, Jakarta, Rabu (18/1).
Sementara Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Prof. Komaruddin Hidayat berpendapat, negara harus berterima kasih kepada Ormas agama lantaran dengan kehadiran mereka sikap toleransi antarumat beragama dapat hidup di tengah masyarakat Indonesia yang makin majemuk dewasa ini.
Sedangkan sekretaris eksekutif KWI/Direktur KWI Edy Purwanto, Pr menyatakan, penyebab terjadinya konflik lebih banyak disebabkan salah pengertian, kesenjangan ekonomi, budaya dan perlakuan, ada kelompok yang diintrumentalisasi atau dimanfaatkan sehingga menjadi pemangku kepentingan lain, kemauan menegaskan jati diri berlebihan dan penghayatan yang salah tentang agama.
Pada seminar yang menghadirkan para pejabat dari Bimas Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghuchu tersebut, peserta sempat dibuat terkaget dengan pernyataan Abdul Fatah bahwa struktur di kementerian tersebut perlu diubah agar pelayanan kepada umat lebih optimal, tanpa diskriminasi sehingga penganut agama lain yang tak terwadahi dalam direktorat bimas memperoleh pelayanan yang sama.
Ia menunjuk agama-agama lain seperti Konghuchu dan Tao, yang terkesan dibiarkan pemerintah. Padahal mereka juga punya hak sipil untuk mendapat pelayanan dalam beragama. Hingga saat ini saja data pemeluk agama Konghuchu tak jelas. Demikian pula untuk rumah ibadah. Karena tak ada kejelasan data itu, maka pelayanan kepada mereka tak optimal.
Komaruddin berpendapat, negara tak perlu mengatur umat dalam menjalankan ibadah. Tetapi warga sebagai pemeluk agama patut mendapat perlindungan dan pelayanan. Karena itu, pemeluk agama dan pemerintah harus saling berterima kasih. Sebab, tanpa pemerintah yang melindungi warganya akan terjadi disharmonisasi di masyarakat. Di sisi lain, pemerintah tanpa agama, termasuk dengan Ormas keagamaan harus berterima kasih pula.
"Siapa yang mampu mengatasi terorisme jika tak ada Ormas seperti Muhammadiyah dan NU," kata Komaruddin Hidayat.
Tetapi, lanjut Komaruddin, belakangan ini peran agama sudah sedemikian penting. Politikus perlu instrument agama untuk mendapatkan dukungan. Namun ketika ada persoalan keagamaan, sikap elit politik kadang berubah dalam menyikapinya lantaran takut kehilangan legitimasi. Dalam keadaan demikian, untuk mengatasinya perlu kearifan dari semua pihak agar harmonisasi di tengah masyarakat tak terganggu.
Bagi Edy Purwanto, yang penting negara harus benar-benar menjadi institusi yang merdeka, bukan sekedar terbentuknya pemerintahan yang terpilih secara demokratis, tetapi menjadi pemerintahan yang otonom, atau bebas dari berbagai intervensi yang tidak sehat untuk memerdekakan "public sphere" sehingga dapat digunakan semua penganut agama secara bebas dan damai.
Dalam hal ini Negara berperan dan berwenang mengelola "keteraturan beragama dan kepercayaan," tetapi tidak berwenang mengelola "pengaturan beragama dan kepercayaan," kata Edy.(ant/ess)
Pendapat tersebut dikemukakan Abdul Fatah pada seminar Pemberdayaan Umat dan Penguatan Regulasi untuk Kerukunan Umat Beragama di Hotel Sari Pacific, Jakarta, Rabu (18/1).
Sementara Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Prof. Komaruddin Hidayat berpendapat, negara harus berterima kasih kepada Ormas agama lantaran dengan kehadiran mereka sikap toleransi antarumat beragama dapat hidup di tengah masyarakat Indonesia yang makin majemuk dewasa ini.
Sedangkan sekretaris eksekutif KWI/Direktur KWI Edy Purwanto, Pr menyatakan, penyebab terjadinya konflik lebih banyak disebabkan salah pengertian, kesenjangan ekonomi, budaya dan perlakuan, ada kelompok yang diintrumentalisasi atau dimanfaatkan sehingga menjadi pemangku kepentingan lain, kemauan menegaskan jati diri berlebihan dan penghayatan yang salah tentang agama.
Pada seminar yang menghadirkan para pejabat dari Bimas Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghuchu tersebut, peserta sempat dibuat terkaget dengan pernyataan Abdul Fatah bahwa struktur di kementerian tersebut perlu diubah agar pelayanan kepada umat lebih optimal, tanpa diskriminasi sehingga penganut agama lain yang tak terwadahi dalam direktorat bimas memperoleh pelayanan yang sama.
Ia menunjuk agama-agama lain seperti Konghuchu dan Tao, yang terkesan dibiarkan pemerintah. Padahal mereka juga punya hak sipil untuk mendapat pelayanan dalam beragama. Hingga saat ini saja data pemeluk agama Konghuchu tak jelas. Demikian pula untuk rumah ibadah. Karena tak ada kejelasan data itu, maka pelayanan kepada mereka tak optimal.
Komaruddin berpendapat, negara tak perlu mengatur umat dalam menjalankan ibadah. Tetapi warga sebagai pemeluk agama patut mendapat perlindungan dan pelayanan. Karena itu, pemeluk agama dan pemerintah harus saling berterima kasih. Sebab, tanpa pemerintah yang melindungi warganya akan terjadi disharmonisasi di masyarakat. Di sisi lain, pemerintah tanpa agama, termasuk dengan Ormas keagamaan harus berterima kasih pula.
"Siapa yang mampu mengatasi terorisme jika tak ada Ormas seperti Muhammadiyah dan NU," kata Komaruddin Hidayat.
Tetapi, lanjut Komaruddin, belakangan ini peran agama sudah sedemikian penting. Politikus perlu instrument agama untuk mendapatkan dukungan. Namun ketika ada persoalan keagamaan, sikap elit politik kadang berubah dalam menyikapinya lantaran takut kehilangan legitimasi. Dalam keadaan demikian, untuk mengatasinya perlu kearifan dari semua pihak agar harmonisasi di tengah masyarakat tak terganggu.
Bagi Edy Purwanto, yang penting negara harus benar-benar menjadi institusi yang merdeka, bukan sekedar terbentuknya pemerintahan yang terpilih secara demokratis, tetapi menjadi pemerintahan yang otonom, atau bebas dari berbagai intervensi yang tidak sehat untuk memerdekakan "public sphere" sehingga dapat digunakan semua penganut agama secara bebas dan damai.
Dalam hal ini Negara berperan dan berwenang mengelola "keteraturan beragama dan kepercayaan," tetapi tidak berwenang mengelola "pengaturan beragama dan kepercayaan," kata Edy.(ant/ess)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Membacanya dan tolong kasih Komentarnya.